Ungkapan "Tubuhku, Pilihanku" umumnya dikenal sebagai slogan yang biasa digunakan untuk membenarkan aborsi. Slogan ini merangkum gagasan bahwa wanita memiliki hak otonomi atas tubuh mereka, jadi terserah mereka mau melakukan aborsi (atau tidak). Namun sejak adanya COVID-19, frasa tersebut memiliki makna baru: pertama, sebagai alasan untuk tidak mengenakan masker di tempat umum; dan kedua, sebagai alasan untuk tidak divaksin.
Ironisnya, kelompok anti-vaksin yang paling vokal mengatakan "Tubuhku, Pilihanku" itu adalah kelompok konservatif yang dengan tegas menolak logika "Tubuhku, Pilihanku" dalam konteks aborsi.
Apakah proposisi ini setara? Dengan kata lain, apakah logis bagi kelompok konservatif untuk menolak hak perempuan atas otonomi tubuhnya untuk melakukan aborsi, namun di saat yang sama juga menegaskan hak mereka atas otonomi tubuhnya untuk menolak vaksinasi?
Sebagai profesor filsafat yang mengajarkan logika dan pemikiran kritis, saya terus mengikuti evolusi penggunaan slogan "Tubuhku, Pilihanku" ini dengan seksama.