Manusia adalah makhluk yang memiliki akal budi. Manusia juga merupakan makhluk yang aktif dan mencoba untuk membentuk gagasannya dari informasi-informasi yang diterimanya melalui panca indera. Setidaknya seperti itulah apa yang dipahami oleh filsuf abad ke-18, David Hume.
David Hume dianggap sebagai salah satu filsuf Skotlandia yang paling berpengaruh. Filsafatnya cukup sistematis dan juga memengaruhi beberapa pemikir besar setelahnya. Prinsip filsafat utama yang mendasari gagasannya adalah empirisme, skeptisisme, dan naturalisme.
Dia percaya bahwa apa yang kita ketahui pada akhirnya berasal dari pengalaman (empirisme); bahwa semua kepercayaan harus dipertanyakan secara menyeluruh sebelum dapat diterima sebagai pengetahuan (skeptisisme); dan bahwa dunia dan pengalaman manusia tidak memerlukan penjelasan supernatural (naturalisme).
Dengan menggabungkan ketiga konsep dasar di atas, Hume sampai pada beberapa kesimpulan yang tidak biasa tentang pengetahuan dan prinsip kausalitas. Meskipun gagasannya terbukti memiliki pengaruh pada para filsuf-filsuf setelahnya, filsafatnya tidak dapat terlepas dari ragam kontroversi di masanya.
Biografi
David Hume lahir pada 1711 dalam sebuah keluarga yang cukup kaya. Ibunya melihat bahwa di usia mudanya Hume sangat berbakat dan mendorongnya untuk belajar; minat Hume jatuh pada filsafat.
Hume menulis magnum opus-nya yang berjudul ‘The Treatise of Human Nature’ di Prancis selama tahun 1734 hingga 1737. Dua volume pertama diterbitkan pada tahun 1739, dan yang ketiga pada tahun 1740.
Ketika dia menerbitkan karya tersebut, saat itu ia masih muda (belum mencapai usia 30 tahun). Sayangnya buku itu tidak disambut baik oleh masyarakat dan para akademisi. Tidak ada seorang pun yang memerhatikan buku tersebut, seperti yang Hume katakan sendiri: “Buku itu jauh dari mesin cetak dalam keadaan mati.” “Namun,” ia menambahkan “karena secara alamiah saya memiliki watak yang ceria dan optimis, saya tidak masalah dengan itu.”
Hume meringkas ‘Treatise’-nya dengan menghilangkan bagian-bagian tertentu, sehingga menghasilkan karya selanjutnya yang berjudul ‘Enquiry Concerning Human Understanding’, yang dalam beberapa waktu jauh lebih terkenal daripada ‘Treatise’. Meskipun saat itu karyanya tidak mendapatkan apresiasi yang pantas, namun sekarang karya tersebut dianggap sebagai salah satu karya paling berpengaruh dalam sejarah filsafat barat.
Analisisnya tentang gagasan kausalitas dalam buku tersebut mengubah arah filsafat Kant, yang mengakui bahwa “… itu adalah kenangan akan David Hume yang, bertahun-tahun yang lalu, pertama kali mengganggu tidur dogmatisku”.
Hume mendapatkan banyak serangan selama hidupnya karena karya-karyanya dituduh sebagai karya ateisme dan berisi ajaran-ajaran sesat. Karya-karyanya bahkan dianggap “berbahaya.” Ia divonis ateis—yang dianggap tabu pada saat itu—ketika ia melamar sebagai Ketua Filsafat Moral di Universitas Edinburgh.
Namun dia tidak menyerah. Dia mencoba mencari pekerjaan lain di universitas beberapa kali lagi, sayangnya reputasinya yang saat itu dianggap sesat selalu menghalangi jalannya. Akhirnya dia pun menemukan cara lain untuk menghidupi dirinya sendiri—ia bekerja sebagai pustakawan dan sekretaris pribadi nyaris sepanjang hidupnya.
Menjelang kematiannya, Hume berpesan kepada James Boswell, penulis biografinya, bahwa apabila ia meninggal nanti ia ingin jenazahnya dimakamkan di sebuah makam Romawi. Dia juga berpesan bahwa di batu nisannya hanya nama, tahun kelahiran dan kematiannya saja yang tertulis. David Hume meninggal di Edinburgh, dan dikebumikan di tempat yang ia inginkan.
Empirisme
‘Enquiry Concerning Human Understanding’ merupakan salah satu karya David Hume yang paling banyak dibaca. Buku yang diterbitkan pada 1748 ini—seperti yang telah saya jelaskan di atas—merupakan upaya Hume untuk menuliskan kembali ‘Treatise of Human Nature’, yang tidak sesukses yang diharapkannya.
Meskipun jarak keduanya terpisah hampir sepuluh tahun, ide-ide yang disajikan di dalam kedua buku tersebut sangat mirip; ‘Enquiry’ jauh lebih pendek, lebih ramping, dan lebih mudah dibaca.
Dalam karyanya, Hume memulai dengan memisahkan antara “kesan” dan “ide”. Menurut Hume, keduanya merupakan bagian dari persepsi. Kesan merupakan gambaran kasar tentang realitas, sedangkan ide adalah gambaran yang samar-samar (atau lembut) tentang realitas. “Setiap ide-ide yang sederhana berasal dari kesan-kesan sederhana yang menyerupainya,” tulisnya. Misalnya, kesan sederhana tentang seekor kuda, tanduk dan seekor burung, yang nantinya memberikan kita ide-ide tentang kuda, tanduk dan burung. Inilah yang nanti disebut dengan ide-ide sederhana.
