Sesungguhnya, jika tujuanmu mencari ilmu untuk saling bersaing, membanggakan diri, melampaui orang-orang yang sepadan denganmu, menarik perhatian orang kepadamu dan mengumpulkan harta benda dunia, maka kamu sedang berusaha menghancurkan agamamu sendiri, membinasakan dirimu sendiri dan menjual akhiratmu dengan dunia.
Sebagai penuntut ilmu, mungkin kita sudah tidak asing lagi dengan nasehat di atas. Nasehat yang membuat kita merenung. Namun, apakah Anda mengetahui siapa yang mengungkapkan nasihat tersebut? Dia adalah sang Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali.
Al-Ghazali dikenal karena skeptisismenya tentang hubungan filsafat dengan pemikiran keagamaan. Ia terkenal karena kritiknya terhadap para filsuf, yang ia tuangkan dalam ‘Tahafut al-Falasifah’.
Karyanya menandai dimulainya integrasi antara Islam dan Aristotelianisme. Pendekatan al-Ghazali terhadap Islam dan filsafat sangat berpengaruh di kalangan teolog Muslim sejak saat itu, dan akhirnya juga terhadap filsafat Skolastik dan pemikiran Eropa secara umum. Beginilah peran intelektual al-Ghazali bagi banyak Muslim saat ini.
Biografi
Nama asli al-Ghazali adalah al-Imamul Jalil Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid al-Thusi al-Ghazali. Dia lahir pada 450 H /1058 M–505 H/111 M, di Thus, Iran. Kehidupan al-Ghazali, seperti banyak filsuf dan teolog Muslim pada umumnya, membentuk dan dibentuk oleh politik pada masanya.
Dia dikenal sebagai seorang teolog, filsuf dan sufi dalam sejarah Islam. Disiplin yang ia kuasai meliputi fikih, ushul fikih, teologi, logika, filsafat, tasawuf, akhlak dan lain sebagainya. Di beberapa bidang pengetahuan tersebut dia menulis karya-karya yang membuktikan kedalaman wawasannya.
Karena lahir di Iran modern, karier intelektualnya tersebutlah yang membawanya naik ke posisi yang dekat dengan Sultan Seljuk Malik Shah, dengan pusat kekuasaannya di Isfahan, dan dengan istana kekhalifahan di Baghdad.
Meskipun al-Ghazali sepanjang hidupnya dikenal sebagai filsuf, dia termasuk filsuf yang mencurigai paradigma filsafat di zamannya, yang saat itu didominasi oleh gagasan Aristotelianisme (Peripatetik).
Filsafat—dalam hal ini filsafat Peripatetik—mungkin baginya tidak selalu bermanfaat dan bahkan tidak berguna dan berbahaya. Hal ini diungkapkan al-Ghazali dalam salah satu karyanya ‘Munqidh min al-Dalāl’. Dia memberitahukan kita bagaimana krisis batin yang dia alami akibat refleksi filosofis tentang hakikat pengetahuan yang dia pelajari dari para filsuf Muslim pendahulunya. Ini pada akhirnya menjebaknya dalam sikap skeptis yang dalam.
Para skeptisis kuno seperti Sextus Empiricus mungkin mengklaim bahwa sikap skeptis bisa menjadi jalan menuju ataraxia (kebebasan dari gangguan). Ia mengatakan meragukan segala sesuatu akan menghasilkan kedamaian. Namun apa yang disebut Sextus Empiricus sebagai kedamaian mungkin tidak sama dengan al-Ghazali.
Ketika al-Ghazali terjebak dalam skeptisisme, ia justru melihat kebuntuan intelektual yang dia alami tidak membebaskan tetapi malah membuatnya frustasi. Ini adalah salah satu dari dua krisis kehidupan yang ia alami dalam ‘Munqidh min al-Dalāl’; krisis lain yang dia alami adalah yang terjadi pada tahun 1095. Saat itu dia melakukan refleksi keagamaan tentang ketidakberartian pekerjaan sehari-harinya sebagai seorang guru. Karena itu dia berhenti makan dan bahkan membuatnya sulit berbicara.
