Beberapa pekan yang lalu, saya mendengarkan curhatan salah seorang teman yang tengah bersedih karena alasan yang tidak dapat saya ungkapkan di sini; masalah yang ia hadapi adalah apa yang oleh para filsuf Stoikisme sebut dengan “adfectus” (masalah yang tidak dapat diubah atau dikontrol).
Dalam hidup, menurut saya, kita perlu menghindari hal-hal yang menganggu mental kita, membersihkan setiap penghalang yang ada, dan memberikan sedikit ruang untuk cahaya dan udara segar. Hal ini merupakan upaya untuk melepaskan diri kita dari rasa ketergantungan, bukan hanya pada hal-hal yang tidak berguna tetapi juga hal-hal yang berada di luar kendali kita.
Dalam karyanya, ‘On Anger’, Seneca menyatakan bahwa emosi berarti menyerah pada hal-hal eksternal (adfectus) untuk mengendalikan kita. Maka, sebagai filsuf Stoikisme, Seneca menyarankan kita untuk tidak membiarkan hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan mengendalikan kita. Dalam konteks ini, Seneca memisahkan antara kita dan realitas eksternal—antara yang mengalami dan yang dialami.
Oleh karena itu, barangkali layak untuk ditanyakan, mengapa kita perlu melakukan hal tersebut? Bukankah mustahil memisahkan diri kita dan realitas eksternal? Atau bukankah sikap semacam itu adalah sikap seorang pecundang, yang melarikan diri dari kenyataan? Tentu saja kita tidak berharap Seneca akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, karena dia telah tiada.
Namun begitu, tidak ada salahnya bagi kita untuk melakukan refleksi lebih lanjut untuk mencari tahu jawaban yang pantas. Terlepas dari itu, masih banyak filsuf Stoikisme lainnya yang mungkin dapat menjelaskan masalah-masalah kita, seperti Marcus Aurelius. Tetapi sebelum saya masuk ke bahasan utama kita, baiknya saya menjelaskan terlebih dahulu garis besar tentang apa itu Stoikisme.
Stoikisme
Stoikisme merupakan aliran filsafat yang berkembang di Romawi dan berasal dari Yunani. Stoikisme muncul di periode Helenistik, sekitar tahun 300 SM dan didirikan oleh Zeno (344–262 SM). Stoikisme adalah aliran filsafat yang memiliki banyak penganut bahkan hingga saat ini. Kelompok ini menganggap diri mereka sebagai pewaris filsafat Sokrates (melalui jalur Sinisme) dan filsafat alam Heraclitos.
Warisan utama kaum Stoik adalah doktrin etika mereka. Seperti kebanyakan aliran filsafat kuno lainnya, kelompok filsuf ini menganggap bahwa tujuan etika yang paling prinsipil adalah “eudaimonia”. Kata Yunani ini tidak memiliki terjemahan langsung dalam bahasa Indonesia. Namun kata ini sering diterjemahkan sebagai “kebahagiaan”, tetapi eudaimonia tidak hanya menggambarkan suasana hati yang menyenangkan; kata ini memiliki makna yang jauh lebih dalam. Eudaimonia mungkin lebih tepat diterjemahkan sebagai “kesejahteraan”. Kehidupan yang ber-eudaimonia adalah ketika kita telah memanfaatkan potensi yang kita miliki untuk mencapai keunggulan dan martabat.
Stoikisme dan Etika Aristoteles
Pada taraf tertentu, Stoikisme sependapat dengan filsafat moral Aristoteles. Dalam ‘Nicomachean Ethics’-nya, Aristoteles mendefinisikan eudaimonia sebagai “aktivitas jiwa yang selaras dengan kebajikan.” Artinya, eudaimonia dan kebajikan saling terkait. Kata Yunani untuk “kebajikan” adalah “arete”. Kata ini tidak secara sempit mengacu pada moral, tetapi juga segala jenis keunggulan. Bagi Aristoteles, ini adalah kualitas yang membuat “sesuatu menjadi baik dalam melakukan apa yang dapat dilakukannya” atau menjadi apa adanya. Misalnya, pisau yang baik adalah pisau yang tajam. Oleh karena itu, salah satu “keutamaan” pisau adalah ketajamannya.
