Terorisme itu umurnya sudah tua sekali. Tindakan Persekongkolan Serbuk Mesiu (Gunpowder Plot) yang terjadi pada 5 November 1605 sebagai upaya pembunuhan terhadap Raja James I (penganut Kristen Protestan) dengan cara meledakkan istana Westminster Inggris adalah pendahulunya.
Tindakan tersebut dilakukan oleh sekelompok orang penganut Katolik di Inggris. Meskipun konsep terorisme belum muncul pada abad ke-17, David C. Rapoport dan Lindsay Clutterbuck dalam buku volume I berjudul "Terrorism: The First or Anarchist Wave", terbitan Routledge, 2006, menyatakan bahwa persekongkolan yang menggunakan bahan peledak ini adalah pendahulu terorisme anarkis abad ke-19. Dalam keempat volume tulisannya, Rapoport membagi terorisme ini ke dalam empat gelombang. Gelombang terakhir atau keempat disebut sebagai terorisme religius.
Terkait terorisme religius itu, dalam jurnal The American Political Science Review Vol. 78, No. 3 (Sep, 1984), hlm. 658-677, melalui artikel berjudul "Fear and Trembling: Terrorism in Three Religious Traditions", Rapoport memberikan contoh tiga gerakan teror dalam tiga tradisi agama yang berbeda yakni Hindu, Islam dan Yahudi melalui gerakan yang disebut "the Thugs, Assassins, dan Zealots-Sicarii" yang masing-masing memiliki karakter berbeda, namun semuanya menghasilkan ketakutan dan kekerasan di masyarakat.
Lalu mengapa agama-agama yang dianggap sebagai gerakan yang mengusung nilai-nilai luhur dan religiositas demi pertumbuhan kemanusiaan itu dapat melahirkan anggota-anggota yang melakukan kekerasan dan mengakibatkan luka dan kematian bagi manusia lain yang disebut juga sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan?