Loading...

Pembahasan ini bermula dari ketertarikan saya pada salah satu tokoh empiris yang membuat saya berfikir bahwa pemerintah yang otoriter itu tidak selamanya buruk bahkan terkadang dibutuhkan. Tokoh yang saya maksud di atas adalah Thomas Hobbes (1588–1679).

Thomas Hobbes lahir pada tanggal 5 April 1588, di Westport, sekarang bagian dari Malmesbury di Wiltshire, Inggris. Ia terlahir prematur karena ibunya mendengar kabar tentang invasi Armada Spanyol yang akan datang. Itulah mengapa Hobbes pernah melaporkan bahwa “ibu saya melahirkan anak kembar: saya dan rasa takut.”

Hobbes dididik di gereja Westport sejak usia 4 tahun, pergi ke sekolah Malmesbury, dan kemudian ke sekolah swasta yang dikelola oleh seorang pemuda bernama Robert Latimer, lulusan Universitas Oxford. Hobbes adalah murid yang baik, dan antara tahun 1601 dan 1602 ia pergi ke Magdalen Hall, pendahulu Hertford College, Oxford, di mana ia diajarkan logika skolastik dan matematika.

Di universitas, Thomas Hobbes tampaknya telah mengikuti kurikulumnya sendiri karena ia kurang tertarik dengan pembelajaran skolastik. Meninggalkan Oxford, Hobbes menyelesaikan gelar BA-nya di St John’s College, Cambridge, pada tahun 1608.

Pada pertengahan tahun 1651 di Prancis, bukunya yang berjudul ‘Leviathan, or the Matter, Forme, and Power of a Common Wealth, Ecclesiastical and Civil’ pun muncul. Karya ini berdampak langsung pada kehidupan Hobbes. Hobbes pun mendapatkan banyak pujian dan celaan di waktu yang sama. Tidak hanya sampai di situ, pemublikasian buku ini juga memutuskan hubungan Hobbes dengan kaum royalis. Semangat sekuleris ‘Leviathan’ membuat marah banyak orang, baik dari kalangan Anglikan maupun Katolik Prancis. Hobbes lalu memohon perlindungan kepada pemerintah Inggris yang revolusioner dan melarikan diri ke London pada musim dingin tahun 1651.

Raja Inggris saat itu berperan penting dalam melindungi Hobbes ketika, pada tahun 1666, House of Commons mengajukan sebuah undang-undang yang menentang ateisme. Hobbes takut akan prospek dicap sebagai seorang pem-bid’ah, dan mulai membakar beberapa dokumennya yang dapat memberatkannya.

Konsekuensi yang dimunculkan dari undang-undang tersebut pun membuat Hobbes tidak dibolehkan lagi untuk menerbitkan karya apa pun di Inggris mengenai subjek yang berkaitan dengan hakikat dan perilaku manusia. Selama beberapa waktu, Hobbes bahkan tidak diizinkan untuk menanggapi apa pun yang dilakukan musuh-musuhnya. Meskipun demikian, reputasinya di luar Inggris sangat besar.

Pada bulan Oktober 1679 Hobbes menderita kelainan kandung kemih yang mengakibatkan stroke. Dia meninggal pada tanggal 4 Desember 1679, pada usia 91 tahun. Kata-kata terakhirnya saat itu adalah “Sebuah lompatan besar dalam kegelapan”. Kalimat ini diucapkannya di detik-detik terakhirnya dalam keadaan sadar. Jenazahnya dimakamkan di Gereja St. John the Baptist, di Derbyshire.

Latar Belakang

Ditempa oleh tekanan iklim politik, Hobbes melambungkan namanya setelah ia menulis ‘Leviathan’. Ia menulis di generasi yang dibentuk oleh kekerasan politik, bukan hanya dari Perang Tiga Puluh Tahun di Eropa, tetapi juga Perang Saudara di Inggris.

Kekerasan politik-religius di era ini pada akhirnya membentuk statecraft dan teori politik modern seperti yang kita kenal saat ini. Namun, meskipun generasi sebelumnya dengan tegas menentang otoritas (dan menghasilkan beberapa revolusi), Thomas Hobbes berbeda.