Untungnya, dengan menghabiskan waktu mempelajari teks-teks Islam mistik yang asketis, lalu memutuskan untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Tuhan—dan melepaskan jabatan dan pekerjaannya di Baghdad—al-Ghazali menemukan kedamaian. Mendekatkan diri kepada Tuhan membantunya terlepas dari belenggu skeptisisme. Saat itu, dia berjanji tidak lagi melayani otoritas politik atau mengajar di sekolah-sekolah pemerintah. Meskipun ini adalah janji yang sangat serius, al-Ghazali pada akhirnya melanggar janjinya sendiri satu dekade kemudian.
Al-Ghazali wafat pada usia 55 tahun. Dia meninggal di kota kelahirannya pada 505 Hijriyah. Dia meninggalkan alam fana ini dengan tenang, seolah-olah mengungkapkan pesan senada dengan Francis Bacon: “Aku menghadapkan rohku ke hariban Tuhan. Meski jasadku dikubur dalam tanah, namun aku akan bangkit bersama namaku pada generasi-generasi mendatang serta pada seluruh umat manusia.”
Skeptisisme
Argumen yang membawa al-Ghazali ke dalam krisis yang telah saya sebutkan di atas mengingatkan kita pada apa yang terjadi dengan filsuf Pra-Socratic, Democritos melalui teori atomnya. Indera kita memberitahukan kita bahwa madu itu manis, tetapi rasa manis itu hanya masalah konvensi; sebenarnya yang ada hanyalah atom dan kehampaan. Meskipun begitu, Democritos tidak membantah kesan-kesan inderawi. Sebab tanpa indera, pikiran tidak akan mengetahui apa pun.
Sama halnya dengan al-Ghazali: dia membayangkan persepsi inderawi bertolak belakang dengan pikiran. Ia memberi contoh bagaimana bayangan tampak bagi indera penglihatan kita seolah-olah diam, tetapi pikiran tahu bahwa bayangan bergerak perlahan saat matahari melintasi langit. Contoh lain, yang ia adopsi dari Aristoteles, adalah bahwa matahari menurut indera terlihat sangat kecil, tetapi pikiran kita tahu bahwa faktanya matahari sangat besar.
Keraguan yang dialami al-Ghazali tampaknya sama dengan keraguan Descartes dalam ‘Meditations’-nya. Seperti Descartes, al-Ghazali melihat skeptisme sebagai tantangan yang harus diatasi, alih-alih sebagai hasil atau tujuan sebagaimana yang dikatakan oleh para skeptisis kuno. Namun al-Ghazali tidak berkesimpulan yang sama dengan cogito-nya Descartes untuk terbebas dari keragu-raguan. Sebaliknya, al-Ghazali mengatakan bahwa Tuhanlah yang membebaskannya dengan memberikannya cahaya yang mengungkapkan hakikat segala sesuatu (kashf).
Dalam ‘Munqidh min al-Dalāl’, al-Ghazali bukan hanya menceritakan skeptisisme akut yang dia alami, tetapi juga evaluasi atas empat jalan menuju kebenaran yang berbeda, di antaranya adalah kalām, batiniyah (Ismā’īlisme), filsafat, dan tasawuf.
Sanggahan terhadap Batiniyah
Al-Ghazali membantah prinsip-prinsip dan argumen-argumen yang dipegang oleh kelompok Batiniyah, yang pada masa itu merujuk pada sekte-sekte yang dianggap absurd dan pem-bid’ah akibat taqlid kepada imam mereka.
Mereka, oleh al-Ghazali, disebut sebagai golongan ta’lim ini berpendapat bahwa kebenaran tidak dapat dicapai dengan akal, tetapi dengan menerima pernyataan imam yang maksum. Doktrin ini memiliki intrik politik yang penting karena merupakan ideologi resmi negara saingan, kekhalifahan Fatimiyah yang berpusat di Kairo.
Kelompok ini dikenal karena menafsirkan teks-teks agama termasuk al-Quran dengan berorientasi pada apa yang imam mereka katakan.
Al-Ghazali mengejek kelompok ini dengan menanyakan apa yang harus dilakukan seorang Muslim jika ia ingin sholat tetapi tidak tahu ke arah mana ia harus menghadap. Jika ia menunggu sampai ia mendapatkan keputusan dari sang imam, ia akan melanggar kewajibannya apabila waktu sholat telah tiba tetapi sang imam belum memutuskan apa pun. Tentu apa yang harus dilakukan oleh seorang Muslim dalam kasus ini adalah dengan melakukan ijtihād. Ini adalah argumen yang menunjukkan bahwa terkadang agama memerlukan penilaian independen (ijtihād), sayangnya hal ini tidak dipahami oleh kaum Batiniyah.
