Loading...

Dalam membuat keputusan yang bermakna dan autentik, kita merupakan spesies yang berjalan di jembatan sempit dengan dua jurang yang menjebak kita: yang terbatas dan yang tak terbatas.

‘Yang terbatas’ merupakan kondisi tetap dari segala sesuatu yang kita miliki. Ini adalah fakta keberadaan yang memaksa kita untuk hidup dengan cara-cara tertentu. Sedangkan ‘yang tak terbatas’ merupakan realitas yang dipenuhi oleh potensi—semua hal yang kita pikir suatu hari nanti dapat tercapai. Sesuatu yang dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan tanpa arah yang jelas.

Kedua hal tersebut memiliki sirene khas yang mendengungkan harapan dan kenyamanan di telinga kita, dan keduanya menahan kita untuk terus tumbuh menjadi diri sendiri. Bagi filsuf Denmark, Søren Kierkegaard, kehidupan bijak adalah menapaki jalan di antara kedua sisi jurang ini: mencari jalan tengah di antara keduanya.

Menjadi ‘Bukan Siapa-siapa’

Saat ini, kamu memiliki hasrat yang tak terhingga; keinginan, kekhawatiran, ketakutan, atau bahkan cita-cita yang menarikmu kesana-kemari. Kamu pasrahkan hampir seluruh hidupmu hanya demi semua hal itu. Kamu akan menggaruk ketika gatal, minum dikala haus, tersenyum disaat melihat wanita cantik lewat, tidur ketika lelah, berobat ketika sakit dan lain sebagainya. Kamu hidup dalam ‘batasan’ akan keberadaanmu, yaitu realitas dan kebutuhan untuk hidup.

Bagi banyak orang, hanya inilah yang ada: realitas yang disebut Kierkegaard sebagai “estetika.” Masalahnya adalah ketika kita hidup dengan hanya menuruti kebutuhan dan rengekan hidup semata, maka hidup kita hanya akan terlewat begitu saja tanpa ada sesuatu yang ‘lebih besar’. Ketika kita hidup hanya untuk hidup (kebutuhan biologis) dan merangkul ‘yang terbatas’ di atas, kita berisiko kehilangan jati diri kita sendiri.

Kita biasanya melakukan hal tersebut dengan dua cara: salah satunya adalah menjadi budak dari keinginan atau hasrat kita. Atau menjadi orang yang tidak menonjol dan tidak berwajah di antara orang-orang—atau, seperti yang dikatakan Kierkegaard, “Seperti yang lain, dengan menjadi tiruan, suatu angka atau simbol, sebuah sandi di tengah kerumunan orang.”

Misalnya, seseorang yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang yang penuh semangat dan obsesif pada suatu hobi, profesi, atau peran tertentu. Bisa jadi dia adalah seorang ayah yang baik, penganut agama yang taat, patriot, dan seterusnya. Sayangnya, setiap hal yang mereka lakukan dalam hidup tunduk pada identitas yang dibuat-buat, dan setiap tindakan mereka harus memenuhi peran yang telah ditentukan oleh masyarakat. Penganut agama yang taat tidak boleh menceritakan hal-hal cabul. Patriot tidak boleh menghina negaranya. Ayah yang baik tidak boleh membentak dan mengeluh tentang rengekan pekak balitanya.

Dia harus menyesuaikan diri dengan suatu kelompok, keluarga, atau kerumunan, karena ia pikir di sanalah ia akan menemukan jati dirinya sendiri. Ia berpikir bahwa begitulah arti menjadi manusia. Namun, menggantungkan jati dirimu pada label-label ‘yang terbatas’ seperti di atas berarti menyerah pada kapasitas ‘yang tak terbatas’ yang kamu miliki untuk menemukan dirimu kembali.

Ketika hanya ‘yang terbatas’ sajalah yang kamu terapkan selama hidup, kamu akan berhenti ‘meng-ada’ sebagai pribadi yang sejati. Kamu akan menjadi daun yang ditiup dan terbawa oleh angin, atau menjadi pion yang dapat digeser sana-sini.

