Sebagai manusia, kita pasti pernah merasakan hal-hal yang membuat kita kecewa dan sakit hati—bahkan yang membuat kita down. Ada pertanyaan yang muncul di benakku, dan sekali waktu saya pernah bertanya kepada teman-teman di kelas: Apakah seseorang boleh marah? Apakah seseorang boleh mendendam?
Banyak dari mereka yang menjawab—“ya boleh, kenapa tidak....”—dengan alasan yang berbeda-beda. Sayangnya, saya kurang puas dengan jawaban-jawaban mereka; saya belum menemukan jawaban yang pas atas pertanyaan tersebut.
Sampai suatu waktu, saya melihat salah seorang teman sekelas yang membaca sebuah buku dengan judul menarik, ‘How To Keep Your Cool’. Buku yang berisi kumpulan esai-esai pilihan dari filsuf Stoikisme Romawi—Seneca—ini merupakan sebuah panduan klasik untuk menavigasi amarah; menggambarkan perspektif Stoa sehubungan dengan cara mengatur sesuatu yang ia sebut “pathos” (emosi).
Pada bagian sinopsis buku, yang berjudul asli ‘De Ira’ (On Anger), ini terdapat satu kutipan dari Seneca bahwa “kemarahanmu adalah sejenis kegilaan, karena kau menetapkan harga tinggi untuk hal-hal yang tak terduga.” Pernyataan ini mungkin sekilas tampak ambigu, tetapi saya berharap melalui tulisan ini, Anda dapat terbantu untuk memahami apa yang Seneca maksud di atas dan tentu saja jawaban yang saya temukan mengenai pertanyaan saya di awal paragraf tulisan ini.
Sekilas tentang Stoikisme dan Seneca
Setelah Alexander Agung meninggal pada 323 SM, muncul beberapa aliran filsafat yang berupaya mencari cara untuk mencapai “eudaimonia”, atau kebahagiaan. Stoikisme adalah salah satu aliran filsafat yang paling terkenal. Dimulai dari Zeno sekitar tahun 300 SM, Stoikisme telah mencakup ragam diskursus filsafat: etika, logika dan metafisika.
Teori metafisika Stoikisme berusaha untuk menjelaskan prinsip-prinsip fundamental dalam persoalan ontologi. Kaum Stoa percaya bahwa Tuhan dan alam semesta adalah satu entitas yang disebut “logos” yang bekerja melalui “pneuma” (sejenis api ilahi). Segala sesuatu di alam semesta berasal dari “logos”. Planet, bintang, manusia, dan hewan dianggap sebagai materi pasif, dan semuanya tunduk pada takdir yang telah ditentukan oleh “logos” yang rasional.
Kepercayaan pada takdir ilahi ini merupakan inti dari ide-ide utama Stoikisme. Objek-objek pasif di alam semesta mengikuti rantai takdir dan hidup sesuai dengan kodratnya. Dalam pemikiran Stoa, takdir dan kehendak bebas hidup saling berdampingan. Manusia harus memilih untuk menerima takdir dari kodratnya sebagai “hewan yang rasional”.
Karena alam semesta telah diatur oleh “logos”, kaum Stoa berpendapat bahwa kita tidak perlu khawatir tentang hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan. Bereaksi secara negatif terhadap suatu peristiwa di luar kendali kita dengan kemarahan atau ketakutan adalah tindakan yang tidak rasional. Oleh karena itu, Stoikisme mengajarkan bahwa sebagai makhluk rasional, manusia musti mengendalikan emosinya agar ia tidak membuat pilihan yang irasional.
“Kebajikan” merupakan filosofi penting Stoikisme, yang terdiri dari empat cita-cita utama; keberanian, keadilan, kesederhanaan dan kebijaksanaan. Kaum Stoa percaya bahwa kejahatan tidak melekat pada manusia, tetapi berasal dari ketidaktahuan akan “logos” dan hakikat realitas.
Terlepas dari itu, para filsuf Stoa sama sekali tidak mengatakan tentang “penghapusan” emosi seperti yang pada umumnya banyak disalahpahami. Namun, demi kedamaian batin, mereka percaya kita dapat menghindari kejahatan, ketidaktahuan dan ketidakbahagiaan dengan akal budi yang kita miliki, sehingga memungkinkan kita untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan kebajikan.
Seneca, yang dalam artikel ini saya ulas, adalah salah satu filsuf Stoa tersebut. Ia adalah yang pertama dari tiga tokoh besar—Seneca, Epictetus dan Marcus Aurelius—yang aktif selama periode kekaisaran Romawi, yang biasanya dikenal sebagai “Stoikisme Romawi”.
