Matematika adalah instrumen yang sangat diperlukan dalam banyak penelitian, tidak terkecuali penelitian filsafat. Sebab, bagaimanapun matematika merupakan salah satu cabang logika dan semua konsep matematika—baik itu aritmatika maupun aljabar—dapat didefinisikan dalam bentuk konsep-konsep logika. Namun dalam artikel ini, kita tidak akan belajar tentang matematika, melainkan menjawab pertanyaan dalam tajuk di atas, yaitu apakah matematika diciptakan atau ditemukan.
Apakah kita menciptakan matematika untuk memahami alam semesta atau matematika adalah bahasa alam semesta itu sendiri? Ini adalah pertanyaan yang membuat banyak filsuf berkonflik satu sama lain. Olehnya, perdebatan ini merupakan salah satu topik filsafat yang paling menarik dan kompleks.
Di satu sisi ada yang berpendapat bahwa matematika adalah ciptaan manusia; sistem simbol dan aturan yang dibuat oleh manusia untuk mewakili dan mengatur konsep-konsep abstrak. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa matematika bersifat universal dan eksis secara independen dari kesadaran manusia dan bahwa kita hanya menemukan dan menyingkap kebenarannya.
Tidak ada satu jawaban yang “benar” untuk pertanyaan tersebut. Jawabannya pada akhirnya tergantung pada keyakinan dan pengalaman mereka. Oleh karena itu, dalam artikel kali ini, untuk menuntaskan pertanyaan dalam judul di atas—atau paling sedikit mengurangi kompleksitas pertanyaan tersebut, saya akan mengulas persoalan ini melalui perspektif dari tiga filsuf yang berbeda: Plato, Immanuel Kant dan L.E.J Brouwer.
Plato
Jika kamu pernah bertanya-tanya apakah a²+b²=c² merupakan kebenaran universal yang kekal, atau hanya sesuatu yang kita ciptakan dan dianggap berguna untuk membangun jembatan, maka kamu tidak salah. Pertanyaan tentang apakah matematika ditemukan atau diciptakan telah ada sejak lama; setidaknya sejak zaman Pythagoras dan Plato.
Menurut Plato, matematika itu ditemukan bukan diciptakan. Pandangan Plato ini dikenal dengan realisme matematika atau Platonisme.
Plato percaya bahwa entitas-entitas abstrak matematis seperti bilangan, bentuk-bentuk geometris dan konsep-konsep matematika lainnya eksis secara independen dari pikiran manusia. Matematika merupakan bagian dari dunia abstrak yang tidak berubah dan manusia hanya menemukannya atau mengakses pengetahuan tentang entitas abstrak tersebut melalui akal budinya. Setidaknya ada tiga alasan mengapa Plato berpikir demikian:
Pertama, karena eksistensi dunia bentuk. Menurut Plato, realitas keseharian kita merupakan realitas palsu dan berubah-ubah. Realitas sempurna adalah dunia ide atau dunia bentuk. Di dalam dunia ide inilah entitas-entitas abstrak matematis berada. Karena matematika berada di dunia bentuk atau ide, maka ia tidak dapat diciptakan melainkan hanya dapat diakses melalui akal budi semata. Dia percaya bahwa matematika telah ada di dunia ide jauh sebelum manusia menemukannya.
Kedua, alasan universalitas kebenaran. Karena entitas matematika ada di dunia ide yang abadi dan sempurna, matematika dapat dianggap sebagai kebenaran universal yang konsisten dan tidak berubah. Konsep matematika—seperti bilangan, bentuk geometris, dan prinsip prinsip logis lainnya—adalah kebenaran yang berlaku di mana saja dan kapan saja tanpa dipengaruhi oleh kondisi apapun yang bersifat temporal dan dependen. Artinya, matematika tidak akan mengalami perubahan. 2+2=4 akan selalu benar tidak peduli di mana atau kapan perhitungan tersebut dilakukan dan tidak akan ada perdebatan mengenai hasil penjumlahannya karena sifat dasarnya yang universal.
