Setiap peristiwa yang dilakukan di masa kini atau masa yang akan datang selalu dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi di masa lalu. Inilah yang disebut dengan sejarah.
Sejarah adalah serangkaian kejadian yang telah dilakukan di masa lampau. Rangkaian kejadian ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan berlangsung secara sengaja, misalnya peninggalan artefak yang muncul dilatar belakangi oleh serangkaian kejadian tertentu.
Menurut hemat saya, manusia adalah satu-satunya makhluk yang memahami, menjelaskan dan membuat sejarah. Mengapa demikian? Karena hanya manusialah yang memahami dan meyadari serta memikirkan tentang proses terjadinya sejarah. Olehnya sejak zaman dahulu berbagai pemikir telah mencoba untuk mendeskripsikan pemahaman tentang proses dan bagaimana sejarah memengaruhi masa depan, termasuk Ibn Khaldūn.
Ibn Khaldūn merupakan seorang sosiolog, filsuf, dan sejarawan Arab yang secara luas diakui sebagai salah satu ilmuwan sosial terbesar di paruh abad ke-14, dan dianggap oleh banyak orang sebagai bapak historiografi, sosiologi, ekonomi, dan studi demografi.
Dia lahir di Tunisia pada 27 Mei 1332. Jika kita mencoba untuk mengkategorikan pemikirannya, beliau termasuk pemikir yang berhaluan empiris di satu sisi dan seorang mistikus di sisi lain (terlepas dari kritikannya terhadap para sufi seperti Ibn Arabi).
Sejarah Menurut Ibn Khaldūn
Pandangan Ibn Khaldūn tentang sejarah tertuang dalam karya monumentalnya, ‘al-Muqaddima’. Dia mengikuti jejak para pendahulu-pendahulunya seperti al-Tabarī dan al-Mas’ūdi yang juga menuliskan tentang sejarah. Meskipun Ibn Khaldūn menghormati tokoh-tokoh tersebut, namun dia kurang menyukai cara mereka dalam menulis sejarah.
Ibn Khaldūn berusaha untuk membersihkan gaya penulisan sejarah Islam dari ‘dosa intelektual’: taqlid. Menurut Ibn Khaldūn, ketika kita ingin menilai suatu laporan sejarah, akal budi merupakan alat utama yang harus kita gunakan, alih-alih reputasi sumber. Sejarah tidak boleh diverifikasi melalui rantai transmisi (sanad), seperti laporan tentang kehidupan nabi yang dikumpulkan oleh para ulama hadis. Baginya sejarah adalah ilmu, bahkan cabang filsafat.
Ibn Khaldūn menggunakan kritik, observasi, perbandingan, dan pengujian sebagai metodenya. Ia menggunakan kritik ilmiah untuk menganalisis catatan peristiwa sejarah, sumber catatan, dan teknik yang digunakan oleh para sejarawan. Dia memeriksa dan membandingkan berbagai catatan yang berbeda untuk menyingkirkan pemalsuan dan narasi yang berlebihan serta memperoleh beberapa gagasan objektif tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Banyak catatan yang mengandung kebohongan karena ditulis untuk menyanjung penguasa tertentu atau untuk kepentingan suatu kelompok. Para penulis berita dan pendongeng dengan sengaja menipu dan memalsukan informasi-informasi tertentu untuk kepentingan mereka sendiri. Oleh karena itu, Ibn Khaldūn mendesak para sejarawan untuk kritis, akurat dalam observasi, dan terampil dalam membandingkan teks dengan subteks agar mampu melakukan kritik dan klarifikasi yang efektif.
Dari sini Ibn Khaldūn memperkenalkan dirinya sebagai sejarawan muslim pertama—bahkan dunia—yang secara eksplisit merefleksikan apa artinya menulis tentang sejarah. ‘Al-Muqaddimah’-nya menjelaskan mengapa dan bagaimana peradaban muncul, faktor-faktor yang menjelaskan keragaman antar masyarakat, kelahiran pemimpin, kelahiran budaya, dan seterusnya.
