Mengenal Teori Etika Immanuel Kant

Bayangkan situasi di mana ada seseorang datang mengetuk pintu rumahmu. Di hadapanmu, berdiri seorang pemuda yang membutuhkan pertolongan. Ia terluka dan berdarah. Kamu lalu membawanya masuk ke dalam rumah, menolongnya dan kemudian menelepon ambulans. Ini jelas merupakan hal yang, secara moral, benar dilakukan. Namun justifikasi moral atas tindakanmu tersebut, bagi beberapa filsuf, cukup relatif. Misalnya bagi Immanuel Kant, yang dalam tulisan ini akan kita selami.

Bagi Kant, menyoroti kasus di atas, jika kamu menolong pemuda tersebut karena kamu merasa kasihan padanya, itu sama sekali bukanlah tindakan yang bermoral. Simpatimu tidak memiliki relevansi dengan nilai moral atas tindakanmu; simpati atau rasa kasihanmu adalah bagian dari karaktermu, dan tidak ada kaitannya dengan benar atau salah (Nigel Warburton, 2011: 111).

Moralitas bagi Kant bukan hanya tentang apa yang kamu lakukan, tetapi tentang mengapa kamu melakukannya. Oleh karena itu, mereka yang melakukan tindakan yang benar tidak melakukannya hanya karena perasaan mereka: keputusan harus didasarkan pada akal budi. Akal budilah yang memberitahumu apa tugas dan kewajibanmu, terlepas dari perasaanmu. Sederhananya, Kant menganggap emosi tidak boleh masuk ke dalam moral.

Gagasan etika yang cukup mudah dipahami. Etika Kant di atas itulah yang disebut dengan Deontologi. Namun mengapa—atau atas dasar apa—dia menggagas ide tersebut, kita akan membahasnya dalam artikel ini lebih jauh.