Loading...

Bayangkan situasi di mana ada seseorang datang mengetuk pintu rumahmu. Di hadapanmu, berdiri seorang pemuda yang membutuhkan pertolongan. Ia terluka dan berdarah. Kamu lalu membawanya masuk ke dalam rumah, menolongnya dan kemudian menelepon ambulans. Ini jelas merupakan hal yang, secara moral, benar dilakukan. Namun justifikasi moral atas tindakanmu tersebut, bagi beberapa filsuf, cukup relatif. Misalnya bagi Immanuel Kant, yang dalam tulisan ini akan kita selami.

Bagi Kant, menyoroti kasus di atas, jika kamu menolong pemuda tersebut karena kamu merasa kasihan padanya, itu sama sekali bukanlah tindakan yang bermoral. Simpatimu tidak memiliki relevansi dengan nilai moral atas tindakanmu; simpati atau rasa kasihanmu adalah bagian dari karaktermu, dan tidak ada kaitannya dengan benar atau salah (Nigel Warburton, 2011: 111).

Moralitas bagi Kant bukan hanya tentang apa yang kamu lakukan, tetapi tentang mengapa kamu melakukannya. Oleh karena itu, mereka yang melakukan tindakan yang benar tidak melakukannya hanya karena perasaan mereka: keputusan harus didasarkan pada akal budi. Akal budilah yang memberitahumu apa tugas dan kewajibanmu, terlepas dari perasaanmu. Sederhananya, Kant menganggap emosi tidak boleh masuk ke dalam moral.

Gagasan etika yang cukup mudah dipahami. Etika Kant di atas itulah yang disebut dengan Deontologi. Namun mengapa—atau atas dasar apa—dia menggagas ide tersebut, kita akan membahasnya dalam artikel ini lebih jauh.

Biografi dan Karya Immanuel Kant

Ketika mendengar nama Immanuel Kant, sebagian besar orang akan teringat pada sosok filsuf yang tinggal di Königsberg, wilayah kerajaan Prusia bagian Timur. Selama hidupnya, ia tidak pernah keluar dari kota Königsberg. Namun begitu, pemikirannya telah membawanya melewati batas-batas kebudayaan, yang membuatnya dikenang lebih dari 200 tahun setelah kepergiannya.

Kant dididik pertama kali di sekolah dasar, kemudian di Collegium Fridericianum (1732-40) dan akhirnya di Albertus Universität (1740-44), semuanya di Königsberg. Setelah lulus dari universitas pada tahun 1744, ia menjadi tutor bagi sejumlah keluarga di Königsberg, hingga ia menjadi dosen pada 1755.

Meskipun Kant menerbitkan sejumlah karya tentang berbagai topik saat ia menjadi dosen—di antaranya ‘General Natural History and Theory of the Heavens’ dan ‘Dreams of a Ghost-seer’ (Bertrand Russell, 1972: 850)—baru pada usia 45 tahun (1770) ia diangkat menjadi profesor logika dan metafisika di Universitas Königsberg, sebuah jabatan yang ia tekuni hingga pensiun pada tahun 1796 (Roger Ariew dkk, 2019: 1544).

Kehidupan Kant biasanya dibagi menjadi tiga periode: Periode Pra kritis, Periode diam dan Periode Kritis (Roger Ariew dkk, 2019: 1544). Periode Pra Kritisnya dimulai pada 1747 dengan pemublikasian ‘Thought on True Estimation of Living Force’, yang berfokus pada pertanyaan-pertanyaan dalam fisika. Pada 1755 ia menerbitkan ‘New Elucidation of the First Principles of Metaphysical Cognition’—yang berisi kritikannya terhadap metafisika Leibniz dan Wolffian—dan ‘General Natural History and Theory of the Heavens’, sebuah karya kosmologi yang mengikuti prinsip-prinsip Newton untuk mengantisipasi teori Laplace.

Selain sejumlah karya kecil pada 1759an dan 1760an tentang fisika, metafisika, matematika, geografi, teologi dan estetika, karya-karyanya yang paling signifikan juga termasuk ‘Physical Monadology’ dan ‘The Only Possible Argument in Support of a Demonstration of the Existence of God’. Periode Pra Kritis berakhir pada 1770 dengan disertasinya yang berjudul ‘Concerning the Form and Principles of the Sensible and Intelligible World’.

