Loading...

Panjangnya perjalanan yang telah di tempuh filsafat telah banyak melahirkan pemikir-pemikir yang selalu mempertanyakaan fakta atas realitas yang ada.

Para filsuf mempertanyakan segala hal tentang realitas ini, misalnya seperti apa bahan dasar yang membentuk dunia? Dan bagaimana prosesnya? Pertanyaan fundamental semacam ini menjadi ciri khas filsafat. Tentu saja pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah hal yang baru, ribuan tahun yang lalu Thales telah mengambil langkah awal untuk menjawab pertanyaan yang menantang semacam itu.

Biografi

Dalam setiap catatan sejarah filsafat, tokoh yang pertama kali disebutkan adalah Thales. Thales adalah putra Examyas dan Cleobulina dan lahir di kota Ionia Yunani, Miletus, di Asia Kecil sekitar tahun 620 SM. Ia berasal dari salah satu keluarga bangsawan Miletus yang kemungkinan berasal dari Fenisia.

Tidak banyak yang diketahui tentang hidupnya, tetapi ia dipuja sebagai salah satu orang Yunani paling bijak sepanjang masa. Ia dimasukkan dalam daftar tujuh orang bijak oleh Plato dan dianggap sebagai filsuf pertama oleh Aristoteles.

Secara umum, Thales masuk ke dalam daftar sebagai filsuf Pra-Socratic pertama. Ia adalah bagian dari kelompok filsuf Milesian, bersama Anaximander dan Anaximenes yang merupakan murid-muridnya.

Seperti kebanyakan filsuf Pra-Socratic lainnya, Thales bukan hanya seorang filsuf tetapi juga tokoh yang serba bisa. Dia adalah seorang matematikawan, astronom, dan mekanik.

Di Mesir, ia mempelajari ilmu hitung, ini dibuktikan dengan keberhasilannya mengukur ukuran piramid Mesir dengan bermodalkan bayangan yang dihasilkan oleh piramid tersebut.

Bukan hanya itu, ia dapat mengetahui jarak sebuah kapal di laut dari bibir pantai dengan mengukurnya di luar kepala. Dia juga memiliki teori tentang banjir tahunan sungai Nil di Mesir dan bahkan pernah sukses memprediksi secara tepat gerhana matahari yang terjadi pada 28 Mei tahun 585 SM.

Ini bukan sesuatu yang tidak biasa. Sains, teologi, dan filsafat pada dasarnya masih saling berhubungan erat. Pada saat itu, seorang filsuf adalah istilah yang menandakan seorang yang mencintai kebijaksanaan dan pengetahuan dalam segala bentuknya. Perbedaan utama seorang filsuf Yunani Pra-Socratic seperti Thales dari pendeta Mesir Osiris, magi Persia, atau mistikus Buddha adalah upayanya untuk menjelaskan fenomena alam menggunakan prinsip-prinsip alam.

Diogenes Laertius yang hidup pada abad ke-3 Masehi mengaitkan pepatah Delphic yang terkenal “kenali dirimu sendiri” dengan Thales. Menurut beberapa sejarawan Yunani Kuno, Thales menulis dua buku yang berjudul ‘On the Solstice’ dan ‘On the Equinox’. Dia juga menulis beberapa surat, salah satu di antaranya adalah surat yang dia kirimkan kepada filsuf bernama Solon. Meskipun demikian, mayoritas sejarawan Yunani Kuno tidak sepakat tentang apakah Thales pernah menulis sebuah buku atau tidak.

Kematian Thales terjadi pada tahun 550-an SM dan ada dua versi berbeda tentang bagaimana ia meninggal. Menurut Apollodorus, ia meninggal karena sinar matahari ketika dia menonton Olimpiade.

Namun, Plato mencatat bahwa Thales meninggal ketika sedang mempelajari bintang-bintang di langit malam, yang mana dia secara tidak sengaja terjatuh ke dalam sumur. Singkatnya, Thales meninggal karena ia kehilangan kontak dengan dunia nyata setelah asyik mengejar pengetahuan.

Monisme Air

Ada banyak jenis monisme, tetapi filsafat Thales dapat diklasifikasikan sebagai monisme substansi dan materialis. Monisme substansi adalah gagasan bahwa segala sesuatu di dunia dapat dipahami melalui satu substansi tunggal. Bagi Thales, substansi tunggal ini adalah air.

Pandangan Thales bahwa segala sesuatu berasal dari air dapat dilacak ke mitos penciptaan Mesir dan Semit. Teorinya merupakan upaya untuk menjelaskan dunia material menggunakan prinsip-prinsip alam, bukan teologis. Menurut Aristoteles, Thales juga berpendapat bahwa bumi terapung di atas air.