Bagi manusia, kebajikan atau “arete” adalah kondisi karakter yang membuat manusia dapat dianggap sebagai manusia. Aristoteles mengatakan bahwa “manusia adalah hewan yang rasional.” Jadi, keunggulan kita adalah kualitas yang memungkinkan kita untuk bertindak secara rasional dan bekerja sama. Daftar kebajikan atau “arete” sering kali bervariasi dari satu aliran ke aliran lain dan dari satu filsuf ke filsuf lain, tetapi sebagian besar aliran filsafat kuno sepakat pada empat kebajikan utama: kehati-hatian, kesederhanaan, keberanian, dan keadilan. Karakter-karakter inilah yang memungkinkan kita untuk bertindak sebagai makhluk yang rasional dan sosial.
Perbedaan Etika Stoikisme dan Aristoteles
Ada satu perbedaan yang membedakan etika Stoikisme dari etika Aristoteles: Stoikisme percaya bahwa kebajikan saja sudah cukup untuk membantu kita mencapai eudaimonia. Aristoteles, di sisi lain, berpikir bahwa kebajikan memang diperlukan untuk mencapai eudaimonia, tetapi itu saja tidak cukup, sebab masih ada hal lain yang dibutuhkan.
Bagi Aristoteles, selain kebajikan, eudaimonia juga membutuhkan hal-hal penting seperti tempat tinggal, kesehatan, persahabatan dan kebijaksanaan. Seseorang yang baik bisa menjadi korban tragedi yang dapat membuatnya sakit, kehilangan tempat tinggal, atau terjebak dalam kesedihan. Meskipun karakternya baik, hidupnya tidak akan berjalan dengan baik karena hal-hal tersebut; dan pada akhirnya dia gagal mencapai eudaimonia.
Stoikisme tidak setuju dengan pendapat Aristoteles tersebut. Dalam hal ini, Stoikisme menganjurkan kita untuk menilik kembali gaya hidup Sinis Sokrates. Stoikisme mengklaim bahwa semua yang diperlukan untuk menjalani kehidupan yang baik dan bahagia (eudaimonia) adalah “arete” (kebajikan). Kita tidak perlu memusingkan jenis kebaikan lainnya seperti yang disebutkan oleh Aristoteles.
Jika orang bijak yang berbudi luhur mengalami suatu tragedi, atau bahkan siksaan fisik yang hebat, ia masih memiliki kesempatan untuk mencapai eudaimonia karena hal-hal eksternal tidak akan merusak karakternya yang berbudi luhur. Apabila kita telah berbudi luhur, tidak ada yang dapat merusak atau memengaruhi kehidupan kita. Dalam logika Stoik, kebajikan adalah batas kebahagiaan itu sendiri. Singkatnya, aliran ini mengajarkan kita untuk berfokus pada hal-hal yang dapat kita kontrol, seperti pikiran, tindakan, dan reaksi kita terhadap hal-hal eksternal yang datang dari luar.
Dikotomi Kontrol
Mungkin ungkapan di atas terlihat sedikit aneh bagi beberapa orang. Tidak sedikit dari kita yang merasa bahwa kebahagiaan/kepuasan batin berasal dari hal-hal eksternal. Misalnya, gebetan, cuaca, fasilitas-fasilitas mewah, pengakuan dari orang lain, dan lain sebagainya. Kita cenderung menormalisasikan ketergantungan kondisi mental kita terhadap hal-hal eksternal yang jelas berada di luar kendali kita.
