Ketika kalian memikirkan sesuatu yang menyenangkan, apa yang kalian pikirkan? Apakah kalian membayangkan sepotong daging sapi yang dimasak dengan sempurna atau mungkin camilan favoritmu? Kata ‘epikurean’ sering dikaitkan dengan makanan, tetapi kata itu pada dasarnya menunjukkan sesuatu yang lebih sensual, lebih mewah, dan lebih menyenangkan. Kata tersebut berasal dari seorang filsuf Yunani Kuno bernama Epicurus.
Epicurus lahir pada tahun 341 SM, menjelang akhir Era Klasik dalam sejarah Yunani. Dia hidup dalam kemiskinan di Kepulauan Samos tempat ayahnya bekerja sebagai guru sekolah, sebuah pekerjaan yang saat itu tidak dibayar maupun dihormati. Pada usia 18 tahun Epicurus berangkat ke Athena, kira-kira di waktu yang sama dengan wafatnya Alexander Agung.
Epicurus mulai mempelajari filsafat ketika dia berusia 14 tahun. Namun begitu, sedikit yang diketahui tentang bagaimana Epicurus mempelajari filsafat atau pengalaman apa yang menuntunnya pada kesimpulan-kesimpulan filosofisnya yang hari ini kita kenal.
Dia diperkirakan belajar dengan seorang filsuf bernama Nausiphanes, yang juga merupakan murid Democritus. Meskipun beberapa bagian dari filsafat Epicurus banyak dipengaruhi oleh ide-ide Democritus, khususnya keyakinannya bahwa dunia ini terdiri dari atom, Epicurus meremehkan mantan gurunya itu dan menyebutnya sebagai “Si Moluska.”
Selain gurunya, Epicurus juga meremehkan banyak filsuf lain, termasuk Socrates dan Plato, karena dia melihat filsafat sebagai sistem praktis untuk mencapai kehidupan yang bahagia, bukan sebagai cara untuk menyelidiki ide-ide abstrak logika dan matematika. Penghinaannya terhadap filsuf lain inilah yang menjadi alasan mengapa dia sering diserang oleh filsuf-filsuf sezamannya, seperti Stoa.
Sekolah Epikureanisme
Seperti yang biasa dilakukan para filsuf pada masa itu, Epicurus memulai sekolahnya dengan mengajar di alun-alun kota Athena. Namun, itu adalah usaha yang sangat kompetitif, karena harus bersaing dengan banyak sekolah lainnya.
Selang beberapa lama, Epicurus pun mengubah cara mengajarnya. Dia pindah ke sebuah rumah yang jauh dari pusat kota Athena dan alih-alih mengajar di depan umum, dia mulai mengajar di kebunnya. Ini memungkinkannya untuk mempraktikkan apa yang dia khotbahkan: menjalani kehidupan yang dia anjurkan dalam ajarannya.
Seiring berjalannya waktu, Epikureanisme kemudian berkembang di seluruh Mediterania dan memiliki anggota hingga 400.000 orang. Namun sayangnya, sekolah ini ditutup oleh Gereja Kristen pada abad ke-5.
Kebahagiaan
Kita tahu bahwa Epikureanisme hidup di zaman Helenisme. Zaman ketika filsafat lebih menekankan pada the way of life ketimbang penalaran yang teoritis. Teoritisasi dalam filsafat dapat digunakan sejauh ia mengarahkan kita pada panduan menuju hidup yang baik. Fisika, logika, atau metafisika menurut para filsuf di zaman ini disusun sebagai eksponen bagi tujuan-tujuan etis.
Intinya, alih-alih dipakai sebagai instrumen untuk menghasilkan kepuasan intelektual, filsafat seharusnya lebih banyak dipakai untuk menyelesaikan problem-problem praktis dalam kehidupan. Yang menjadi perhatian filsafat pada masa itu ialah bagaimana manusia dapat menjalani hidup yang bahagia.
Banyak filsuf sebelum dan sesudah Epicurus menyibukkan diri dengan mencoba memahami apa itu Kebaikan dan Keadilan, tetapi Epicurus digerakkan oleh kesengsaraan dan ketakutan orang-orang di sekitarnya; dia hanya berfokus pada apa yang membuat orang lain bahagia.
Epicurus pada dasarnya merupakan seorang humanis, dan tujuan filsafatnya adalah untuk menemukan solusi atas kesengsaraan yang dia lihat di sekitarnya. Hal ini membuatnya merenungkan hakikat kesenangan dan penderitaan. Jelas bahwa orang akan lebih bahagia apabila mereka memiliki sedikit penderitaan dan lebih banyak kesenangan dalam hidupnya.
Epikureanisme memandang kebahagiaan dapat dicapai dengan menjalankan keutamaan untuk mengejar kenikmatan dan menghindari rasa sakit semaksimal mungkin. Pandangan inilah yang kerap disalahpahami oleh banyak orang. Epikureanisme dituduh mengajarkan etika hedonistik yang mencari kenikmatan sebanyak mungkin tanpa memperhatikan dampaknya.