Namun begitu bukan berarti Thales tidak mengakui keberadaan substansi lain. Melainkan dia berpendapat bahwa sumber utama segala sesuatu dapat ditemukan di air. Misalnya—meskipun ini terdengar tidak masuk akal dalam arti tertentu—ketika dia mengatakan bahwa magnet memiliki jiwa sebab mampu mengerakan besi, dan bahwa segala sesuatu dipenuhi oleh jiwa-jiwa (hylezonime).

Tentu pernyataan ini terlihat ambigu dan penuh dengan tanda tanya; di satu sisi Thales mengajukan klaim-klaim yang bersifat materialis, namun di sisi lain dia tampaknya masih dipengaruhi oleh pandangan animisme. Saya akan menjelaskan ini di sub selanjutnya.

Mengapa Air?

Menurut Aristoteles, Thales adalah orang pertama yang mencari tahu tentang asal–muasal terciptanya alam semesta ini. Thales percaya bahwa air adalah pusat dan dasar segala sesuatu, dan bahwa segala sesuatu berasal dari air dan akan kembali ke air.

Menurutnya, bakteri hidup dan berkembang di tempat yang lembab, tumbuh-tumbuhan dan binatang tumbuh karena air, dan kelembapan berasal dari air. Jadi air adalah unsur terpenting bagi tumbuh-tumbuhan dan binatang, dan bahkan tanah pun mengandung air yang dari sana manusia gunakan untuk memenuhi kebutuhan primernya.

Kesimpulan Thales di atas dapat dianggap sebagai hipotesis ilmiah dan sama sekali bukan pendapat yang ‘bodoh’. Mengapa saya katakan demikian? Karena sains modern telah membuktikan bahwa segala sesuatu mengandung air dan membutuhkan air untuk bertahan hidup: setidaknya 60-85% komposisi tumbuhan mengandung air, diikuti oleh hewan sebanyak 60-80% dan manusia sebanyak 60-70%.

Meskipun sains belum lahir pada zamannya, argumen Thales di atas bukan hanya rasional tetapi juga observatif. Pandangan Thales adalah pandangan yang kritis karena disampaikan melalui sumber pengetahuan yang konkrit: pengamatan empiris.

Cara berpikirnya sangat tidak biasa, sebab orang-orang Yunani Kuno lebih banyak mengandalkan mitos dan kepercayaan yang penuh takhayul untuk menjelaskan segala sesuatu. Thales membuka pikiran orang-orang di zamannya tentang alam dan asal–muasalnya tanpa menunggu penemuan ilmiah atau dalil agamis apa pun.

Setelah usaha yang keras, akhirnya mitologi Yunani pun mulai tergeser oleh pandangan rasional Thales. Mitos-mitos yang sebelumnya sangat dipercayai oleh kebanyakan orang pada zaman itu, pun perlahan dipandang sebagai kebohongan manusia. Itulah alasan mengapa Thales disebut sebagai Bapak Filsafat Yunani dan filsuf Barat pertama.

Tentang Jiwa

Seperti yang sudah saya jelaskan di sub sebelumnya bahwa Thales tampaknya juga dipengaruhi oleh pandangan animisme. Namun perlu diingat bahwa Thales adalah seorang filsuf naturalis yang mencoba menjelaskan dunia dengan mengamati fenomena alam.

Thales adalah seorang pemikir empiris karena menganggap segala sesuatu berasal dari satu unsur materil, air. Meskipun ia tampaknya percaya pada konsep jiwa.

Menurut Aristoteles, Thales berpandangan bahwa jiwa adalah sifat benda yang dapat ditemukan di mana-mana. Gagasan ini boleh jadi merupakan konsep awal tentang jiwa yang kemudian memengaruhi Plato. Aristoteles menjelaskan ini beberapa kali dalam karyanya, ‘On the Soul’. Salah duanya sebagai berikut:

Thales, jika dilihat dari apa yang tercatat tentangnya, tampaknya menganggap jiwa sebagai kekuatan pendorong, karena ia mengatakan bahwa magnet memiliki jiwa di dalamnya karena magnet menggerakkan besi. (On the Soul 405 a20-22)

Beberapa pemikir mengatakan bahwa jiwa bercampur dengan seluruh alam semesta, dan mungkin karena alasan itulah Thales sampai pada kesimpulan bahwa semua hal penuh dengan dewa. (On the Soul 411 a7-8)

Jika kita menilai dari catatan-catatan Aristoteles di atas, Thales tampaknya tidak menggunakan konsep yang sama seperti idealisme Plato tentang jiwa. Selain itu, gagasannya tentang jiwa sebagai kekuatan materi yang bergerak terkesan lebih dekat dengan gagasan kita, orang modern, tentang energi.

Tentu saja, ada banyak cara untuk menafsirkan catatan-catatan di atas. Namun yang jelas, ketika Thales mencoba memahami realitas, ia menemukan jawabannya dari substansi material, yaitu air, dan bukan dari Tuhan atau gagasan abstrak lainnya.

Lebih baru Lebih lama