Setiap kematian kadang terasa tidak wajar. Bahkan kematian mereka—yang hidup mewah dan sudah mendapatkan banyak pengalaman hidup yang berarti, seperti—pekerjaan, pernikahan, anak, dan liburan—juga akhirnya tetap mendatangkan kesedihan yang begitu besar sehingga masuk dalam rasionalitas kita. Itu membuat kita sangat terpukul, tanpa sebab yang jelas.
Ketika saya berjalan menyusuri lorong di sebuah supermarket, saya mengangkut sekarung apel ke dalam gerobak belanjaan, entah mengapa tiba-tiba saya merasa seolah sedang mengangkat tubuh kakek saya ketika saya memandikannya untuk terakhir kalinya karena penyakit kanker yang dideritanya. Seolah sekarung apel itu menjadi medium rohnya. Bagaimana bisa kehilangan seseorang yang kita sayangi itu menjadi hal yang wajar?
Setiap kematian manusia memang tidak wajar, lebih-lebih pembunuhan. Mayat korban pembunuhan yang saya lihat pertama kali adalah ketika saya berada di Baghdad, Irak, selama penempatan awal saya sebagai tentara pada tahun 2007. Di tengah-tengah patroli—sembari menyelami jalan-jalan sempit yang sedikit busuk, sekelompok anak-anak tiba-tiba mendatangi kami dengan wajah tersenyum sembari meminta kami untuk mengikuti mereka. Mereka tertawa dan menari-nari menuju jalan buntu yang lapang, lingkungan yang setidaknya sedikit lebih baik daripada lingkungan lain di Baghdad.
Ketika kami sampai di tempat yang ingin mereka tunjukkan kepada kami, kami mendapati banyak orang yang berkerumun di sekitar mayat seorang pria yang tak kami kenali. Mayat pria tersebut masih dalam keadaan terikat.