Di masa awal sebelum penerbitan ‘Leviathan’ adalah masa-masa yang paling memengaruhi corak berpikirnya. Sejak era Martin Luther, ketegangan yang signifikan antara Protestan dan Katolik melanda Eropa bagian utara dan tengah. Ketegangan ini akhirnya memuncak dan terwujud dalam Perang Tiga Puluh Tahun yang berkecamuk sejak tahun 1618 hingga 1648. Umat Protestan dan Katolik saling bentrok menciptakan kengerian di mana-mana.

Katolik menganut hierarki masyarakat terstruktur yang didominasi oleh Paus di Roma. Protestan, di sisi lain, menjunjung tinggi cara beribadah yang lebih introspektif yang berfokus pada hubungan antara individu dan Tuhan.

Di sinilah Thomas Hobbes berperan. Setelah menghabiskan tahun-tahun yang dikelilingi oleh konflik (baik konflik kontinental selama berada di Prancis maupun konflik domestik di Inggris), Thomas Hobbes memutuskan untuk menulis karya filsafat tentang kontrol pemerintah.

Keadaan Alamiah

Boleh dikatakan, gagasan paling berpengaruh yang muncul dari Hobbes adalah gagasan tentang state of nature (keadaan alamiah). Hobbes memiliki pendapat sinis tentang sifat manusia, dengan menyatakan bahwa manusia pada dasarnya egois dan berbahaya. Thomas Hobbes terkenal sebagai orang yang sangat paranoid, penakut, dan berhati-hati.

Dalam state of nature, setiap manusia hidup sebagai pemburu-pengumpul seperti halnya hewan. Dalam keadaan ini, menurut Hobbes, manusia hanya mempertahankan kelangsungan hidup mereka sendiri: secara harfiah, setiap orang hanya mementingkan diri mereka sendiri.

Thomas Hobbes terkenal dengan klaimnya bahwa kehidupan dalam keadaan alamiah tersebut adalah kehidupan yang “menyendiri, miskin, jahat, biadab, dan singkat.” Hobbes berteori bahwa, dalam state of nature, setiap orang memiliki kemampuan yang sama untuk saling membunuh. Ini adalah perang “setiap orang melawan setiap orang”.

Menurut Hobbes, ada tiga alasan mengapa konflik muncul dalam keadaan alamiah: daya saing, keraguan, dan kejayaan. Hal-hal inilah yang menyebabkan setiap orang saling bertarung demi keuntungan materi, keamanan, dan reputasi. Pada akhirnya, orang perlu menciptakan pemerintahan untuk melindungi diri mereka dari satu sama lain. Pesimisme terhadap sifat manusia ini membedakan teori kontrak sosial Hobbes dari teori-teori Locke atau Rousseau yang muncul kemudian.

Karena state of nature atau keadaan alamiah sangat berbahaya dan menakutkan, Hobbes mengklaim bahwa manusia mau tak mau harus membuat kesepakatan (social contract). Kesepakatan adalah janji yang dibuat manusia dengan Tuhan di mana, sebagai ganti perlindungan dan tempat bernaung, manusia akan menyerahkan (sebagian) hak alamiahnya: mata ganti mata. Padanan politik dari perjanjian antara manusia dan Tuhan ini lalu bertransformasi menjadi perjanjian antara warga negara dan penguasa (Leviathan).;

Hukum Alam

Hukum alam adalah kekuatan penangkal kejahatan yang ada dalam diri manusia. Hukum alam pertama Thomas Hobbes adalah “seseorang dilarang melakukan hal-hal yang merusak hidupnya, atau menghilangkan sarana untuk menjaga dirinya.” Ini berarti bahwa seseorang harus berusaha untuk menjaga dirinya tetap hidup dan aman.

Hukum alam kedua menyatakan bahwa manusia akan mencari kesepakatan untuk memperoleh perdamaian, yang mengarah pada terciptanya kontrak sosial.

Kontrak Sosial

Hobbes berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk keluar dari keadaan alamiah adalah dengan menciptakan kontrak sosial. Orang-orang menciptakan kontrak dengan berkumpul bersama, menyetujui seperangkat hukum, dan menciptakan “kedaulatan”. Kontrak dibuat di antara orang-orang untuk melindungi diri mereka sendiri dari satu sama lain.