Seneca adalah satu-satunya filsuf Stoa yang menulis diskursus-diskursus filsafat dalam bahasa Latin dan salah satu filsuf yang paling terkenal dan kontroversial dalam sejarah.
Dengan nama asli Lucius Annaeus Seneca, dia dilahirkan di Spanyol (Andalusia) sekitar tahun 4 SM, tepatnya di Colonia Patricia Corduba di Hispania. Saat muda, ia pindah ke Roma untuk belajar filsafat dan mendapatkan bimbingan langsung dari Attalus, filsuf Stoa yang dikenal memiliki kecakapan dalam retorika. Secara bertahap, Seneca meniti karier intelektual dan politiknya hingga menjadi juru tulis dan akhirnya menjadi seorang senator.
Namun kehidupan Seneca penuh dengan penderitaan dan kontradiksi. Pada tahun 41 M, Seneca diasingkan ke Corsica oleh Kaisar Claudius atas dugaan perzinahan dengan saudara perempuan mantan kaisar, Caligula. Delapan tahun kemudian, Seneca dipanggil lagi ke Roma atas permintaan istri Claudius, Agrippina, yang ingin Seneca menjadi guru bagi sang putra mahkota, Nero.
Nero merupakan salah satu Kaisar Romawi yang paling terkenal; terkenal karena kekejamannya. Sebagai seorang Stoa, Seneca berkomitmen untuk menjalani kehidupan yang baik namun di sisi lain juga menjadi penasihat sang tiran sembari menumpuk sejumlah besar kekayaan. Oleh karena itu sulit untuk mendamaikan tindakan Seneca dengan nilai-nilai Stoikisme, hingga pada tahun 65 M, Seneca terlibat dalam sebuah rencana untuk menggulingkan pemerintahan Kaisar Nero.
Meskipun tuduhan tersebut tidak benar, Nero yang terlanjur marah dan paranoid memerintahkan mantan gurunya itu untuk bunuh diri saat itu juga. Seneca pun menurut; ia mengiris pergelangan tangannya dan kemudian meminum racun. Ini merupakan peristiwa yang menggemparkan kekaisaran saat itu. Pola pikir dan tindakan berani Seneca tersebut mencerminkan prinsip “apatheia”. Ia mengendalikan emosinya dan menerima apa yang telah ditakdirkan untuknya.
Tidak heran mengapa pandangan Seneca tentang etika begitu masyhur. Banyak nasihat yang ia berikan benar-benar berguna, bahkan bagi kita yang bukan penganut Stoikisme sekalipun.
Ia mengingatkan kita bahwa segala sesuatu yang kita lakukan adalah tentang bagaimana memanfaatkan sumber daya langka yang kita miliki, yaitu waktu, dan berpendapat bahwa bahkan kehidupan yang paling singkat pun akan berharga jika waktu digunakan dengan baik. Misalnya, dalam salah satu karyanya ‘On the Shortness of Life’, ia menceritakan tentang seorang pria bijak bernama Julius Canus, yang dihukum mati oleh Caligula.
Ketika para sipir datang ke selnya untuk mengeksekusinya, Julius Canus sedang bermain sebuah permainan dengan para pengawalnya, dan ketika mereka menyeretnya keluar, ia berkata kepada para sipir itu: “Kalian adalah saksi bahwa saya unggul satu poin.” Wiyata yang dapat kita petik dari anekdot ini adalah jika Julius Canus—dan Seneca—bisa menghadapi kematiannya dengan begitu tenang, mengapa kita harus gelisah dengan fakta bahwa kita akan mati suatu hari nanti?
Pengendalian Amarah
Seneca pada dasarnya mencoba membantu kita untuk mencapai kebebasan total dari gangguan-gangguan psikologis. Inilah tujuan Stoikisme Romawi. Salah satu sumbangan filsafat Seneca yang terpenting adalah analisisnya mengenai hal yang mengancam ketenangan batin: emosi.
Kaum Stoa—termasuk Seneca—berpendapat bahwa kita harus menghindarkan diri dari dominasi-dominasi emosi. Para filsuf Stoa menggunakan kata “pathos” untuk merujuk pada emosi dan pengalaman—sebuah kata yang menandakan sifat pasif emosi.
