Sebuah Reflektif: Saya dan Nietzsche

Author: Moh Rasyid

Sebelum berkawan dengan filsafat, saya adalah orang yang taat beribadah. Tak jarang saya juga mengisi khutbah-khutbah Jum’at. Shalat lima waktu tidak terlewat barang satu pun. Karena ini adalah kewajiban yang bersumber dari doktrinasi masa kecil, ada saja hal yang kurang berkenan jika saya tidak mengerjakan salah satu waktu shalat; hati rasanya gelisah dan ada perasaan tidak nyaman yang mengganjal diri. 

Semester 3 pun berlalu, di sini lah saat-saat penting di mana keimanan yang telah dipupuk sejak kecil itu mulai terkikis sedikit demi sedikit. Saya mulai mengenal beragam corak pemikiran filsafat. Ini juga menjadi saat di mana, untuk pertamakaliya, saya mencicipi buah pikiran Nietzsche. Dalam salah satu memonya, Nietzsche mengatakan: “Jika semua hal di dunia ini telah terjawab oleh sains maka agama tidak diperlukan lagi.”

Saya mencoba memenungkan ungkapan filsuf berkebangsaan German itu dengan baik. Mungkin dia ada benarnya. Ketika manusia tidak mampu menjawab sesuatu atau tidak mendapatkan apa yang diinginkan, manusia cenderung berlari ke hal-hal mistis: agama atau tuhan. Sebaliknya, jika manusia sudah mendapatkan jawaban yang dibutuhkan dan mendapatkan apa yang diinginkan, pada saat yang sama, tuhan pun ikut menghilang dan bahkan tidak dibutuhkan lagi. 

Contoh kecil seperti hujan. Dahulu, hujan dianggap sebagai salah satu aktivitas para dewa, dalam tradisi Yunani menyebutnya Zeus. Sama halnya, dalam masyarakat kita, hujan dipercayai turun karena kehendak tuhan. Bahkan tidak sedikit orang yang shalat dengan harapan agar hujan bisa turun.