Catatan ini bermula dari ketidaksengajaan saya membaca tulisan dua orang santri yang berusaha untuk mengulas filsafat Heidegger berikut kritiknya. Anehnya, mereka sesekali menyinggung nama saya yang mereka anggap sebagai orang yang berlagak tahu soal filsafat. Bahkan, persinggungan seperti itu menuntut saya agar ikut-ikutan membahas filsafat Heidegger.
Jika boleh jujur, membedah produk filsafat Heidegger sebenarnya termasuk pekerjaan yang cukup rumit dan nyaris tak berujung. Penyelidikan terhadap pemikiran Heidegger bakal membuat siapa saja terkantuk-kantuk dan tertidur. Salah satu alasannya adalah karena pembahasan filsafat Heidegger mengarah pada pembenaran credo Rene Descrates yang berbunyi “Cogito Ergo Sum” (Aku Berpikir Maka Aku Ada).
Dua santri tersebut, Farhan dan Sururi, mempersoalkan ke-ada-an yang ditawarkan Descrates yang dikritik oleh Heidegger. Sum (ada) itu dibedah dari beberapa cara pandang yang unik. Pandangan mereka berdua memperlihatkan pembacaan yang sangat masif terhadap produk Heidegger, juga Descrates. Barangkali, mereka juga masih bersikukuh dengan statement masing-masing yang berkesimpulan bahwa fenomenologi Heidegger justru berhasil menolak produk Descrates. Namun di sisi lain keberhasilan Heidegger menolak produk Descrates sama sekali tidak bisa dibuktikan kebenarannya.
Mungkin saya bakal membuat catatan ini dalam bentuk fragmen-fragmen kecil supaya lebih mudah dipahami—tanpa bermaksud menggurui.