Asabiyya
Secara garis besar, gagasan yang dijelaskan oleh Ibn Khaldūn dalam ‘al-Muqaddimah’-nya berhubungan dengan bangkit dan jatuhnya suatu peradaban. Konsep yang dia gunakan untuk menjelaskan hal ini adalah apa yang dia sebut dengan ‘asabiyya—berasal dari kata kerja yang berarti “mengikat bersama”.
Jadi, ‘asaba adalah sekelompok orang yang terikat bersama dalam kelompok mereka sendiri. Ketika berbicara tentang ‘asabiyya, Ibn Khaldūn secara khusus memikirkan rasa solidaritas dan identitas kelompok yang dimiliki oleh kelompok-kelompok suku, seperti orang-orang Arab awal yang menyebarkan Islam. Teori ini nantinya disebut dengan teori siklus sejarah.
Siklus Sejarah
Ada beberapa pola dalam memahami sejarah dalam teori siklus, yaitu: periode awal (penaklukan atas dasar solidaritas kelompok), periode pertumbuhan (munculnya seorang penguasa tunggal), periode pemerintahan yang bijaksana, periode kemunduran (kepercayaan diri yang berlebihan dan kemewahan saat kekuasaan diwariskan ke generasi berikutnya) dan periode kehancuran (atau transformsi besar). Setelah periode kehancuran, siklus akan kembali ke fase awal lagi.
Di awal setiap siklus, suatu kelompok atau suku mencapai penaklukan militer dan budaya dengan mengorbankan kelompok lain yang sedang melemah. Mereka berhasil melakukannya karena rasa solidaritas mereka membuat mereka tak terkalahkan di medan perang. Setelah meraih kemenangan, mereka menyerahkan tampuk kekuasaan kepada generasi selanjutnya, yang memperkuat kekuasaan. Namun, ambisi untuk mengejar kemewahan muncul, sehingga menyebabkan kemunduran. Kelompok ini lalu melemah, siap untuk ditundukkan oleh kelompok lain yang haus akan dominasi dan terinspirasi oleh perasaan solidaritas terhadap kelompok mereka sendiri.
Sederhananya, Ibn Khaldūn mencoba untuk membandingkan identitas kesukuan yang lazimnya nomaden dan ambisius dengan identitas masyarakat yang sudah beradab yang lazimnya menetap di perkotaan. Menurutnya, kejatuhan masyarakat disebabkan oleh menurunnya rasa solidaritas yang diakibatkan oleh peradaban perkotaan.
Lebih jauh, menurut Ibn Khaldūn, siklus ini merupakan hal yang alamiah. Wajar jika ada kontras antara penduduk kota yang beradab dan penduduk desa atau suku-suku nomaden; wajar jika kelompok sosial—terutama yang kedua yang terikat oleh kesetiaan kesukuan—akan berkembang dan memperoleh kekuasaan dari ‘asabiyya, rasa solidaritas; wajar jika pemimpin tunggal yang lahir dari suku-suku tersebut akan muncul sebagai raja; dan wajar jika, setelah generasi penakluk mulai menetap dan menikmati kehidupan kota dan kemewahan yang menyertainya, kemunduran akan terjadi. Oleh karena itu, seluruh siklus perubahan suatu peradaban berlangsung sesuai dengan sifat manusia.
Ibn Khaldūn memberikan banyak contoh untuk mengilustrasikan teorinya. Generasi awal Islam merupakan contoh favoritnya, yang dia anggap mewakili suku nomaden yang berhasil melakukan banyak penaklukan dengan kekuatan militer. Keberhasilan mereka terutama disebabkan oleh semangat keagamaan, unsur yang dapat mengintensifkan dan memfokuskan kekuatan solidaritas kelompok yang sudah kuat.
