Saat Clash of Champions (CoC) yang diadakan oleh Ruang Guru lagi santer-santernya, saya menyaksikan penampilan seorang siswa yang menurut saya jawara di bidang matematika. Tetapi sebaik dan seunggul apapun siswa tersebut, tetap ada saja mata yang tidak terpuaskan. Saya menyoroti salah satu komentar yang dilayangkan oleh seorang ibu; dia menuliskan bahwa “percuma dia jago matematika (ilmu dunia) tapi kalau tidak punya ilmu agama (ilmu akhirat) nanti tidak bisa masuk surga.”
Mengapa dalam urusan akademik dan prestasi yang seharusnya layak diapresiasi, pernyataan-pernyataan menjatuhkan dan mendiskreditkan tidak pernah lepas dari bibir kita? Ironisnya, pernyataan semacam itu selalu saja membawa-bawa agama dan surga, seolah agama tidak menghendaki kita untuk mendalami dan memahami dunia. Seakan-akan matematika itu tidak penting, kecuali kita menghafalkan teks-teks fiqh, qawāid, mahfudzat, hadis dan sebagainya. Bukankah setiap orang memiliki preferensi dan keahlian yang berbeda dan pantas dihargai?
Bukankah karena matematika, astronomi kita pernah jaya di zamannya dan akhirnya menginspirasi pengetahuan modern yang hari ini kita dapat petik manfaatnya? Bukankah karena ilmu-ilmu yang disebut ‘ilmu dunia’ itulah yang membikin sejarah Islam berjaya selama ratusan tahun? Bukankah karena ‘ilmu dunia’ itulah yang membikin kita mengetahui waktu solat, puasa, kalender Hijriyah dan bahkan titik koordinat Ka’bah tempat kita berkiblat? Mengapa dikotomi ‘ilmu akhirat’ dan ‘ilmu dunia’ itu ada? Siapa yang membuat dikotomi itu?
Perbedaan atau dikotomi ilmu agama dan ilmu umum (dunia) baru terjadi di paruh abad ke-10 hingga abad ke-11. Salah satu yang mempelopori dikotomi tersebut ialah al-Ghazali. Al-Ghazali memiliki sepak terjang di bidang pendidikan dan politik yang mentereng. Dia memiliki koneksi yang kuat dengan para wazir Seljuk, anggota dinasti Seljuk, dan khalifah Abbasiyah. Dia bahkan pernah menghabiskan beberapa waktu di istana Nizham al-Mulk, wazir dinasti Seljuk hingga dia ditunjuk sebagai rektor di madrasah Nizamiyyah, Baghdad, yang didirikan pada masa kekhalifahan Abu Ja’far Abdullah al-Qa’im bi-Amrillah.
Tak banyak yang tahu bahwa Nizamiyyah merupakan proyek politik dari khalifah Qadir Billah, ayah dari al-Qa’im dan salah satu khalifah Abbasiyah sebelumnya yang dikenal antipati terhadap kelompok-kelompok Islam yang dianggap sesat atau berbeda. Qadir Billah pernah mengeluarkan satu risalah yang berjudul ‘Risalah al-I’tiqad al-Qadiri’ di mana salah satu isinya menganggap kelompok-kelompok di luar Sunni sebagai sesat.
Bahkan menurut laporan Ahmet T. Kuru dalam bukunya ‘Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan’, khalifah Mustazhhir pernah meminta al-Ghazali untuk mengkritik gagasan Syiah Ismailiyah tentang imam yang maksum. Untuk memenuhi permintaan tersebut, dia lalu menulis ‘Fadha-ih al-Batiniyah wa Fada’il al-Mustazhhiriyah’ (Kekeliruan Kaum Batiniyah dan Keutamaan Para Penghafal). Judul buku itu pun mencakup nama sang khalifah, Mustazhhir, yang berarti “penghafal”.
