Dalam hidup, kita sering mengalami momen di mana kita merasa asing terhadap dunia; mempertanyakan segala sesuatu dan bahkan menolak berbagai hal di sekitar kita. Fase ini biasanya dimulai pada masa remaja sebagai bagian dari proses pendewasaan.
Sayangnya tidak sedikit yang terjebak dalam kondisi ini, sehingga banyak yang berakhir dalam pandangan yang pesimistis dan hidup dalam kebohongan terhadap diri sendiri. Hidup terasa tak memiliki arah yang jelas. Fenomena ini dikenal sebagai krisis eksistensial.
Namun, apa sebenarnya arti istilah itu, dan apa yang dapat dikatakan oleh filsafat mengenai pemahaman kita tentang fenomena ini? Mari kita cermati makna di balik istilah yang sarat akan makna ini untuk mencari tahu lebih lanjut.
Apa itu Krisis Eksistensial?
Mungkin beberapa orang menganggap bahwa krisis eksistensial merupakan hal yang biasa terjadi di kehidupan kita. Krisis eksistensial adalah hal fundamental yang sangat memengaruhi cara kita memandang hidup dan bahkan diri kita sendiri.
Satu cara untuk memahami krisis eksistensial: memikirkannya dalam konteks makna. Namun, apakah makna itu? Ada berbagai cara yang telah dilakukan oleh para filsuf untuk memahami makna. Dalam filsafat bahasa, misalnya, kita merujuk pada makna dalam kalimat. Namun, dalam etika, makna lebih bersifat sehari-hari. Misalnya jawaban atas pertanyaan seperti “apakah hidupku memiliki makna” atau “apa yang dimaksud dengan makna hidup?”
Jika Anda mempertanyakan makna hidup, maka kemungkinan besar Anda sedang mengalami krisis eksistensial. Krisis eksistensial dapat membuat Anda merasakan kekosongan, kebingungan dan ketidakpastian. Itulah momen dalam hidup di mana semua yang Anda anggap benar tentang diri Anda dan tempat Anda di dunia ini dipertanyakan.
Krisis eksistensial jauh lebih dari sekadar keraguan sesaat. Krisis ini dapat diibaratkan seperti ombak besar yang menghantam kita, membuat kita kehabisan napas dan memaksa kita untuk meraih apa pun di dekat kita demi mendapatkan pertolongan. Inilah yang oleh filsuf eksistensialisme, Albert Camus, sebut sebagai ‘salto’. Krisis eksistensial memaksa kita untuk mencari apa pun yang dapat membantu kita terlepas dari kekosongan hidup.
Siapakah Albert Camus?
Albert Camus adalah seorang penulis, filsuf, dan jurnalis Prancis. Karya-karyanya yang paling terkenal termasuk ‘The Stranger’, ‘The Myth of Sisyphus’, dan ‘The Rebel’. Camus dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra pada tahun 1957.
Ia lahir di Aljazair pada tahun 1913. Camus adalah putra dari seorang ayah berkebangsaan Prancis dan seorang ibu berkebangsaan Aljazair. Ia dibesarkan di lingkungan kelas pekerja yang miskin di Aljir. Camus bersekolah di sekolah setempat dan kemudian di Universitas Aljir.
Pada tahun 1935, Camus menerbitkan buku pertamanya, ‘The Stranger’. Novel tersebut mengisahkan seorang pria Aljazair bernama Meursault yang membunuh seorang pria Arab tanpa alasan yang jelas. Novel tersebut membuat Camus menjadi selebriti dalam waktu singkat.
Pada tahun 1940-an, Camus terlibat dalam gerakan Perlawanan Prancis melawan pendudukan Nazi di Prancis. Ia juga menulis beberapa drama dan esai yang mengecam absurditas perang.
Setelah perang, Camus kembali ke Aljazair dan menulis tentang kondisi manusia. Pada tahun 1957, ia dianugerahi Penghargaan Nobel Sastra. Camus meninggal dalam kecelakaan mobil pada tahun 1960. Namun, karya-karyanya masih terus dibaca dan didiskusikan oleh para mahasiswa filsafat dan cendekiawan di seluruh dunia.
