Schopenhauer dan Krisis Paruh Bayah


Meskipun telah memikirkan seperti apa kehidupan yang baik itu selama lebih dari 2.500 tahun, para filsuf tidak banyak berbicara tentang usia paruh baya. Bagi saya, mendekati usia 40 tahun adalah saat-saat di mana krisis stereotip terjadi. Setelah melewati banyak rintangan dalam karir akademis, saya tahu bahwa saya termasuk orang yang beruntung karena menjadi profesor filsafat tetap. Namun ketika saya coba melangkah mundur dari kesibukan saya, saya mendapati diri saya bertanya-tanya: Terus apa?

Saya merasakan pengulangan dan kesia-siaan dalam hidup. Ini bukan karena semuanya tampak tidak berharga. Bahkan ketika saya berada di titik terendah pun, saya tidak pernah merasa bahwa apa yang saya lakukan tidak ada artinya.

Namun, saya rasa, saya tidak sendirian. Mungkin kau pernah merasakan kekosongan yang sama ketika mengejar tujuan yang berharga dalam hidupmu. Hal ini merupakan bentuk krisis paruh baya yang cukup familiar sekaligus mengejutkan dalam diskursus filsafat. Paradoksnya adalah: kesuksesan nampak seperti kegagalan. Seperti paradoks lain, ini membutuhkan pendekatan filosofis. Apa arti dari krisis paruh baya jika bukan kekosongan di mana seseorang tidak dapat melihat nilai apa pun dalam hidupnya? Sebenarnya, apa yang salah dengan hidupku?

Untuk mencari jawabannya, saya menoleh ke seorang filsuf pesimis abad ke-19, Arthur Schopenhauer. Schopenhauer terkenal karena sering mengkhotbahkan tentang kesia-siaan keinginan (hasrat); Bahwa merasa tidak bahagia meskipun telah mendapatkan apa yang diinginkan bukan lah hal yang mengejutkan lagi. Namun anehnya, tidak memiliki sesuatu yang diinginkan juga sama buruknya.