Awalnya saya berencana untuk mengawali tulisan ini dengan ulasan yang panjang lebar tentang apa itu filsafat dan definisi menurut para tokoh Yunani Kuno. Tetapi tiba-tiba saya berpikir kembali dan bertanya, untuk apa? Untuk dihafalkan? Bukankah sudah banyak buku yang membahas hal itu?
Akhirnya saya memutuskan untuk tidak ingin membahas hal tersebut lagi. Di samping saya juga menyadari bahwa masih banyak hal yang belum saya pahami dari pemikiran-pemikiran yang berkembang sepanjang sejarah filsafat, sehingga mungkin jika saya memaksakan diri untuk menjelaskannya maka saya mungkin sekadar menjiplak buku-buku tertentu, alih-alih melakukan refleksi terhadapnya.
Mengenai pertanyaan pada tajuk di atas—apa yang menarik dari filsafat—tentunya yang saya maksud adalah makna menarik ‘menurut saya’. Jadi pandangan ini sangat subjektif. Meskipun demikian, sebenarnya saya berharap tulisan ini tidak hanya bersifat subjektif, tetapi juga provokatif, sehingga setelah Anda membaca tulisan ini Anda menjadi tertarik kepada filsafat dan bersedia untuk mendalaminya.
Filsafat bagi saya adalah sebuah tantangan; tantangan untuk tidak hidup secara mekanis, ikut-ikutan, taqlid dan ‘mengalir’ tanpa tahu kemana arah-tujuannya, seperti yang hari ini disebut dengan FOMO (Fear of Missing Out). Socrates pernah mengatakan satu jargon yang sangat terkenal: “The unexamined life is not worth living.” (Kehidupan yang tidak teruji adalah kehidupan yang tidak layak dijalani).
Kita mustinya tidak terbiasa dengan hidup yang penuh misteri ini, tanpa mencari tahu kemana, untuk apa dan mengapa hidup demikian adanya. Hidup musti diuji, direncanakan dan dipahami, kemudian baru dijalani. Mencari cara paling jitu untuk menguji hidup itulah yang menjadi tujuan utama filsafat. Louis O. Kattsoff dalam ‘Pengantar Filsafat’-nya menulis bahwa “filsafat membawa kita kepada pemahaman. Dan pemahaman membawa kita kepada tindakan yang lebih layak.”
Jostein Gaarder, penulis karya monumental ‘Dunia Sophie’, berpendapat bahwa seandainya misteri dunia ini dianalogikan sebagai hasil dari pekerjaan seorang tukang sulap (si pesulap bisa kita anggap sebagai Tuhan)—dan dunia ini digambarkan seperti seekor kelinci yang keluar dari topi sang pesulap—maka manusia bisa dikatakan sebagai serangga-serangga kecil yang hidup disela-sela bulu kelinci, dan seorang filsuf adalah serangga yang berusaha untuk memanjat setiap helaian bulu kelinci untuk mengetahui kelinci, topi, dan tentunya—jika mampu—mengetahui si pesulap itu sendiri.
Tantangan untuk menguji hidup tampaknya semakin relevan di zaman yang penuh dengan kemajuan teknologi dan globalisasi ini. Nyaris preferensi setiap orang saat ini—seperti apa yang diinginkan dan dibutuhkan—disetir oleh media informasi setiap harinya, mulai dari merek dagang favorit, gaya rambut, outfit hingga aturan ketatanegaraan.
Budaya manusia pun berubah menjadi ‘budaya populer’, di mana sentralisasi budaya semata-mata terletak pada sesuatu atau seseorang yang populer atau viral. Maka tidak heran, preferensi dan tindakan kita saat ini tidak lagi didorong oleh akal budi dan nurani, melainkan tren. Budaya populer mengindikasikan gaya hidup yang ikut-ikutan dan kehilangan daya kritis untuk berpikir secara mandiri.
Di sisi lain, mekanisme hidup belakangan juga semakin terlihat stagnan dan dekaden; bangun pagi, sarapan, berangkat kerja/kuliah, pulang sore, scrolling sosial media, tidur, bangun, berangkat kerja dan begitu seterusnya. Kita nyaris tidak jauh berbeda dari robot yang terprogram. Meskipun setiap orang terlahir dengan sense of curiosity atau rasa ingin tahu layaknya balita, namun hal ini memudar seiring dengan perkembangan usia. Ini disebabkan karena kita sudah semakin terbiasa dengan dunia, sehingga mengubah kita dari makhluk dinamis menjadi makhluk mekanis.
Jika kita memperhatikan dengan seksama, sebagian besar manusia hidup dalam ‘kemapanan’, status quo, tidak berkembang secara kualitatif dan dekaden, baik di level paradigma maupun budaya. Apalagi jika melihat betapa banyak orang yang merasa ‘sok tahu’ tentang kehidupannya tanpa menyadari bahwa sebenarnya dirinya tidak mengetahui apa pun, melainkan hanya sekadar ikut-ikutan.
Filsuf Yunani Kuno, Plato, percaya bahwa tujuan manusia adalah untuk memanfaatkan rasionalitasnya guna untuk menemukan kebenaran yang sejati. Filsafat mendorong kita untuk mempertanyakan asumsi-asumsi kita. Dengan demikian menghilangkan delusi bahwa kita telah mengetahui sesuatu. Kita belajar untuk tidak menganggap diri kita terlalu serius dan berpuas diri pada apa yang kita anggap kita ketahui, tetapi untuk terbuka terhadap pandangan-pandangan baru. Inilah yang membuat filsafat unik.
Hal inilah yang nantinya akan berpuncak pada fluiditas intelektual—kemampuan beradaptasi—untuk menemukan kembali rasa keingintahuan yang lama hilang dari dalam diri kita. Dengan fondasi yang kuat dan rasa ingin tahu yang tinggi saya pikir akan membuat kita tidak mudah tersapu dan terombang-ambing oleh angin perubahan.
Penulis