Absurditas
Albert Camus sangat terkenal dengan gagasan absurditasnya. Bagi Camus, dunia pada dasarnya tidak memiliki makna apapun. Tetapi sebagai manusia, kita memiliki ambisi untuk menanyakan tentang makna hidup kita.
Sayangnya, ketika kita mencari jawaban atas hal ini pada realitas, kita tidak menemukannya karena dunia sejak awal tidak bermakna. Inilah yang Camus sebut sebagai “absurditas”. Situasi absurd terjadi ketika munculnya kontradiksi antara keinginan kita untuk mengejar makna dan kenyataan bahwa makna tidak ada di luar sana (dunia).
Absurditas bukan sekadar konsep filosofis; itu adalah pengalaman nyata yang membuat setiap orang merasa tersesat dan sendirian di dunia yang tidak masuk akal. Itu adalah pengalaman terjebak dalam siklus kesia-siaan, di mana usaha kita tampaknya selalu gagal. Itu adalah pengalaman mencari jawaban tetapi tidak pernah menemukannya.
Ketika kita menghadapi keadaan absurd dan krisis eksistensial, di mana pencarian akan makna hidup bertabrakan dengan kenyataan dunia, Camus beranggapan—seperti yang saya jelaskan pada pendahuluan artikel ini—bahwa lazimnya manusia akan melakukan ‘salto’, yaitu dengan memilih tiga hal sebagai jalan untuk mengisi kekosongan atau absurditas yang dirasakan terhadap hidup: pengabaian dengan berlindung di balik agama atau ideologi, bunuh diri, atau pemberontakan (revolt).
Pencarian akan Makna dan Agama
Apa makna hidup? Mengapa kita ada di sini? Apa artinya semua ini? Ini adalah pertanyaan yang telah diajukan sejak awal waktu oleh para filsuf, tetapi tidak seorang pun mampu memberikan jawaban yang memuaskan.
Camus percaya bahwa alasannya adalah karena tidak ada makna dalam hidup. Tentu saja, ini adalah pandangan yang absurd. Namun, bagi Camus, ini adalah satu-satunya kesimpulan logis yang dapat kita capai.
Ia mulai dengan melihat pertanyaan-pertanyaan di atas dari sudut pandang ilmiah. Jika kita menerima dunia apa adanya, jelas dunia adalah tempat yang acuh tak acuh dan tanpa tujuan. Bintang-bintang tidak peduli dengan kita; kita hanyalah setitik debu dari alam semesta yang tak berujung. Itulah hal pertama yang mengarahkan Camus pada kesimpulan bahwa kehidupan tidak memiliki makna.
Ia kemudian beralih ke agama, yang secara umum dipandang sebagai sumber makna hidup. Kita memilih untuk percaya pada sesuatu yang melampui rasionalitas dan logika seperti Tuhan atau kehidupan setelah kematian—dan juga ideologi. Dengan memilih jalan ini kita akan mencoba menyandarkan seluruh hidup kita pada agama atau pun ideologi, berikut janji dan makna hidup yang mereka tawarkan.
Camus menolak jalan ini karena menurutnya memilih untuk percaya pada sesuatu yang tidak diketahui merupakan suatu tindakan yang sia-sia. Bagi Camus, orang yang memilih percaya begitu saja pada hal-hal yang mereka tidak ketahui hanya akan mengingkari kenyataan hidup yang sebenarnya dan mereka akan berhenti mencari jawaban yang otentik dan memilih kenyamanan dan tipuan ideologis alih-alih menghadapi keadaan.
Camus juga menunjukkan bahwa agama hanya didasarkan pada iman, bukan bukti. Dan bahkan jika Tuhan benar-benar ada, dia ragu bahwa Dia akan peduli dengan hidup kita atau bahwa Dia akan memiliki rencana yang lebih baik bagi kita.
Pada akhirnya, Camus menyimpulkan bahwa satu-satunya tanggapan yang masuk akal terhadap pertanyaan tentang makna hidup adalah dengan mengatakan bahwa tidak ada makna hidup. Hidup pada dasarnya adalah perjalanan yang absurd dan tanpa tujuan. Mungkin ini bukan gagasan yang menyenangkan, tetapi Camus yakin bahwa inilah satu-satunya kesimpulan jujur yang dapat kita capai.