Terkesima dengan Posibilitas

Adapula ‘yang tak terbatas’ merupakan sebuah pengakuan bahwa kita memiliki kapasitas untuk menentukan pilihan dengan bebas yang nantinya mengarahkan kita ke arah cita-cita yang kita inginkan dalam hidup. Tetapi menghabiskan terlalu banyak waktu untuk melongo pada cakrawala kemungkinan-kemungkinan tersebut boleh jadi tidaklah sehat. Bagi sebagian besar orang, hal ini justru mengerikan.

Banyak dari kita bisa mengingat kecemasan yang hadir pada momen-momen ‘yang tak terbatas’ dalam hidup, di saat kamu meninggalkan rumah orang tuamu, mengakhiri sebuah hubungan, atau sekadar menatap halaman kosong di lembaran awal sebuah novel. Mengetahui ‘yang tak terbatas’ adalah berarti bebas mengalami hal-hal yang luas dan lebarnya masa depan. Tetapi Kierkegaard justru mengatakan bahwa inilah yang akan membuat kita sadar betapa rumitnya kebebasan itu.

Bagi banyak orang, rasa cemas dan panik yang muncul setelah berhadapan dengan luasnya kemungkinan-kemungkinan dalam hidup justru melumpuhkan semangat kita; kelumpuhan yang menghambat kita ketika hendak memilih sesuatu. Kelumpuhan ini disebabkan oleh kebimbangan dan ketidakpastian akibat terlalu banyaknya pilihan yang kita miliki dan luasnya potensi yang dapat kita pilih.

Banyak yang akan kehilangan jati dirinya akibat momentum setiap kali mereka membuat pilihan dengan bebas. Mereka lama mengamati dari jauh seberapa besar dampak dari keputusan yang mereka buat terhadap sekitarnya dan di sisi lain mereka juga sadar betul bahwa mereka hanya dapat memilih jalan mereka sekali. Kebanyakan orang terlalu lama berenang di dalam ‘yang tak terbatas’ dan akhirnya mereka pun tenggelam.

Jembatan Sempit

Ada bahaya besar di kedua sisi jalan. Risiko kehilangan semua hal yang menjadikan kita seorang individu: individu yang memiliki pilihan dan juga kebebasan. Selain itu, kita juga berisiko terlena dengan urusan dunia, dengan mengabaikan kebebasan kita untuk memilih. Kita seharusnya mengambil langkah pasti sepanjang jembatan sempit di antara ‘yang tak terbatas’ dan ‘yang terbatas’ itu. Kita seperti gasing yang berputar kencang, yang rawan oleng kemudian jatuh dan berhenti sehingga kehilangan jati diri dan lupa akan tujuan hidupnya.

Saran Kierkegaard adalah kita harus memahami kecemasan kita. Kita harus berpegang teguh pada pendirian dan juga terbiasa untuk menoleh keluar. Memang ada paradoks dalam hal ini, sebab kita musti  menggenggam erat dua ujung tali yang saling berkontradiksi tersebut tanpa harus tertarik ke salah-satunya.

Kita harus tahu bahwa kita hanyalah makhluk lemah yang tidak penting—primata yang dikendalikan oleh sinapsis saraf otak dan kerja-kerja hormonnya. Selain itu, kita perlu mengenali kekuatan kita sendiri yang dapat melampaui penilaian pribadi kita, dan tentu saja kita musti sadar bahwa semua keputasan-keputusan yang kita ambil saat ini akan memengaruhi masa depan.

Hidup dengan merangkul paradoks tersebut merupakan cara untuk mendewasakan diri, pun juga sebagai tahapan penting untuk menjadi manusia. Seperti tulisan Kierkegaard: “Ini adalah petualangan yang harus dilalui oleh setiap orang.” Kita hidup di tengah-tengah kontradiksi. Namun demikian, proses penerimaan terhadap kontradiksi tersebut merupakan bentuk kebijaksanaan dalam hidup.

• • •

Essai ini ditulis oleh Jonny Thomson dengan judul asli How not to be a phony: Kierkegaard on the two main ways people lose their true selves. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Athaya Alifianti.

Lebih baru Lebih lama