Beberapa pekan yang lalu, salah satu grub WhatsApp saya diramaikan oleh perdebatan yang dipicu oleh salah satu teman saya yang mengatakan bahwa argumen apapun tentang Tuhan selalu dapat dibantah. Ia seolah menantang siapa saja untuk memberikan argumen terbaiknya dalam menjustifikasi kebenaran keyakinannya kepada Tuhan.
Banyaknya teman-teman yang berusaha memberikan argumen tentang keberadaan Tuhan sebanding dengan banyaknya teman-teman yang menganggap bahwa Tuhan itu non est ulla (tidak ada) yang konon hanyalah ciptaan manusia belaka. Perdebatan pun tak terhentikan. Tentu tak semua orang menikmati perdebatan nyentrik itu. Tak sedikit dari member grup yang mengungkapan kebosanannya dan ketidaknyamanan mereka pada topik sensitif semacam itu.
Tidak begitu jelas bagaimana perdebatan ketuhanan ini bermula. Yang jelas, tampaknya diskursus semacam ini masih menjadi topik yang seksi, terutama di kalangan mahasiswa. Di satu sisi, membicarakan hal-hal semacam ini adalah cara kita untuk setidaknya berpikir kritis dan melakukan reflektif radikal pada apa yang kita imani, agar mencegah kita dari cara beragama yang buta.
Namun, di sisi lain, berusaha memberikan argumentasi logis tentang eksistensi Tuhan tetap saja memiliki celah - bahkan berisiko merusak keimanan seseorang. Itulah mengapa, alih-alih membenarkan keimanan lewat argumentasi rasional, justru ia malah menghancurkan keimanan. Atas dasar inilah, menarik bagi saya untuk memberikan komentar tentang fenomena ini. Dalam tulisan ini, saya ingin memberikan kilah bahwa Tuhan cukup ditaruh di ruang iman saja tanpa perlu mencoba dalil logis atas eksistensinya dengan meminjam gagasan filsuf empirisme, Jhon Locke.