Ketiga, Plato percaya bahwa kita tidak menciptakan kebenaran baru, tetapi sekadar mengingat kembali pengetahuan yang telah ada di dunia ide. Dengan kata lain, kebenaran—termasuk kebenaran matematika—telah ada di alam semesta, dan tugas kita adalah untuk menemukannya melalui penalaran.
Menurut Plato, matematika tidak dapat ditemukan melalui pengalaman inderawi karena dunia fisik bersifat sementara dan penuh dengan ketidaksempurnaan. Sebaliknya, matematika yang sempurna ditemukan melalui pemikiran rasional dan kontemplasi intelektual. Kita mampu menemukan kebenaran matematika karena jiwa kita memiliki hubungan dengan dunia ide, sehingga kita dapat ‘mengingat kembali’ kebenaran-kebenaran ini melalui proses berpikir.
Immanuel Kant
Bagi Immanuel Kant, matematika tidak sepenunya diciptakan dan juga tidak sepenuhnya ditemukan, melainkan merupakan sintesa antara penemuan dan penciptaan yang berasal dari struktur bawaan akal budi manusia dan interaksi manusia terhadap dunia eksternal.
Matematika tidak sepenuhnya hasil ciptaan manusia; dalam artian manusia tidak bebas menciptakan aturan atau konsep matematika sesuka hati. Di sisi lain, matematika juga tidak sepenuhnya ditemukan; dalam artian bahwa konsep-konsep matematika tidak berasal dari realitas eksternal yang eksis secara objektif dan independen dari pikiran manuisia, seperti yang di kemukakan Plato.
Setidaknya ada dua alasan mengapa Kant berkesimpulan sebagaimana di atas: Pertama, pengetahuan a priori. Menurut Kant, matematika merupakan bentuk pengetahuan a priori, yang berarti bahwa matematika adalah pengetahuan yang tidak memerlukan pengalaman empiris.
Kedua, alasan mengapa Kant mengatakan matematika sebagai hasil intraksi, antara pikiran atau akal budi manusia dan pengalaman terhadap dunia eksternal, adalah karena pada dasarnya pikiran tidak pasif dalam menerima informasi-informasi dari dunia eksternal. Sebaliknya, pikiran kita aktif dalam membentuk pengalamannya melalui kategori-kategori dasar seperti ruang dan waktu. Matematika adalah salah satu struktur kognitif yang memungkinkan kita memahami realitas.
L.E.J Brouwer
Luitzen Egbertus Jan Brouwer atau yang lebih dikenal sebagai L.E.J Brouwer menekankan bahwa matematika adalah hasil dari aktivitas manusia, bukan sesuatu yang ada secara independen dari pikiran kita atau ditemukan di luar sana.
Bagi Brouwer, objek matematika seperti bilangan, bentuk geometris, dan struktur-struktur logis lainnya tidak eksis secara independen melainkan diciptakan melalui kegiatan berpikir manusia. Matematika adalah konstruksi mental di mana individu menciptakan dan membangun konsep-konsep dari dalam pikirannya. Dengan kata lain, matematika bukanlah penemuan dari realitas eksternal, tetapi sebuah karya cipta manusia.
Selain itu, Brouwer juga menolak prinsip ‘tertium non datur’ (hukum logika bahwa setiap pernyataan adalah benar atau salah). Bagi Brouwer, sebuah pernyataan hanya bermakna jika dapat dibuktikan secara konstruktif, sebab jika tidak, kita tidak dapat menyatakan benar atau salah. Jika demikian, maka matematika tidak lain hanyalah hasil konstruksi pikiran manusia, dan bahwa keberadaan objek-objek matematis tidak dapat diasumsikan begitu saja, kecuali jika mereka dapat dikonstruksikan secara eksplisit.
Brouwer tidak menerima adanya objek-objek matematika secara abstrak atau berdasarkan asumsi semata (non-konstruktif), seperti dalam pandangan formalisme dan Platonisme. Brouwer dalam hal ini merupakan seorang konstrutivis. Dia percaya bahwa matematika bersifat subjektif, karena aktivitas matematika berakar pada intuisi dan konstruksi mental individu.
Penulis