Seperti yang telah saya sebutkan di paragraf sebelumnya bahwa, menurut Stoikisme, kehidupan terbaik adalah “arete”. Etika Stoik ini menunjukkan bahwa manusia perlu membedakan yang baik dengan yang buruk dan berkonsentrasi pada sesuatu yang dapat ia kendalikan. Manusia musti bertindak dengan cara-cara terbaik dan sesuai dengan kompas kebajikan dalam menjalani kehidupannya.
Oleh karena itu, menurut Stoikisme, kunci kebahagiaan (eudaimonia) terletak pada kesadaran dan disiplin diri. Filsuf Stoikisme seperti Marcus Aurelius telah memberikan panduan praktis tentang bagaimana menjaga ketenangan kita di tengah kekacauan eksternal dalam ‘Meditation’-nya. Dalam catatan ini, ia berbicara tentang ide-ide Stoikisme; hal-hal yang dapat dan tidak dapat dikendalikan, cara membangun ketenangan batin, dan juga bagaimana menjalani kehidupan yang sejalan dengan kebajikan alih-alih keadaan luar.
Sampai di sini, mungkin penting untuk bertanya tentang apa saja yang dapat kita kendalikan dan apa yang tidak dapat kita kendalikan? Dalam ‘Meditation’-nya, Marcus Aurelius berpendapat bahwa kita hanya dapat mengontrol pikiran, sikap, dan penilaian kita, tetapi tidak dapat mengontrol tindakan dan keadaan-keadaan eksternal. Oleh karena itu, kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai dengan meningkatkan karakter, mempraktikkan kebajikan, dan menerima tatanan alam.
Selanjutnya, dia membicarakan tentang apa yang disebut dengan “apatheia”. Term ini dimaksudkan sebagai konsepsi tentang ketenangan dan kebebasan dari emosi-emosi negatif. Tentu hal ini tidak sama dengan sikap acuh tak acuh. Sebaliknya, “apatheia” mendorong kita untuk menghadapi tantangan-tantangan kehidupan dengan ketahanan dan ketenangan melalui pola pikir yang tidak dapat terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal. Dengan demikian, akal budi menjadi komponen terpenting untuk mencapai sikap Stoik ini.
Pentingnya Akal Budi
Marcus Aurelius percaya bahwa akal budi adalah bagian dari Tuhan yang tertanam di dalam diri manusia, dan dengan akal budi tersebut adalah mungkin untuk melihat kehidupan dengan lebih bijaksana dan jelas. Akal budi memungkinkan kita untuk membedakan antara hal-hal yang dapat kita kendalikan dan hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan, sehingga membantu kita berpikir dengan berorientasi pada perkembangan karakter internal daripada mencari validasi eksternal.
Sampai di sini, dapat disimipulkan bahwa ajaran Stoikisme memberikan kita perspektif yang mendalam dan praktis tentang cara mencapai kebahagiaan. Nilai-nilai kebajikan memungkinkan kita untuk mengeksplorasi kompleksitas hidup dengan ketekunan dan tujuan. Seseorang dapat mencapai ketenangan batin yang tidak terpengaruh oleh perubahan sementara dari kondisi-kondisi eksternal dengan menerapkan prinsip dikotomi kendali, praktik kesadaran, dan menjalani kehidupan yang selaras dengan alam.
Perlu digarisbawahi bahwa pendekatan Stoikisme ini tidak berarti kita harus berserah diri secara utuh kepada takdir. Sebaliknya, etika ini menuntut kita untuk berpartisipasi secara aktif dalam prinsip-prinsip kebajikan dan akal budi untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan memuaskan, seperti yang Marcus Aurelius pernah katakan: “Hidup yang bahagia memerlukan sedikit saja; sebab semuanya ada dalam dirimu, dalam cara berpikirmu.”
Referensi
Peter Adamson. ‘Philosophy in the Hellenistic & Roman World’. Oxford University Press: New York, 2015.
Aristoteles. ‘Etika Nikomakea’. Terj. Ratih Dwi Astuti. Basa Basi: Jakarta, 2020.
Penulis