Ketika saya membaca ‘Dunia Sophie’ karya penulis Norwegia, Jostein Gaarder, perhatian saya tertuju pada satu kalimat yang saban hari membuat saya merenung pada bagian pembuka buku itu, yaitu pertanyaan “siapakah saya?“
Seperti Sophie Amundsend dalam novel tersebut, saya mulai berpikir tentang hal yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya tentang diri saya sendiri. Pertanyaan itu membuat saya bertanya-tanya: Apakah yang membentuk identitas diri kita sebagai manusia, apakah itu nama, rupa ataukah yang lainnya?
Di sisi lain, bukankah aneh bahwa kita kesulitan menjelaskan siapa diri kita sendiri (ataukah ini hanya terjadi kepada saya saja)? Banyak hal yang berada di bawah kendali dan pilihan-pilihan kita, tetapi jelas kita tidak dapat memilih diri pribadi kita sendiri—atau seperti kata Sophie—“kita bahkan tidak pernah memilih menjadi seorang manusia.”
Pertanyaan “siapakah saya” merupakan sebuah pertanyaan mendasar dalam filsafat terkait identitas diri. Hal ini sudah menjadi perdebatan nomor wahid bagi para filsuf, termasuk filsuf yang dalam tulisan ini akan saya ulas: John Locke (1632-1704). Apakah hal yang kita sebut “diri” bersemayam dalam jiwa, dalam tubuh ataukah dalam kombinasi keduanya adalah pertanyaan besar bagi filsuf berdarah Inggris ini.
Namun begitu John Locke dengan jelas berpendapat bahwa “diri” bersemayam dalam ingatan. Saya mengerti bahwa mungkin klaimnya tersebut tampak seperti intrik. Olehnya dalam paragraf-paragraf berikut saya akan memberikan tinjauan umum dari argumen-argumen yang membawanya pada kesimpulan yang eksentrik seperti itu.
Terlepas dari itu, Locke tampaknya tidak hanya mereduksi persoalan “diri” menjadi ingatan, tetapi juga ingatan internal. Dengan melakukan itu, ia terkesan menempatkan dirinya di atas lereng licin yang kapanpun bisa menjerumuskannya ke dasar jurang Idealisme, yang kita tahu cukup bertentangan dengan Empirisme-nya.
Tanpa mengenyampingkan hal tersebut, saya kira penting untuk memahami prinsip-prinsip dasar Locke mengenai identitas atau kesamaan berbagai hal secara umum.
Pembahasan Locke tentang ketetapan (atau apa yang disebut dengan identitas diakronis) seseorang dapat kita temukan pada buku ke-2, bab 27 dari ‘An Essay Concerning Human Understanding’—pada bagian “Of Identity and Diversity”. Di halaman ke-297, Locke menawarkan kepada kita dua prinsip utama dalam menentukan identitas atau kesatuan hal. Salah satunya adalah prinsip waktu dan lokasi.
Meskipun Locke telah mengulas sedikit masalah ini pada buku ke-1, bab 4, bagian 5, termasuk juga dalam ‘Second Treatise of Government’-nya, tetapi pada bagian ini Locke cukup detail. Dia mengatakan—seperti yang bisa Anda lihat pada tangkapan layar di atas—bahwa pada waktu tertentu, satu hal hanya dapat berada di satu tempat; satu hal yang sama tidak mungkin berada di dua tempat atau lebih pada waktu yang sama.
Saya beri contoh. Misalnya, Anda sekarang melihat sebuah kursi di halaman rumah. Pada saat yang sama, Anda juga melihat kursi yang identik, yang jaraknya 5 meter dari tempat Anda berdiri sekarang. Meskipun tampak identik, namun keduanya bukanlah kursi yang sama. Mengapa? Karena kedua kursi tersebut berada di lokasi yang berbeda meskipun berada di waktu yang sama. Inilah yang membuat Anda menyimpulkan bahwa kedua kursi tersebut bukanlah kursi yang sama.