Sedangkan kemarahan, kesedihan atau ketakutan bermakna sama dengan “terpengaruh”—yang dalam bahasa Latinnya “adfectus”—oleh hal-hal di luar kendali kita. Seneca mengikuti pandangan Stoikisme tradisional, yang menyatakan bahwa emosi berarti menyerahkan nasib kita untuk dikendalikan oleh hal-hal yang berada di luar diri kita.
Jiwa manusia bagaikan taman yang luas dan subur, tempat beragam emosi bertumbuh dan berkembang. Namun terkadang, tanpa kita sadari, tanaman beracun seperti amarah dan dendam merambat liar, mencekik keindahan yang seharusnya ada. Inilah alasan mengapa Seneca mencurahkan dialog panjang dan menarik tentang topik ini dalam ‘On Anger’-nya.
Seneca menceritakan bahwa Plato pernah ingin memukul seorang budak dalam kemarahan, tetapi ia berhasil menguasai dirinya tepat pada waktunya. Dia membiarkan budak tersebut pergi tanpa menyentuhnya, meskipun tangannya tetap berada di udara—siap untuk memukul. Beberapa jam kemudian seorang murid Plato datang menemuinya, dan terkejut melihat Plato masih dalam posisi itu (tangan di atas yang siap memukul). Ketika muridnya bertanya apa yang sedang ia lakukan, Plato mengatakan bahwa dia sedang menghukum orang yang marah, yaitu dirinya sendiri.
Namun, bukankah kemarahanlah yang membuat kita menghukum mereka yang pantas dihukum? Dan bukankah wajar untuk marah sesekali? Pandangan Seneca, dalam karyanya, ‘On Anger’, tidak memandang amarah sebagai sesuatu yang sepenuhnya harus dihindari.
Seneca mengakui bahwa kemarahan merupakan reaksi alami terhadap situasi yang dianggap tidak adil atau mengancam. Seperti yang dikatakan Aristoteles, bahwa ia akan marah pada saat yang tepat, untuk alasan yang tepat dan dengan cara yang tepat (dalam bukunya Seneca memang merujuk pada Aristoteles dan juga muridnya, Theophrastus). Olehnya bagi Seneca, masalah utamanya bukan terletak pada amarah, melainkan pada bagaimana amarah tersebut dikelola.
Ia membandingkan amarah dengan penyakit jiwa, sebuah dorongan yang merusak jika dibiarkan mengamuk tanpa kendali. Amarah yang tidak terkendali, menurut Seneca, dapat menyebabkan tindakan-tindakan impulsif yang merugikan diri sendiri dan orang lain, merusak hubungan dan menghambat kebahagiaan kita. Kemarahan, pada hakikatnya, menyebabkan kita kehilangan kendali atas diri kita sendiri.
Seneca menganalogikan hilangnya kesabaran dengan berlari ke tebing bahwa “begitu Anda kehilangan kendali, sudah terlambat untuk kembali.” Ide tentang kemarahan moderat ini agaknya cukup kontradiktif, bukankah kemarahan justru merupakan keadaan yang melampaui akal sehat? Oleh karena itu, Seneca pernah berkata: “...keburukan lain mendorong pikiran, kemarahan menghancurkannya.”
Lalu, bagaimana agar kita mampu mengendalikan amarah menurut Seneca? Setidaknya ada beberapa strategi yang dapat ia tawarkan:
Pertama, memupuk kesadaran diri. Menurut Seneca langkah pertama dalam mengelola amarah adalah dengan mengenali dan memahami pemicunya. Dengan kesadaran diri, kita dapat mengantisipasi situasi yang berpotensi memicu amarah dan mempersiapkan diri untuk meresponnya dengan bijak. Ini sejalan dengan prinsip Stoa untuk memahami dan menerima emosi tanpa terbawa arus. Konteks Stoa dalam hal ini, bukanlah untuk menghilangkan amarah, tetapi tentang bagaimana kita mengubah hubungan kita dengan emosi tersebut. Di sini kita mengambil posisi sebagai pengamat yang bijaksana, bukan budak dari emosi kita sendiri.
Kedua, penundaan reaksi atau respon. Seneca menekankan pentingnya menunda reaksi ketika kita merasakan amarah. Alih-alih langsung bereaksi secara impulsif, ia menyarankan kita mengambil waktu untuk menenangkan diri dan berpikir jernih terlebih dahulu. Ini memberikan ruang untuk merenungkan situasi dari berbagai sudut pandang, sebelum mengambil suatu tindakan.