Nizamiyyah adalah proyek pendidikan yang lebih mengutamakan pendidikan agama. Al-Ghazali memberikan kontribusi paling berpengaruh terhadap pembentukan ortodoksi Sunni dengan menyerang “para liyan” ortodoksi (Syiah, Mu’tazilah, dan filsuf), serta menyatukan “orang dalam” (Asy’ari, Syafi’I, Hanafi, dan Maliki). Selain itu, keputusannya untuk menjadi seorang sufi dan tulisan-tulisannya yang terkait telah membawa Sufisme dari pinggiran ke tengah-tengah Islam Sunni.
Al-Ghazali dan Kemunduran Islam
Sejak akhir abad ke-19, telah terjadi perdebatan tentang kemunduran intelektual di dunia Islam dan peran al-Ghazali di dalamnya. Banyak sarjana yang menganggap bahwa madrasah Nizamiyyah, yang berfokus pada keilmuan Islam dan menyingkirkan filsafat, sebagai alasan kemunduran itu. Prioritas madrasah ke studi Islam dalam hirarki epistemologi memang menyebabkan masalah serius. Namun kemunduran akibat sikap antisains dan filsafat ini, menurut hemat saya, bukan disebabkan karena kecenderungan budaya Muslim, tetapi terbentuk secara historis.
Namun, apakah di masa itu sains dan filsafat sama sekali tidak diajarkan di madrasah-madrasah? Peter Adamson, dalam ‘Philosophy in the Islamic World’ menyebutkan bahwa disiplin yang tersisa untuk diajarkan di madrasah-madrasah saat itu, terutama di Nizamiyyah adalah logika (mantiq), itupun hanya demi keperluan teologi Sunni semata.
Ahmet T. Kuru, mengutip Abdulhamid Sabra, menambahkan bahwa meskipun ilmu alam dihapuskan dari kurikulum resmi madrasah, beberapa ilmuwan terus mempelajarinya. Namun begitu, itu tetap merugikan status sains dan filsafat dalam jangka panjang. Menurut Sabra, gagasan ortodoks al-Ghazali bertanggung jawab karena mengesampingkan pengetahuan non-keagamaan. Gagasan ortodoks hanya memberi ruang terbatas bagi filsafat, matematika, astronomi dan kedokteran.
Dalam ‘Lost Enlightenment’, Starr berpendapat bahwa Ghazali berkontribusi terhadap kemunduran intelektual Asia Tengah (dan Iran Timur) dengan menyerang para filsuf dan mempromosikan Sufisme. Al-Ghazali menegakkan hirarki epistemologi yang membuat “akal yang rasional… berstatus lebih rendah; karena itu akal tidak mampu atau tidak diizinkan untuk menantang pengetahuan yang diperoleh melalui intuisi mistik dan tradisi.” Pendapat serupa juga dinyatakan oleh Ziauddin Sardar dan Randall Collins bahwa “al-Ghazali berkontribusi pada kemunduran peradaban Islam” karena “telah memarjinalkan filsafat sehingga logika yang diterima oleh kurikulum adalah logika yang terpisah dari filsafat.”
Al-Ghazali menulis karya klasiknya ‘Ihya Ulum ad-Din’ yang jika dilihat dari judulnya saja berarti menghidupkan ilmu-ilmu agama, seolah-olah al-Ghazali merasa terancam dengan dominasi ilmu-ilmu dunia. Di sisi lain dalam buku ini—juga di ‘al-Munqidz min ad-Dhalal‘—al-Ghazali menjunjung tinggi wawasan mistik dan mengesampingkan pengamatan sebagai sumber pengetahuan. Salah satu contohnya pernah ia bahas dalam karya yang berbeda, ‘Tahafut al-Falasifah’.
Al-Ghazali membahas tentang pembakaran kapas yang bersentuhan dengan api. Dia menerima dua kemungkinan, dengan tetap berpegang pada posisi teologis Asy’ariyah: 1) Kapas menyentuh api tanpa terbakar; 2) Kapas terbakar tanpa menyentuh api. Dia menyimpulkan bahwa: “Yang melakukan pembakaran dengan menciptakan bekas hitam di kapas… adalah Allah, baik melalui perantara malaikat-Nya maupun tanpa perantara.”