Sedangkan ide-ide kompleks, menurut Hume, tidak harus menyerupai kesan (sebab tidak ada kesan yang kompleks). Ide-ide kompleks ini biasanya melibatkan imajinasi. Misalnya, ide-ide sederhana tentang kuda, tanduk dan burung sebelumnya kita gabungkan sehingga kita membayangkan seekor kuda terbang (gabungan dari ide sederhana tentang kuda, tanduk, dan sayap burung). Meskipun di dunia nyata tidak ada kuda terbang—dan mustahil bagi kita memiliki kesan tentangnya—namun ide-ide kita tentang kuda terbang tetaplah berasal dari kesan-kesan kita terhadap realitas.
Prinsip utama filsafat Hume adalah bahwa ide didasarkan pada kesan sederhana; dengan kata lain, semua pengalaman mental kita pada akhirnya berasal dari pengalaman inderawi sederhana. Konsekuensi menarik dari kesimpulan Hume ini adalah bahwa imajinasi kita, dan pemikiran kita secara umum, terbatas pada rekombinasi hal-hal yang benar-benar kita alami (kesan-kesan sederhana)—mustahil untuk membayangkan seekor hewan yang belum pernah kita lihat seperti kuda terbang; tetapi kita dapat membayangkan seekor hewan yang penampilannya seperti kuda dan burung. Kita tidak dapat melampaui pengalaman kita.
Kausalitas sebagai Faktor Kebiasaan
Pada 2022 silam, masalah ini sebenarnya telah dibahas oleh Douglas Giles, yang esainya telah diterjemahkan oleh redaksi Sophia Institute. Tetapi itu tidak jadi masalah, saya akan mengulasnya kembali dalam sub pendek ini.
Dalam penyelidikannya terhadap kemampuan yang pikiran kita miliki, David Hume menyoroti bahwa kita cenderung mengaitkan atau mengasosiasikan ide-ide tertentu ke dalam pola-pola tertentu. Pengasosiasian ide-ide ini merupakan mekanisme dasar pikiran manusia.
Hume memecahkan sifat mekanisme pikiran tersebut ke dalam tiga prinsip: kita cenderung mengaitkan ide-ide yang mirip; kita juga cenderung mengaitkan ide-ide terkait dalam konteks waktu dan/atau ruang; dan akhirnya, kita mengaitkan setiap ide dalam hubungan sebab-akibat. Hume sendiri tertarik dengan hakikat sebab-akibat, terutama pada bagaimana kita mengetahui bahwa dua hal saling terkait secara kausalitas satu sama lain.
Hume menyadari bahwa pengetahuan kita tentang hubungan sebab-akibat tidak didasarkan pada “akal budi,” seperti kebenaran matematika dan logika. Menolak kebenaran logika tentu akan mengarahkan kita pada kontradiksi (misalnya, mengatakan bahwa hari ini hujan sekaligus tidak hujan); Menolak kebenaran matematika juga akan membuat kita bodoh (misalnya, mengatakan 2+2≠4). Tetapi menyangkal hubungan kausalitas tidak muluk membuat kita bodoh atau menciptakan kontradiksi.
Misalnya, jika saya meminum segelas air putih, biasanya akan menimbulkan rasa tawar. Namun begitu, tidak masalah apabila saya membayangkan efek yang berbeda—saya dapat membayangkan rasanya manis (terlepas dari fakta beberapa air putih memang manis). Ini berarti tidak ada cara untuk membuktikan adanya hubungan kausalitas di dalam fenomena tersebut. Lalu, mengapa kita percaya pada kausalitas?
Dengan mengandalkan pengalaman empiris, Hume menyimpulkan bahwa pengetahuan kita tentang sebab dan akibat didasarkan pada kesan-kesan masa lalu yang telah menjadi kebiasaan. Dalam istilah praktis, jika kita sering mengalami dua pengalaman berbeda, misalnya 1) minum air putih menyebabkan 2) rasa tawar di lidah, kita akan membentuk kebiasaan yang membuat kita mengharapkan terjadinya kejadian yang sama setiap kali kita meminum air. Mekanisme dasar pikiran ini menjelaskan bagaimana keyakinan kita tentang hubungan kausalitas terbentuk.
Pandangan Hume tentang sifat kausalitas ini cukup kontroversial pada saat itu, karena berbenturan dengan asumsi umum orang-orang sezamannya. Para filsuf abad ke-18 percaya bahwa kausalitas dipandu oleh prinsip-prinsip tertentu—salah satunya adalah ex nihilo nihil fit, yaitu “tidak ada yang datang dari ketiadaan”—yang penting untuk membuktikan keberadaan Tuhan.
Ide-ide Hume tidak sesuai dengan banyak hal yang diyakini secara tradisional. Hal inilah—seperti yang telah saya jelaskan di awal—yang menyebabkan tuduhan bid’ah dan ateisme terhadapnya yang kemudian berimbas pada karier akademiknya.
Daftar Pustaka
Bertrand Russell. Sejarah Filsafat Barat. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Penulis