Ketiga, berpikir rasional. Seneca menganjurkan penggunaan akal budi dan logika untuk melawan amarah. Ia mendorong kita untuk bertanya—atau berdialog—pada diri sendiri, misalnya: Apakah reaksi kemarahan ini benar-benar proporsional dengan situasinya? Apakah ada cara lain untuk merespon situasi ini selain marah? Dengan berpikir rasional, kita dapat menghindari tindakan yang didorong oleh emosi buta semata.
Terakhir adalah mengubah perspektif. Seneca menyarankan kita untuk mengubah perspektif terhadap situasi yang memicu amarah. Ia mendorong kita untuk melihat situasi dari sudut pandang orang lain dan memahami konteksnya. Sering kali, memahami sudut pandang orang lain dapat meredakan amarah.
Tentang Dendam
Dendam berbeda dengan amarah. Dendam menggerogoti jiwa kita secara perlahan, menciptakan rasa ketidaknyamanan dan kegelisahan yang terus-menerus. Dendam adalah keinginan untuk membalas rasa sakit hati, demi memperoleh kepuasan dengan menyakiti orang yang telah menyakiti kita. Dendam menghantui kita—mencegah kita untuk memaafkan dan melupakan, dan memaksa kita menjalani siklus negatif yang tak berujung.
Untuk mendiskusikan sub ini, mari kita kembali ke pertanyaan pada alinea sebelumnya: Bukankah kemarahanlah yang membuat kita menghukum mereka yang pantas untuk dihukum? Untuk menjawab pertanyaan ini, Seneca berkata bahwa seseorang harus menghukum karena keinginan untuk melakukan keadilan, bukan karena ingin membalas dendam. Jika keadilan yang menjadi motivasi kita, kita memiliki kesempatan untuk memberikan hukuman yang adil; sedangkan jika motif kita adalah amarah, kita akan berakhir menjadi seorang tiran bahkan penjahat.
Mungkin pandangan Seneca di atas terkesan tidak realistis, tetapi untuk memahami maksudnya, barangkali ada baiknya untuk membayangkan orang bijak Stoa yang dihadapkan pada situasi yang cukup memancing ledakan emosinya, misalnya ketika dia tiba-tiba ditampar di jalanan tanpa alasan yang jelas atau mungkin ketika seseorang berkata kepadanya bahwa selera berpakaiannya terlalu kampungan.
Kita tahu, bahwa apabila dia sungguh merupakan orang yang bijak, dia tidak akan merasa terganggu oleh hal-hal seperti itu. Nalarnya akan tetap memegang kendali dan mencegahnya untuk bertindak impulsif. Namun, itu tidak berarti bahwa ia dapat menghindari reaksi-reaksi awal yang alami seperti wajah yang memerah, misalnya, atau jantung yang berdetak lebih cepat.
Kisah Plato yang mengangkat tangannya untuk memukul seorang budak, dan kemudian menghentikan dirinya sendiri, sebelumnya adalah contoh yang dapat kita ambil dalam kasus ini, meskipun Seneca mungkin akan mengatakan bahwa orang bijak sejati tidak akan sampai mengangkat tangannya atau mengepalkan jari-jemarinya. Sebaliknya, ia mungkin hanya berkedut. Reaksi yang naluriah, alami dan tidak dapat dihindari seperti itu disebut oleh Seneca dalam ‘On Anger’ sebagai "gerakan pertama".
“Gerakan pertama” menyertai kesan awal yang kita terima dari lingkungan sekitar, misalnya, bahwa kita baru saja dihina atau mendapatkan serangan fisik. Orang bijak tidak dapat menghindari hal ini, tetapi ia akan menahan diri untuk tidak terbawa oleh kesan-kesan ini dalam “gerakan kedua”—suatu tindakan penalaran yang membenarkan atau mendukung kesan tersebut.
Ini yang kemudian dapat menimbulkan “gerakan ketiga”, di mana nalar yang membenarkan kesan-kesan alami pada “gerakan pertama” kehilangan kendali dan menyerah pada kemarahan. Di sini Seneca menganut gagasan Stoikisme tradisional tentang emosi, bahwa emosi pada akhirnya didasarkan pada nalar.
Reaksi emosional adalah tentang penilaian. Kita memiliki kemampuan untuk tidak menyetujui kesan-kesan pada “gerakan pertama”. Kita mungkin menyadari bahwa toples itu tampaknya berisi madu, tetapi sebenarnya bisa saja berisi cuka; kita mungkin melihat bahwa sekelompok mahasiswa yang saban hari menggembar-gemborkan keadilan dan kesetaraan itu seperti pahlawan, tetapi sebenarnya mereka sama munafiknya dengan orang-orang yang mereka teriakkan itu.