Bunuh Diri
Dalam survei yang dilakuakan oleh WHO (World Health Organization)—yang dipublikasikan pada 24 Agustus 2024 kemarin—menyatakan bahwa lebih dari 720.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya di seluruh dunia. Menurut laporan, tidak sedikit kasus bunuh diri diakibatkan oleh gangguan mental, misalnya yang diakibatkan oleh pengalaman konflik dan rasa terisolasi.
Dalam esainya ‘The Myth of Sisyphus’, Camus mengklaim bahwa hanya ada satu masalah filosofis yang benar-benar serius, yaitu bunuh diri. Camus percaya bahwa satu-satunya cara untuk memahami makna hidup yang sebenarnya adalah dengan menghadapi kemungkinan kematian. Bagi Camus, pertanyaan tentang apakah hidup layak dijalani atau tidak merupakan inti dari pemahaman kita tentang bagaimana kita seharusnya menjalani hidup.
Camus tidak menganjurkan bunuh diri, tetapi ia mencoba membuat kita melihat bahwa masalah kematian adalah sesuatu yang harus kita hadapi jika kita ingin memahami apa arti hidup yang sesungguhnya. Ia percaya bahwa menghadapi kematian kita sendiri dapat membantu kita menghargai hidup.
Pemikiran Camus tentang bunuh diri memang kontroversial, tetapi pemikirannya menawarkan perspektif menarik tentang bagaimana seharusnya kita memandang kematian. Dia percaya bahwa kita harus menerima kematian untuk menghargai kehidupan. Dengan begitu kita dapat melihat nilai dalam setiap momen dalam hidup kita.
Pemberontakan
Camus menganggap bahwa bersikap masa bodoh atas fakta ketidakbermaknaan hidup dan pengabaian epistemik dengan bersembunyi di balik janji manis agama dan ideologi tidak dapat diterima. Namun, bunuh diri pun juga bukan pilihan yang tepat bagi seorang filsuf. Lalu apa yang harus dilakukan? Camus menyarankan pemberontakan.
Pemeberontakan yang dimaksud bukanlah bentuk pemberontakan fisik dan kekerasan, melainkan bagaimana sikap kita terhadap realitas yang absurd. Dia percaya bahwa kita harus terus-menerus melawan situasi eksistensial kita. Jangan pernah mengakui kekalahan terhadap hidup, bahkan ketika menghadapi kematian, meskipun kita tahu itu tidak dapat dihindari. Camus mengatakan bahwa pemberontakan adalah satu-satunya cara untuk berada di dunia. Dalam hal ini kita akan tetap hidup dalam kesadaran penuh akan absurditas.
Mari kita lihat karyanya, ‘The Myth of Sisyphus’. Dalam mitos Yunani kuno, Sisyphus menentang para dewa dan dihukum karenanya. Jadi, ia dikutuk untuk terus-menerus mendorong batu ke atas bukit, yang terus jatuh menggelinding—sebuah hukuman yang sia-sia.
Camus menyamakan penderitaan Sisyphus dengan keberadaan kita sendiri. Di satu sisi, kita menginginkan dan mencari makna dalam hidup kita. Namun, di sisi lain, alam semesta memberikan respons yang bisu. Kombinasi antara keinginan kita akan makna dan kenyataan bahwa keinginan kita tidak dijawab dengan jawaban yang memuaskan (atau mutlak) inilah yang muncul dalam dunia yang absurd.
Meski begitu, Camus mengatakan bahwa Sisyphus bahagia. Sisyphus adalah contoh yang sempurna bagi kita; ia tidak berhalusinasi tentang posisinya di dunia dengan beriman pada suatu kepercayaan, tetapi ia memberontak terhadap keadaan. Dengan batu yang jatuh menggelinding, ia secara sadar memutuskan untuk mencoba lagi. Ia mendorong batu ini berulang-ulang dan menyadari bahwa inilah makna keberadaannya.
Olehnya melalui pemberontakan ini, kita diharapkan mampu menciptakan makna pribadi yang memungkinkan kita untuk memeluk kehidupan yang absurd sebagaimana adanya. Camus mencoba mengajak kita untuk tidak tunduk pada dunia tetapi menentangnya dan terus hidup dengan penuh gairah. Karena alasan inilah Camus lebih mengutamakan kuantitas daripada kualitas dalam cara kita menjalani hidup.
Penulis