Padahal Epikureanisme tidak pernah mengajarkan demikian. Kebahagiaan oleh Epikureanisme dipahami sebagai metode untuk menghilangkan penderitaan dan kegelisahan hidup. Manusia perlu membebaskan diri dari rasa sakit dan mencapai kenyamanan batin untuk bisa dikatakan bahagia. Tentu saja, sekadar menambah jumlah pengalaman yang menyenangkan bukanlah jawaban atas kebahagiaan. Sebab menuruti kesenangan dalam pengertian hedonistik memiliki efek samping yang kurang menyenangkan.
Minum alkohol memang menyenangkan—dan Epicurus dikenal suka meminum segelas anggur—tetapi minum alkohol secara berlebihan akan memberikan konsekuensi yang tidak menyenangkan, seperti pusing atau muntah keesokan harinya. Hal yang sama berlaku pada menyantap makanan yang lezat dan nikmat. Makanan memang menggugah indra pada saat itu, tetapi ia dapat memunculkan rasa sakit di perut dan mungkin, dalam jangka panjang, berdampak pada kesehatan yang buruk.
Maksud Epicurus adalah bahwa kesenangan tertentu menghasilkan konsekuensi yang jauh lebih buruk daripada kesenangan yang awalnya baik. Maka solusi untuk membuat orang lebih bahagia adalah dengan menghilangkan sumber penderitaan atau rasa sakit, bukan menuruti kesenangan sensual dan kepuasan sesaat.
Yang dikejar oleh Epicurus adalah kebebasan dari kecemasan dan penderitaan (‘ataraxia’ dalam bahasa Yunani), dan kehidupan yang tenang. Filsafatnya berfokus pada kepuasan hidup sederhana yang membuat orang lebih bahagia dalam jangka panjang dan membuat seseorang menjadi bermoral atau berbudi luhur. Epicurus berusaha mengidentifikasi sumber penderitaan dan menghilangkannya, dan mencapai kesimpulan yang rasional tentang apa yang benar-benar kita butuhkan.
Sumber Kecemasan dan Penderitaan
Epicurus menganggap satu sumber utama kecemasan, seperti yang dialami banyak orang saat ini, adalah pekerjaan. Bekerja adalah hal yang harus kita lakukan untuk mendapatkan uang—meskipun itu hal yang biasa dan tidak berarti.
Menurut Epicurus pekerjaan berisiko membuat kita sengsara, misalnya karena rekan kerja atau atasan kita. Belum lagi tekanan yang menuntut kita untuk menaiki jenjang karier demi meningkatkan status sosial. Hal ini tidak hanya menyebabkan seseorang melupakan apa yang benar-benar berharga dalam hidup dan bahkan harga dirinya sendiri, tetapi juga membutakannya tentang fakta bahwa sering kali kesenangan dari gaji tidak sebanding dengan ketidakbahagiaan yang ditimbulkan oleh pekerjaan itu sendiri.
Solusi Epicurus ada dua. Pertama, kita harus berhenti bekerja untuk orang lain dan bekerja untuk diri kita sendiri—sendiri atau bersama teman—pada sesuatu yang berarti bagi kita. Kedua, kita harus berusaha untuk menjadi mandiri sebisa mungkin sehingga kita tidak perlu bergantung pada sumber daya luar untuk mendapatkan uang yang dibutuhkan untuk hidup. Dalam praktiknya, Epicurus dan para pengikutnya bekerja di kebun rumah mereka dan menjual apa yang mereka tanam sebagai sumber pendapatan sekaligus memenuhi kebutuhan primer mereka sendiri.
Masalah pekerjaan di atas juga terkait dengan sumber kecemasan lain yang disebutkan oleh Epicurus, yaitu tidak memiliki cukup uang. Athena di Era Helenistik awal adalah salah satu kota besar di kekaisaran Alexander Agung dan pelabuhan utama. Toko-toko dan pasar penuh dengan segala macam kenikmatan, mulai dari makanan lezat yang baru dimasak hingga minyak wangi dan sutra berwarna. Athena penuh dengan kekayaan dan kemewahan ini. Jika seseorang tidak memiliki cukup uang, Athena mungkin adalah tempat yang sangat menyedihkan.
Epicurus melihat bahwa kekayaan dan kemewahan tidak membuat orang bahagia. Orang-orang hanya mengejar sesuatu secara buta tanpa benar-benar memikirkan apa yang mereka butuhkan, sehingga mereka mudah jatuh ke dalam perangkap untuk mencoba mengimbangi orang-orang kaya di Athena.
Bagi Epicurus, perasaan akan kekurangan materil dan kebutuhan untuk mengejar kekayaan merupakan sumber penderitaan. Epicurus memecahkan masalah ini dengan menjalani hidup seadanya dan menghindari gaya hidup konsumerisme. Epicurus sendiri dikatakan hanya memiliki dua jubah.
Persahabatan sebagai Sumber Kenikmatan
Penyebab kecemasan lainnya adalah mengejar cinta romantis dan kenikmatan jasmani. Epicurus berpendapat bahwa hal-hal tersebut harus dihindari sebisa mungkin karena cenderung menimbulkan perasaan negatif berupa kecemburuan, kemarahan, dan depresi karena ditolak, serta sedikit kegilaan. Meskipun ada rumor bahwa ia tinggal dengan banyak pelacur, Epicurus menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan hidup selibat sampai dia bahkan tidak memiliki anak. Terlepas dari itu, hal yang paling disukai Epicurus adalah kebersamaan dengan teman-temannya.