Selama Periode diamnya yang berlangsung dari tahun 1770 hingga 1780, Kant hanya menerbitkan beberapa esai minor. Kant memulai Periode Kritisnya pada tahun 1781 dengan karya pertamanya ‘The Critique of Pure Reason’. Untuk memperjelas dan menyederhanakan karya kritik pertamanya itu, Kant kemudian menerbitkan ‘Prolegomena’ pada 1783. Tak berselang lama, tepatnya dua tahun kemudian (1785), ia lalu menerbitkan risalah etika, ‘Groundwork to Metaphysics of Morals’ dan ‘Metaphysical Foundation of Natural Science’ setahun kemudian (1786). Pada 1788, Kant lalu menerbitkan kritik keduanya ‘The Critique of Practical Reason’ dan pada 1790, kurang dari satu dekade setelah kritik pertama, Kant menerbitkan kritik ketiganya ‘The Critique of Judgement’.

Kant memang terkenal sebagai salah satu filsuf yang paling produktif. Karya-karya di ataslah yang dianggap sebagai inti dari gagasan-gagasannya dan yang merevolusi pandangan filsafat setelahnya. Maka dari itu, tidak salah apabila kita menyebutnya sebagai salah filsuf modern terhebat sepanjang sejarah. Bahkan Bertrand Russell, yang tidak kalah besar kontribusinya terhadap wacana filsafat modern terutama di bidang analitik, pun mau tak mau harus mengakui ini dan berkata: “… Saya sendiri tidak setuju dengan pendapat ini (bahwa Kant adalah filsuf modern terhebat), tetapi saya akan tampak bodoh jika tidak mengakui betapa penting pemikirannya.” (Bertrand Russell, 1972: 849).

Immanuel Kant adalah seorang intelektual besar dengan pemikiran-pemikiran yang banyak mempengaruhi para filsuf setelahnya. Kegemilangan pemikirannya membuat ia disebut-sebut sebagai tokoh revolusioner, terutama dalam filsafat. Kant berjasa dalam merekonsilisasi Rasionalisme dan Empirisisme, yang saat itu berselisih paham karena keduanya sama-sama menganggap pendekatan mereka sebagai sumber utama pengetahuan. Kant beranggapan bahwa akal budi dan pengalaman inderawi harus diharmonisasikan; sebab pengetahuan akan cacat jika hanya mengandalkan salah satunya.

Etika Deontologis dan Imperatif Kategoris

Sumbangan pemikiran Kant yang paling menonjol adalah etika Deontologis. Pemikiran Kant mengenai Deontologis dibahas dalam salah satu karyanya, ‘Kritik atas Akal Budi Praktis’ (judul asli: The Critique of Practical Reason). Dalam karya ini, Kant berusaha merehabilitasi beberapa dogma metafisik penting yang tidak dapat ditetapkan oleh akal teoritis saja (Roger Scruton, 2002: 177), misalnya seperti yang dia bahas dalam ‘The Critique of Pure Reason’ dan ‘Groundwork to Metaphysics of Morals’.

Yang membedakan kedua jenis nalar dalam dua kritiknya adalah: nalar teoritis dalam ‘The Critique of Pure Reason’ menuntun keyakinan dan nalar praktis dalam ‘Kritik atas Akal Budi Praktis’ menuntun tindakan. Nalar pertama bertujuan pada kebenaran (truth), dan yang kedua bertujuan pada kebaikan (Roger Scruton, 2002: 179). Dalam ‘Kritik atas Akal Budi Praktis’, Kant berpendapat bahwa setiap orang dapat menemukan suatu dasar bagi hukum moral yang berlaku secara universal dalam diri mereka sendiri.

Menurut Kant, hukum moral tidak didasarkan dari pengalaman. Akan tetapi ia dirumuskan dari perenungan dan refleksi yang dihasilkan dari pikiran manusia. Manusia sudah memiliki pengetahuan atau konsep mengenai baik dan buruk secara a priori melalui akal budi. Bahkan, mereka memiliki konsep tersebut sebelum ia mengalaminya. Hukum moral ini bersifat imperatif kategoris (dalam ‘The Critique of Practical Reason’-nya, Kant membicarakan dua jenis imperatif, yaitu hipotetik dan kategoris).

Imperatif kategoris inilah yang mendorong setiap orang untuk bertindak kepada orang lain semata-mata karena kewajiban tanpa syarat atau alasan yang berlaku dalam kondisi apapun. Imperatif kategoris tidak mengandung preposisi-preposisi kondisional seperti “jika A, maka B” seperti dalam imperatif hipotetik. Sebaliknya, imperatif kategoris berbentuk perintah mutlak seperti “lakukan ini!” atau “kamu harus melakukan ini!”. Ini adalah klaim berupa perintah sehingga seseorang tidak melakukan suatu tindakan atas dasar dorongan subjektifnya, karena moral memang harus lepas dorongan subjektif (Roger Scruton, 2002: 180).