Menurut Ibn Khaldūn, kelompok pemenang sering kali menjadi pendiam ketika kekuasaan berhasil dikonsolidasikan, biasanya dengan menduduki kota-kota dari dinasti/kerajaan sebelumnya dan mengambil adat istiadat mereka. Kekuasaan yang telah tersentralisasi biasanya menggiring penguasa untuk menikmati kemewahan dan mengasingkan diri dari rakyat. Penguasa hanya ingin berbicara dengan mereka yang terpilih atas dasar kesetiaan, bukan kemampuan. Di sisi lain, militer yang menjadi kekuatan utama pun bertransformasi dari penakluk menjadi pecundang.
Mengapa Kehidupan yang Menetap Maju Secara Intelektual?
Menurut Ibn Khaldūn, budaya menetap atau dekadensi para penduduk kota—yang secara politik telah tersentralisasi—juga membawa banyak dampak baik.
Secara khusus, seni dan sains tidak dapat berkembang di antara kaum nomaden yang suka berperang. Filsafat dan disiplin intelektual lainnya mengalami kemajuan di kota-kota yang telah menikmati periode stabilitas terlama. Di era sebelumnya ada Alexandria dan Baghdad, tetapi pada zaman Ibn Khaldūn sendiri ada Kairo. Tidak mengherankan apabila Ibn Khaldūn menghabiskan banyak waktunya di Kairo sampai dia meninggal, meskipun dia mengakui rentannya kehidupan perkotaan.
Ini juga menjelaskan mengapa di antara umat Islam, kebanyakan tokoh-tokoh besar dalam filsafat dan disiplin ilmu lainnya, seperti tata bahasa, adalah orang-orang non-Arab. Ibn Khaldūn mengatakan bahwa orang-orang Arab terlalu nomaden untuk berkontribusi pada ilmu pengetahuan yang pada dasarnya membawa sifat masyarakat yang menetap seperti filsafat.
Tentang Akhir Sejarah dan Metafisika
Meskipun Ibn Khaldūn beriman kepada Tuhan, dia tidak pernah menyebutkan tujuan metafisik apapun tentang sejarah, atau tujuan ilahi apapun yang akan mengakhiri sejarah. Dia menyatakan bahwa, pada kenyataannya, “masa lalu seperti masa depan”. Ini menyiratkan bahwa sejarah manusia tidak memiliki akhir.
Ibn Khaldūn sering mengkritik sejarawan lain karena memaksakan ide-ide metafisik pada peristiwa-peristiwa sejarah untuk membuat peristiwa-peristiwa tersebut tampak tunduk pada aktivis Ilahi atau takdir ilahi; mengubah sejarah, yang sebenarnya merupakan ilmu pengetahuan, menjadi sesuatu yang lebih mirip dengan seni dan sastra.
Akibat dari kritikannya ini, beberapa tokoh muslim dan Barat menggunakan konsep sejarahnya untuk mencela Ibn Khaldūn sebagai seorang ateis, suatu tuduhan yang dia sendiri tidak pernah lontarkan. Padahal Ibn Khaldūn tidak pernah mempertanyakan keberadaan Tuhan. Bahkan menurutnya, karyanya ‘al-Muqaddima’, “diilhami oleh Tuhan, inspirasi murni”. Ini seharusnya cukup menjadi bukti atas keimanannya kepada Tuhan.
Di sisi lain, dalam analisisnya tentang ‘akal’, Ibn Khaldūn percaya bahwa akal memiliki keterbatasan sehingga mencegahnya mencapai pemahaman yang lengkap tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya.
Ibn Khaldūn menegaskan bahwa akal tidak dapat memahami “realitas jiwa dan realitas Ilahi” atau apapun yang berada di dunia metafisika, karena ia tidak mampu mencapai, mengetahui, atau membuktikannya. Kita hanya dapat menyadari sesuatu yang material; sedangkan sesuatu yang tidak material, kita tidak dapat membuktikannya atau mendasarkan bukti apapun padanya.
Penulis