Persahabatan dianggap oleh Epicurus sebagai kesenangan terbesar dalam hidup. Memahami bahwa manusia adalah makhluk sosial, Epicurus berpikir bahwa persahabatan adalah kunci untuk menjadi bahagia dan bagian terpenting dari kehidupan yang baik. Itu adalah kesenangan tetapi dengan sedikit konsekuensi negatif, dan inilah alasan mengapa Epicurus menyarankan kehidupan komunal.
Epicurus tinggal di rumah yang ditempatinya di luar Athena bersama beberapa teman dekat dan keluarga mereka. Mereka hidup, makan, dan bekerja bersama. Persahabatan berguna karena memberikan penghiburan dari kerasnya kehidupan. Selain itu, melalui persahabatan, kita dapat diterima, dipahami, dan dihargai. Persahabatan menyediakan percakapan yang penting untuk berfilsafat dan memperoleh kebijaksanaan.
Tiga Jenis Keinginan
Epikureanisme mengkategorisasikan tiga jenis keinginan. Pertama, keinginan alamiah yang harus dipenuhi (natural necessary) seperti makanan, minuman, dan tempat tinggal atau biasa disebut kebutuhan primer. Kedua, keinginan alamiah yang tidak mesti dipenuhi (natural unnecssary) seperti makanan yang mewah dan rumah yang mewah atau biasa disebut kebutuhan sekunder. Ketiga, keinginan yang tidak alamiah (unnatural) seperti status sosial yang tinggi dan mencari uang sebanyak-banyaknya atau biasa disebut kebutuhan tersier.
Menurut Epicurus, guna mencapai kebahagiaan, manusia seharusnya fokus pada keinginan pertama (natural necessary) dan mengesampingkan keinginan ketiga (unnatural). Sebab dalam jangka waktu yang lama, keinginan yang ketiga dapat membuahkan kekecewaan, ketidakpuasan dan kegelisahan hidup. Sementara keinginan kedua (natural unnecssary) tak masalah untuk dipenuhi selama tidak menjerumuskan kita pada penderitaan dalam pengejarannya. Karena itu, keinginan harus ditempatkan dalam konteks hidup manusia secara menyeluruh.
Selain itu, manusia juga perlu menata kesenangan karena ia merupakan pintu masuk untuk menuju kebahagiaan. Kesenangan bersifat innate good yang tak selamanya baik dan harus dipenuhi. Kesenangan yang ujungnya membawa rasa sakit sepatutnya dihindari, sementara rasa sakit yang ujungnya membawa kepada kebahagiaan semestinya dilakukan. Manusia perlu menahan rasa sakit sebentar demi kesenangan yang jangka panjang, seperti kata pepatah ‘bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian’.
Pada pokoknya, kebahagiaan diukur bukan pada intensitasnya, melainkan durasi. Sia-sia saja apabila kita merasakan kenikmatan yang kuat, tetapi waktunya hanya sebentar atau pendek. Lebih baik rasa senang tampak biasa saja, namun dalam jangka waktu yang panjang. Misalnya, kita menahan diri untuk tidak makan terlalu banyak. Dengan demikian, kita dapat terhindar dari kekenyangan dan menjadi lebih sehat. Maka dari itu, keliru apabila Epikureanisme dianggap menekankan pada pengejaran kehidupan yang mewah dan glamor. Epikureanisme justru mengajarkan kesederhanaan, kecukupan, dan sikap menahan diri.
Kesimpulan
Kesimpulan yang diambil Epicurus adalah bahwa melalui kehidupan yang menyenangkan, kehidupan yang seimbang tanpa pemanjaan berlebihan, kita akhirnya menjadi bijak dan adil. Bagi Epicurus, menjadi bahagia berarti menjalani kehidupan yang bebas dari kecemasan. Kalian tidak dapat melakukan itu jika kalian tidak hidup dalam harmoni, bebas dari kepura-puraan, keegoisan, dan kecemburuan dari orang-orang di sekitar. Dengan memperlakukan satu sama lain secara adil dan penuh rasa hormat, pengejaran kesenangan, dalam pengertian ini, akan mengarah pada kebaikan moral.
Dalam filsafat Epicurus, kesenangan tidak diperoleh dari pemanjaan diri dalam kemewahan atau sensualitas, tetapi dari menghilangkan kecemasan dan berfokus pada kesenangan hidup yang sederhana seperti persahabatan. Dengan cara ini Epicurus menyamakan “kesenangan” dengan “kebaikan” itu sendiri. Dalam filsafat Epicurus, berfokus pada apa yang benar-benar membuat kita bahagia dan menghindari fatamorgana kebahagiaan yang disajikan oleh masyarakat, juga membuat kita menjadi orang yang baik. Bukankah sangat sulit menjadi baik apabila kita tidak bahagia?
Penulis