Seseorang, menurut Kant, harus berbuat baik karena dorongan hukum moral semata, bukan karena motif-motif tertentu. Orang yang berbuat baik, yang kemudian mengharapkan imbalan atau ingin mendapatkan pujian dari orang lain, adalah orang yang memang bertindak “sesuai” hukum moral, tetapi tidak bertindak “karena” hukum moral. Sebagai contoh, seorang pedagang yang jujur karena tidak ingin kehilangan kepercayaan dari pelanggannya, telah bertindak sesuai hukum moral. Namun, ia tidak bertindak karena hukum moral, sebab ia melakukannya bukan berdasarkan alasan murni, tetapi memiliki tujuan atau motif tertentu, yaitu karena takut kehilangan kepercayaan orang lain.

Dalam pandangan Kant, bertindak sesuai hukum moral tidaklah cukup. Orang harus benar-benar bertindak karena ia menghormati hukum moral yang ada dalam dirinya. Perbuatan baik yang dilakukan karena motif-motif tertentu tidaklah otentik, karena perbuatan tersebut tidak berasal dari kesadaran diri dan kepatuhan seseorang terhadap kewajibannya. Imperatif kategoris Kant dirancang untuk menangkap frasa filosofis dari pertanyaan moral universal: “Bagaimana jika orang lain bertindak seperti itu?” atau “Bagaimana jika saya berada di posisinya?” Pertanyaan-pertanyaan ini berhubungan dengan apa yang disebut golden rule: “Jangan lakukan pada orang lain, sesuatu yang kau tidak ingin orang lain melakukannya pada dirimu”.

Manusia, menurut Kant, adalah makhluk rasional yang bertindak melalui pertimbangan akal budi. Berbeda dengan binatang yang bertindak hanya berdasarkan perasaan dan kesenangannya sendiri. Mari kita ingat kembali kasus pemuda pada paragraf pembuka tulisan ini di mana Kant menyimpulkan bahwa kebaikan hanya dicapai oleh mereka yang mendasari tindakannya di atas akal budi rasional. Bagi Kant, jika kamu membantu pemuda itu karena kamu tahu itu adalah kewajibanmu (bukan karena rasa kasihan), maka itu adalah tindakan bermoral. Itu adalah hal yang benar dilakukan karena itu adalah hal yang seharusnya dilakukan oleh setiap orang dalam situasi yang sama.

Kesimpulan Kant itu barangkali terkesan aneh bagi beberapa orang—atau kamu yang membaca tulisan ini. Kamu mungkin berpikir bahwa seseorang yang merasa kasihan kepada pemuda tersebut dan lalu membantunya telah melakukan tindakan yang baik secara moral, dan yang membuatnya baik adalah karena ia merasakan perasaan-perasaan itu. Ini jugalah yang pernah Aristoteles simpulkan ribuan tahun yang lalu. Tetapi Kant adalah filsuf yang keras kepala. Jika kamu melakukan sesuatu hanya karena apa yang kamu rasakan, itu sama sekali bukanlah tindakan yang baik (Nigel Warburton, 2011: 112).

Mari bayangkan situasi di mana orang yang menolong pemuda tersebut merasa jijik ketika melihat pemuda itu, tetapi ia tetap menolongnya karena itu adalah kewajibannya. Menurut Kant, orang ini jelas lebih bermoral daripada orang yang membantu karena belas kasihan. Mengapa? Sebab kewajiban itu tegas dan pasti, terlepas dari apa yang ia rasakan. Sedangkan orang yang bertindak didasarkan atas perasaannya, tidak memiliki kepastian moral yang jelas dan tegas. Karena perasaan itu, seseorang bisa bertindak melawan apa yang seharusnya ia lakukan.

Tidak Menjadikan Orang Lain sebagai Alat

Mari bayangkan situasi di mana seseorang yang menyedekahkan hartanya kepada orang miskin dengan alasan bahwa dengan bersedekah, ia akan mendapatkan imbalan pahala dan masuk surga. Bagaimana Kant melihat hal ini? Apakah tindakan tersebut baik secara moral?

Menurut pandangan Kant, tindakan itu sama sekali bukan tindakan bermoral. Sebab apa yang dilakukan orang yang bersedekah tersebut adalah menjadikan si miskin sebagai alat atau instrumen untuk mencapai tujuannya, yaitu pahala atau surga. Di sisi lain, sekalipun ia menolong si miskin karena rasa kasihan, Kant juga tetap menganggap tindakan tersebut sebagai tidak bermoral. Bagi Kant, menolong orang lain dilakukan bukan karena itu akan mengantarkan kita ke surga atau karena kita merasa kasihan, tetapi karena kita menyadari bahwa menolong orang lain adalah kewajiban dan tugas kita.

