
Suatu hari, setelah mengetahui bahwa Presiden Trump terinfeksi Covid-19, anak saya yang masih berusia 7 tahun itu bertanya kepada saya, "Ibu, apakah kamu senang Trump terkena virus Korona?"
Saya adalah seorang filsuf moral, namun begitu saya tetap merasa kesulitan untuk menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut. Pertanyaan anak saya itu seolah menuntut kita untuk bergulat—tidak hanya tentang bagaimana cara kita menyikapi apa yang kini menimpah Trump lewat kacamata moral, tetapi juga tentang bagaimana cara kita bereaksi—terhadapnya.
Saya tidak memperdebatkan tentang—apakah mengharapkan kematian presiden itu sikap yang salah atau tidak; yang jelas, berpikir seperti ini salah. Namun demikian, setelah Presiden Trump kembali dinyatakan cukup sehat untuk dapat bekerja kembali, saya berpikir bahwa adalah penting bagi kita untuk menilai signifikansi moral dari reaksi kita.
Kabar terinfeksinya Presiden Trump dengan Korona itu memicu beragam ekspresi—kegembiraan, rasa syukur, dan bahkan kebencian di media sosial. Di antara para politisi Demokrat lainnya, Joe Biden dan Barack Obama—menyampaikan harapan yang baik untuk presiden dan juga istrinya, sementara kolumnis sayap kiri—tak kalah—mendoakan agar presiden dapat segera sembuh. Banyaknya orang—yang bersukacita atas nasib presiden itu, menunjukkan tentang—beberapa gejala yang lahir dari kebusukan moral—dalam budaya politik kita.