"Dasar India hitam yang kotor". Aku masih berusia 14 tahun saat seorang pria kulit putih meneriaki kata-kata itu kepadaku ketika aku sedang bermain tenis di lapangan. Wajahku seketika merah pada saat itu karena menahan malu, tubuhku juga dipenuhi amarah, bahkan mataku pun berkaca-kaca. Apakah ucapannya itu benar? Apakah aku terlihat kotor karena kulit coklatku?
Itu bukan lah kali pertama dan terakhir aku mendengar hinaan tentang warna kulit dan etnisku. Kata-kata itu sangat berbekas di pikiranku, memperkuat asumsi sosial bahwa kulit gelap memang tidak menarik, jelek, dan memalukan. Karena terus mendengar "teguran" tentang kulitku yang gelap, tanpa disadari kata-kata itu akhirnya memberikan dampak padaku ketika aku menyusuri dunia kosmetik yang menjajaki banyak produk pemutih (skin-whitening) dan produk pencerah kulit.
Pemutihan kulit, atau yang juga dikenal sebagai pencerah kulit, adalah proses di mana sebuah produk dioleskan kepermukaan kulit untuk mencerahkan warna kulit sehingga menghambat produksi melanin, pigmen yang berfungsi memberikan warna pada kulit.
Bahasa yang digunakan untuk mempromosikan produk ini bervariasi dari pemutih dan pencerah hingga "memperbaiki warna kulit" (colour-correcting). Proses ini juga sering dianggap sebagai proses "peningkatan kecantikan" (beauty-enhancing), menjanjikan pemerataan kulit yang bebas dari bintik-bintik, flek hitam, pigmentasi, dan noda. Namun terlepas dari bahasa yang digunakan, pesannya tetap sama: kulit gelap tidak sesuai dengan standar kecantikan ideal.