Peran penguasa adalah membuat aturan, menengahi perselisihan, dan menegakkan kontrak yang telah dibuat. Seperti namanya, “penguasa” memiliki kekuasaan absolut dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Hobbes berpendapat bahwa berkat adanya kedaulatan, manusia mampu menciptakan peradaban besar.

Gagasan ini telah diilustrasikan oleh sampul buku ‘Leviathan’ yang asli. Leviathan adalah manusia yang melambangkan kedaulatan. Sampulnya memperlihatkan sebuah kota dengan raja raksasa yang berdiri di belakangnya, memerintah wilayah tersebut. Baju zirahnya terbuat dari tubuh-tubuh, yang melambangkan orang-orang yang menjadi bagian dari kontrak sosial.

Hobbes berpendapat bahwa kedaulatan harus berada di atas semua orang. Ia berpendapat bahwa kedaulatan absolut dibenarkan karena rakyat menyetujuinya saat menciptakan kontrak sosial. Karena itu ia berkata, “mengeluh tentang kerugian yang dilakukan oleh penguasa kepada Anda sama saja dengan mengeluh tentang kerugian yang Anda lakukan pada diri Anda sendiri.”

Satu-satunya cara agar penguasa dapat dipertanyakan secara sah adalah jika mereka mencoba membunuh orang-orang yang mereka pimpin. Jika tidak, mereka bebas untuk meredam oposisi atau memberlakukan hukum yang korup. Pada akhirnya, Hobbes percaya bahwa orang-orang akan selalu lebih memilih penguasa yang tiran daripada kekacauan mengerikan yang terjadi di keadaan alamiah.

Antara Tuhan dan Raja

Dalam gagasannya tentang kontrak sosial, Thomas Hobbes menggabungkan peran raja dengan peran Tuhan yang bersifat kependetaan, sehingga mengaburkan batasan antara raja dan Tuhan. Bahkan, ia mengatakan bahwa raja selalu memiliki niat terbaik bagi rakyatnya, dan tidak ada otoritas lain—termasuk Tuhan—yang dapat melakukannya.

Ketika orang-orang beragama berdoa kepada Tuhan untuk perlindungan, Hobbes berpaling kepada raja; ketika orang-orang beragama mencari jawaban dari Tuhan tentang kehidupan yang baik, Hobbes menafsirkan manifestasi politik dari raja (hukum) sebagai sarana untuk hidup dengan baik. Bagi Hobbes, titah raja adalah hukum, dan semua orang harus tunduk padanya agar dapat hidup lebih lama dan hidup dengan baik.

Tindakan apa pun yang dilakukan seorang raja adalah untuk kepentingan terbaik dan agar kita tunduk tanpa mempertanyakan titahnya. Jika kita melihat contoh-contoh dalam sejarah, Hobbes mungkin akan berpendapat bahwa ide-ide politik para tokoh-tokoh otoriter seperti Soeharto, Adolf Hitler atau Joseph Stalin pada akhirnya adalah untuk kepentingan terbaik rakyat mereka.

Dalam konsep pemerintahan, Thomas Hobbes lebih condong kepada sistem pemerintahan yang otoriter. Baginya, sifat masyarakat adalah untuk diatur bukan mengatur, seperti yang terjadi dalam sistem demokrasi. Raja lah yang mengatur dan raja pula yang lebih mengetahui apa yang terbaik bagi rakyatnya.

Thomas Hobbes membenci prospek perang. Jadi, dalam kekacauan pasca-Perang Saudara, Leviathan menunjukkan adanya kedaulatan absolut untuk memulihkan ketertiban dari kekacauan. Namun begitu, ‘Leviathan’ membuat Thomas Hobbes dibenci selama sisa hidupnya, sehingga ia dijuluki “Monster dari Malmesbury”. 

Keadilan 

Keadilan dalam pengertian Hobbes tidak lebih dari sekadar mematuhi kontrak. Thomas Hobbes percaya bahwa manusia tidak memiliki kompas moral kecuali ada aturan yang telah ditentukan sebelumnya untuk mengatakan tindakan apa yang baik atau buruk. Tidak ada moralitas dalam keadaan alamiah. Tidak ada kontrak tanpa kekuatan absolut untuk menegakkannya. Oleh karena itu, keadilan hanya muncul ketika kedaulatan telah ditetapkan.

Lebih baru Lebih lama