Apa yang Seneca tambahkan ke dalam gambaran ini adalah kepekaan terhadap reaksi-reaksi tak sadar yang awalnya kita alami bersama dengan kesan—kedutan, pipi memerah dan ritme jantung yang cepat—dan juga gambaran yang jelas tentang bagaimana rasanya ketika akal sehat kehilangan kendali.
Menurut Seneca, jiwa itu rasional, maka reaksi emosional kita harus melibatkan semacam penilaian atau pertimbangan tentang bagaimana segala sesuatu tampak bagi kita. Justru tanpa pertimbangan yang rasional, kita akan merasa sangat terasing ketika akal kita menilai bahwa kita harus melakukan balas dendam hingga kemarahan mengambil alih, dan kita pun kehilangan kendali.
Kehilangan kendali inilah yang Seneca ingin kita hindari, entah itu disebabkan oleh kemarahan, kesenangan, kemewahan atau kesedihan. Ia menasihati kita untuk tidak hanya menghadapi penghinaan, tetapi juga semua perubahan nasib, dengan ketenangan. Meskipun tujuannya mungkin tampak sederhana, Seneca menyajikannya sebagai sesuatu yang benar-benar heroik. Seperti yang pernah ia katakan di salah satu bagian ‘On Anger’-nya bahwa dalam menghadapi kemalangan dengan berani dan penuh ketenangan, kita sebenarnya telah melakukan tindakan yang bahkan tidak dapat dilakukan oleh Tuhan, sebab Tuhan tidak pernah mengalami kemalangan.
Dengan demikian, Seneca menekankan pentingnya melepaskan dendam melalui dua hal: Pertama, memaafkan. Memaafkan bukanlah tanda kelemahan, melainkan tindakan kekuatan yang membebaskan kita dari beban emosi negatif. Memaafkan tidak berarti melupakan atau membenarkan tindakan yang menyakiti, tetapi berarti melepaskan keinginan untuk membalas dendam.
Kedua adalah berfokus pada diri sendiri. Alih-alih terpaku pada kesalahan orang lain, Seneca mendorong kita untuk fokus pada pengembangan diri dan kebahagiaan pribadi. Ini berarti menerima apa yang tidak dapat kita kendalikan dan fokus pada apa yang dapat kita kendalikan—yaitu, reaksi dan tindakan kita sendiri.
Selain dua hal tersebut, Seneca juga menambahkan banyak nasihat praktis lainnya. Misalnya, ia menyepakati strategi untuk menghitung satu sampai sepuluh ketika kita marah; ia menyarankan kita untuk menunggu—mengambil jeda—sebelum bertindak ketika kita merasakan luapan amarah. Kita perlu mengenali bahwa amarah dan dendam hanya akan memperburuk keadaan, dan tidak akan menyelesaikan masalah.
Kekuatan ajaran Seneca terletak pada janji bahwa, dengan kesabaran dan ketekunan, kita dapat membentuk kembali diri kita sendiri sehingga kita benar-benar mampu menguasai diri kita sendiri. Namun, ini mengharuskan kita untuk melepaskan obsesi kita terhadap hal-hal yang tidak berada dalam kontrol kita.
Pandangan Seneca tentang emosi, amarah dan dendam masih sangat relevan bahkan sampai hari ini. Dalam masyarakat yang serba cepat dan penuh tekanan ini, kita sering kali dihadapkan pada situasi yang memicu amarah dan keinginan untuk membalas dendam. Namun, dengan menerapkan prinsip-prinsip yang telah diajarkan Seneca di atas, saya berharap kita dapat belajar mengelola emosi-emosi kita dengan lebih baik, membangun hubungan yang lebih sehat, dan menjalani kehidupan yang lebih damai dan bermakna.
Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin mengutip salah satu wejangan Seneca bahwa “kita seharusnya tidak mencoba mengatur apa yang menjadi urusan nasib, sementara mengabaikan apa yang menjadi urusan kita.” Sentimen Seneca ini menarik kita pada kesimpulan bahwa emosi dan pengalaman batin pada akhirnya adalah “terserah kita.” Semuanya bergantung pada keputusan-keputusan kita.
Referensi
Seneca. ‘Letters from Stoic’. (Terj. Robin Alexander Campbell). London: Penguin Books, 1969.
Inwood, Brad. ‘Reading Seneca: Stoic Philosophy at Rome’. New York: Oxford University Press, 2005.
Penulis