Jelas pendekatan al-Ghazali di atas, secara epistemologi, akan menghambat perkembangan ilmiah. Pendekatan tersebut dapat membuat orang-orang menjadi fatalistik dan tidak mampu memahami hubungan sebab-akibat. Ini memperburuk kondisi kreativitas intelektual. Maka tidak heran apabila sesudahnya pemikiran kritis atas isu agama dan metafisik sangat tidak didukung yang menyebabkan peradaban Islam jarang memproduksi pemikir-pemikir Islam setara Ibn Sina atau al-Ghazali. Pintu ijtihad telah ditutup.
Apa yang kita rasakan di awal abad ke-20 dan bahkan sampai sekarang dikotomi sempalan semacam itu masih ada. Padahal di awal-awal zaman keemasan Islam umat Muslim didorong untuk mempelajari ilmu pengetahuan seluas-luasnya, tanpa memandang apakah ilmu tersebut ilmu agama atau bukan.
Apakah al-Ghazali Bodoh?
Tentu sub di atas cukup provokatif. Dan tidak akan ada yang berani mengatakan, termasuk saya sendiri, bahwa al-Ghazali bodoh. Sebab bagaimanapun al-Ghazali merupakan seorang jenius. Sikap al-Ghazali terhadap ilmu-ilmu alam juga tidak muluk negatif. Al-Ghazali bahkan memperingatkan Muslim yang “berpikir bahwa agama harus dibela dengan menolak setiap ilmu yang terhubung dengan filsuf.” Muslim semacam ini bisa salah menampilkan citra Islam, seolah-olah Islam “berdasarkan pada ketidakpedulian.”
Terlepas dari itu, al-Ghazali dan madrasah Nizamiyyah adalah bagian dari koalisi yang, oleh Ahmet T. Kuru, sebut sebagai persekongkolan antara ulama Sunni ortodoks dan negara militer. Al-Ghazali banyak berkontribusi dalam persekongkolan ini. Maka, menurut saya, ketika membicarakan tentang dosa al-Ghazali, di sinilah letak dosanya, yang menyebabkan kemunduran dan stagnasi dalam peradaban Islam.
Kontribusi al-Ghazali dalam persekongkolan ulama-negara ini adalah peran teoritisnya dalam pembentukan ortodoksi Sunni. Dengan mendeklarasikan bahwa para filsuf yang berpandangan berbeda dari Sunni sebagai murtad yang halal dibunuh, al-Ghazali membuat pandangan ortodoks nyaris tidak dapat dipertanyakan dan dikritik.
Sebagai ulama terkemuka di zamannya, al-Ghazali telah membuat legitimasi atas pandangan takfiri semacam itu, yang tentu saja memengaruhi dan didukung oleh negara. Misalnya pada awal abad ke-11, khalifah Qadir dan Qa’im menyatakan berbagai kelompok, termasuk Mu’tazilah dan Syiah, sebagai orang murtad yang boleh dibunuh. Padahal pandangan hukum yang berlaku sebelum al-Ghazali dan pemerintah melegitimasi tuduhan takfiri semacam itu adalah seorang Muslim tidak boleh dibunuh selama dia tidak secara eksplisit dan terbuka meninggalkan Islam.
Singkatnya, dosa al-Ghazali bukan dalam hal rincian pandangannya, melainkan pada kontribusinya bagi persekongkolan antara ulama dan negara. Khususnya, penegakkan gagasan bahwa mereka yang memiliki pandangan heterodoks dianggap murtad. Gagasan takfiri inilah yang menjadi pilar penting persekongkolan ulama dan negara dalam menekan lawan keagamaan dan politik mereka.
Referensi
Peter Adamson, ‘Philosophy in the Islamic World’, Oxford University Press: New York, 2016.
Ahmet T. Kuru, ‘Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan’, KPG: Jakarta, 2020.
Penulis