Konsistensi moral Kant ini menarik. Namun begitu, ada situasi di mana kita dihadapkan pada pilihan dilematis apabila kita menerapkan imperatif kategoris Kant. Misalnya, coba bayangkan ada seseorang yang mengetuk pintu rumahmu—ini contoh yang berbeda dari contoh pertama tentang pemuda sebelumnya. Kamu membuka pintunya dan ternyata itu adalah sahabatmu. Dia tampak pucat dan khawatir, dengan nafas yang terengah-engah. Dia mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin membunuhnya. Karena ibah, kamu pun membiarkannya masuk dan bersembunyi.

Beberapa saat kemudian, pintu rumahmu kembali diketuk. Kali ini seseorang yang diduga merupakan orang yang ingin membunuh sahabatmu bertanya di mana sahabatmu itu berada. “Apakah ia ada di rumah? Di mana dia?” Sebenarnya dia ada di dalam rumahmu, bersembunyi. Tetapi kamu berbohong. Kamu berkata kamu tidak tahu. Tentu, sekilas kamu telah melakukan hal yang benar; kamu menyelamatkan nyawa sahabatmu. Apakah ini tindakan yang bermoral? Tidak, menurut Kant. Kant berpendapat bahwa kamu tidak boleh berbohong—kapanpun, di manapun dan apapun yang terjadi. Sebab berbohong, baginya, selalu salah secara moral. Tidak ada pengecualian. Mengapa? “Karena Anda tidak dapat membuat prinsip umum bahwa setiap orang harus selalu berbohong jika itu menguntungkan mereka.” (Nigel Warburton, 2011: 113).

Tidak ada pengecualian untuk mengatakan kebenaran atau kewajiban moral apapun. Kita semua memiliki kewajiban mutlak untuk mengatakan kebenaran. Inilah imperatif kategoris; ia adalah perintah moral. Kant berkata bahwa kita musti bertindak berdasarkan pada sesuatu yang dapat diuniversalkan. Agar sesuatu dapat diuniversalkan, hal itu harus berlaku untuk semua orang di dalam situasi yang sama. Ini artinya, kamu harus melakukan hal-hal yang masuk akal bagi siapapun yang berada dalam situasi yang sama.

Di sisi lain, karena ini berkaitan dengan golden rule, Kant menyarankan kita untuk terus mengajukan pertanyaan, misalnya: “Bagaimana jika semua orang melakukan itu?” Seperti berbohong? Jika setiap orang boleh berbohong hanya karena itu menguntungkan mereka atau orang tertentu, maka tidak ada lagi kesaksian atau janji yang dapat dipercaya. Karena setiap ucapan atau janji terikat pada apa yang menguntungkan atau tidak menguntungkan bagi seseorang, bukan pada kewajiban bahwa mereka memang seharusnya tidak boleh berbohong. Oleh karena itu, menurut Kant, jika berbohong tidak dapat dibenarkan bagi setiap orang maka itu juga tidak dapat dibenarkan untukmu.

Sampai di sini, ada 3 poin utama yang Kant tegaskan sehubungan dengan imperatif kategoris dalam etika Deontologi-nya: Pertama, imperatif kategoris tidak merujuk pada keinginan atau kebutuhan individu, bahkan tidak merujuk pada apapun kecuali konsep rasional itu sendiri. Kedua, agen yang rasional dibatasi oleh akal untuk menerima imperatif kategoris. Sederhananya, imperatif kategoris merupakan hukum dasar akal praktis sebagaimana hukum non-kontradiksi dalam teori Leibniz. Tidak menerimanya sama saja dengan tidak bernalar. Ketiga, menerima prinsip ini berarti memperoleh justifikasi moral atas tindakan—kepatuhan. Imperatif kategoris tidak merujuk pada keinginan apapun, tetapi hanya pada kemampuan bernalar itu sendiri (Roger Scruton, 2002: 182).

Referensi

Bertrand Russell. ‘A History of Western Philosophy’. Simon & Schuster: New York, 1972.

Roger Scruton. ‘A Short History of Modern Philosophy: From Descartes to Wittgenstein’. Routledge: New York, 2002.

Nigel Warburton. ‘A Little History of Philosophy’. Yale University Press: New Haven, 2012.

‘Modern Philosophy: An Anthology of Primary Sources’. Ed. Roger Ariew and Erick Watkins. Hackett Publishing Company: Cambridge, 2019.

Lebih baru Lebih lama