Namun, jika Anda kebetulan hanya melihat satu kursi di halaman depan rumah pada pukul 10 pagi, dan dua jam kemudian Anda melihat kursi yang identik di samping rumah, Anda dapat berasumsi bahwa itu adalah kursi yang sama yang Anda lihat di halaman depan pada pukul 10 sebelumnya. Seseorang mungkin telah memindahkannya di sana. Dalam kasus ini, Locke menulis:
“Tidak mungkin dua hal yang sejenis bisa berada atau berwujud di saat yang sama, di tempat yang sama; atau satu hal yang sama di tempat yang berbeda. Oleh karena itu, yang memiliki satu awal, adalah hal yang sama; dan yang memiliki awal yang berbeda dalam waktu dan tempat, bukanlah hal yang sama, tetapi berbeda.” (27:27).
Prinsip kedua dan yang tak kalah pentingnya dalam menentukan identitas sesuatu menurut Locke adalah unsur-unsur pembentuk, yang membedakan satu hal dengan hal lain. Locke berpendapat bahwa sebelum kita menentukan kondisi atau identitas sesuatu—sebut saja kursi—pertama-tama kita harus menentukan esensi nominal—atau ide-ide umumnya terlebih dahulu.
Mungkin cukup sulit dicerna. Saya akan memberikan deskripsinya. Misalnya, menurut Locke makhluk tak hidup (abiotik) adalah “paduan partikel-partikel yang disatukan dengan cara apa pun.” Di sinilah letak identitas mereka. Akan tetapi bagi makhluk hidup (biotik) seperti manusia sedikit berbeda, sebab menyatukan partikel-partikel saja tidak cukup untuk dijadikan sebagai faktor penentu identitasnya.
Locke berpendapat bahwa identitas makhluk hidup adalah masalah kesinambungan psikologis. Karena itu, sangat mungkin bagi makhluk hidup untuk terus ada meskipun tubuh fisiknya hilang atau berubah; kita menganggap seekor anak sapi yang tumbuh menjadi sapi dewasa tetaplah sapi yang sama bagi kita, meskipun dalam kasus tersebut banyak perubahan dalam materi fisik si sapi yang terjadi.
Prinsip di atas juga berlaku bagi manusia, terutama tentang identitas individu. Locke mengatakan:
“Karena hal ini ditujukan untuk menemukan di mana identitas pribadi, kita harus mempertimbangkan apa yang diwakili oleh individu tersebut… yang, menurut saya, adalah sebuah makhluk yang cerdas dan berpikir, yang memiliki akal budi dan refleksi, dan dapat menganggap dirinya sebagai dirinya sendiri, sesuatu yang sama yang berpikir di waktu dan tempat yang berbeda…” (27:29)
Namun begitu, perlu digarisbawahi bahwa Locke membedakan antara identitas personal atau individu dan identitas manusia. Bagi Locke, manusia dan individu adalah dua hal yang berbeda, meskipun kita sering kali menukar kedua kata tersebut. Keduanya berbeda karena unsur-unsurnya berbeda.
Menurut Locke, manusia terdiri dari dua substansi: entitas fisik (yaitu tubuh) dan entitas nonfisik (yaitu jiwa). Di sisi lain, individu, selain memiliki substansi fisik dan jiwa, juga memiliki kesadaran, yang memberikannya persepsi atas keberadaannya. Secara khusus, individu adalah makhluk berpikir yang memiliki akal budi dan refleksi dan dapat menganggap dirinya sebagai dirinya sendiri, “hal yang dapat berpikir dengan cara yang sama, di waktu dan tempat yang berbeda.” Potensi-potensi semacam ini hanya dapat dilakukan melalui kesadaran.
Untuk mendukung kesimpulannya tersebut dia memberikan contoh pada tubuh kita sendiri. Memang benar bahwa kita merasakan tubuh kita sebagai bagian dari diri kita—kita merasakannya ketika kita disentuh, disakiti dan lain sebagainya. Namun, hal ini hanya mungkin terjadi apabila semua partikel tubuh kita terhubung secara vital dengan kesadaran kita yang berpikir. Perasaan terhadap bagian-bagian tubuh kita akan hilang apabila hubungan tubuh kita terputus dari kesadaran atau diri yang berpikir. Contoh utama yang disebutkan Locke adalah anggota tubuh yang terputus (27:40).
Meskipun perbedaan antara identitas manusia dan individu terkesan kontroversial, dikotomi Locke tentang jiwa dan kesadaran bahkan jauh lebih radikal. Menurutnya, jiwa bukanlah tempat di mana identitas seseorang berada. Untuk membuktikan hal ini, Locke mengajak kita membayangkan diri kita memiliki jiwa nonfisik, dan jiwa itu sebelumnya pernah dimiliki oleh seseorang dari masa lalu, misalnya Socrates.
Locke meminta kita untuk merenungkan apakah kita memiliki kesadaran akan jiwa yang kita yakini kita warisi dari Socrates. Jika kita tidak mengingat pengalaman kita dari kehidupan kita di masa lalu, maka keliru apabila kita menganggap diri kita sebagai individu yang sama dengan seseorang di masa lalu yang jiwanya kita miliki (27:35-38).
Menurut Locke, identitas kita di masa lalu (apabila memang ada) hanya dapat menjangkau sejauh kesadaran kita dapat diperluas ke dalam tindakan-tindakan atau pikiran di masa lalu. Apabila kesadaran kita tidak memiliki ingatan atas tindakan dan pikiran di masa lalu, maka diri kita saat ini dan di masa lalu bukanlah diri yang sama. Dengan kata lain, saya menganggap diri saya mengetik esai ini kemarin sebagai orang yang sama dengan diri saya saat ini karena saya memiliki ingatan ketika saya mengetik tulisan ini kemarin. Jika saya tidak memiliki ingatan tersebut, maka saya tidak dapat mengatakan bahwa diri saya saat ini sama dengan diri saya yang kemarin.
Locke menyimpulkan bahwa tidak adanya kesadaran yang menjangkau masa lalu—bahkan jika ada yang namanya reinkarnasi jiwa—merupakan bukti bahwa jiwa bukanlah tempat di mana identitas tentang siapa diri kita berada. “Identitas pribadi atau diri berada dalam kesadaran dan hanya dalam kesadaran itu saja,” tegas Locke. Dia lalu melanjutkan:
“Karena substansi jiwa manusia harus dianggap immaterial, jelaslah bahwa hal yang immaterial terkadang dapat berpisah dari kesadaran masa lalunya, dan dikembalikan lagi kepadanya, seperti yang tampak dalam kelupaan yang sering dialami manusia atas tindakan-tindakan mereka di masa lalu, dan pikiran berkali-kali memulihkan ingatan akan kesadaran masa lalu, yang telah hilang selama dua puluh tahun… Jadi ‘diri’ tidak ditentukan oleh keragaman substansi… tetapi hanya oleh identitas kesadaran.” (27:23)
Sama seperti kasus “Socrates Waking and Sleeping” pada ayat ke-19—yang Locke contohkan sebagai bukti rasional atas argumennya—bahwa perubahan pribadi dapat terjadi karena perubahan kesadaran, dan ini dapat terjadi sekalipun tidak ada perubahan pada substansi manusianya. Di sini kita mulai mengerti bahwa, bagi Locke, perubahan identitas diri dapat terjadi meskipun tidak ada perubahan pada jiwa.
Locke mengukuhkan posisinya yang sangat berbeda dari para pendahulunya seperti Plato dan Descartes yang berpikir bahwa seseorang tidak dapat menjadi dirinya kecuali ia memiliki jiwa, karena identitas diri terletak pada identitas jiwa. Locke dengan kontras mengambil langkah berani dengan memisahkan antara identitas diri (kesadaran) dan jiwa, dan mereduksi identitas diri tersebut dengan ingatan.
Referensi
John Locke. ‘An Essay Concerning Human Understanding’. (40th edition). London: 1689.
Penulis