Rasa-rasanya hanya imam mereka saja yang ahli dalam menyingkap hakikat segala sesuatu. Kritik al-Ghazali terhadap kelompok ini dituangkan dalam karyanya yang terkenal berjudul ‘Fadhaih al-Batiniyah’.
Sanggahan terhadap Kalām
Dalam hal kalām, al-Ghazali tampak seperti filsuf garis keras. Baginya, kalām memiliki peran penting meskipun cakupannya terbatas. Sanggahannya terhadap kalām sebenarnya cukup sederhana: kalām terbatas sebab tidak menawarkan bukti-bukti demonstratif sebagaimana filsafat. Ini diakibatkan karena para mutaqallimin, menurut al-Ghazali, senang membatasi diri mereka pada perselisihan dialektis satu sama lain, alih-alih berfokus pada pencapaian pengetahuan yang pasti.
Sanggahan terhadap Falasifah (Filsuf)
Selain menyerang kelompok Batiniyah, al-Ghazali juga terkenal dengan sanggahannya terhadap para filsuf, yang pemikirannya dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang murni.
Dalam karya pentingnya, ‘Tahafut al-Falasifah’, dia berhasil membangun reputasi sebagai pembela Islam dengan menggunakan pendekatan yang tidak hanya berdasarkan pada teks-teks agama, tetapi juga dengan argumen-argumen yang terstruktur. Jika kita melihat sanggahannya kepada para filsuf, kita tahu bahwa dia mendebat filsafat dengan filsafat, menghancurkan senjata dengan senjata.
Namun, ada sebagian intelektual yang berpendapat bahwa sanggahan al-Ghazali dapat merugikan perkembangan intelektual di dunia Islam. Mereka menganggap bahwa pendekatan al-Ghazali terhadap filsafat menunjukkan sikap yang anti-filsafat. Meskipun demikian, klaim ini tidak sepenuhnya benar. Al-Ghazali tidak sepenuhnya menolak filsafat, dengan tiga alasan: Pertama, ia juga merupakan seorang filsuf. Buktinya, sebelum menulis ‘Tahafut al-Falasifah’, dia juga menulis ‘Maqashid al-Falasifah’.
Kedua, objek kritikannya bukan terhadap filsafat itu sendiri melainkan terhadap para filsuf, dalam hal ini filsuf Peripatetik seperti Aristoteles, al-Farabi, dan Ibn Sina. Ketiga, tidak tepat juga mengatakan dia anti-filsafat sedangkan kritikannya terhadap para filsuf sendiri pun dibangun dengan argumentasi-argumentasi filosofis.
Dengan demikian, al-Ghazali bukanlah tokoh yang menolak filsafat, tetapi seorang filsuf Muslim yang teliti dalam menilai mana bagian dari filsafat yang selaras dengan ajaran Islam dan mana yang perlu diwaspadai.
Bahaya filsafat yang disoroti oleh al-Ghazali adalah terutama berkaitan dengan pemikiran para filsuf tentang metafisika. Menurutnya, gagasan para filsuf bertentangan langsung dengan otoritas agama karena para filsuf gagal memberikan bukti-bukti yang memadai untuk mendukung asumsi-asumsi yang mereka buat dalam logika mereka.
Argumen yang difokuskan al-Ghazali adalah bahwa falasifah (filsuf) mengacaukan metodologi demonstratif dengan taqlid, pengulangan ajaran dari para pendiri gerakan Peripatetik. Ada dua puluh klaim yang dibuat oleh para filsuf yang al-Ghazali bantah. Dari dua puluh, ada tiga klaim yang menurut al-Ghazali tidak hanya salah, tetapi juga berbahaya bagi iman seorang Muslim, mencakup hal-hal berikut:
Pertama, mengenai pengetahuan Allah. Para filsuf berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui hal-hal yang bersifat universal (kulliyat) dan bukan bersifat parsial (juz’iyat). Menurut para filsuf, Allah hanya mengetahui prinsip-prinsip umum alam semesta dan tidak mengetahui peristiwa-peristiwa partikular yang terus berubah, karena hal itu akan menyebabkan perubahan dalam pengetahuan-Nya.
Al-Ghazali menentang pandangan ini karena menganggap para filsuf membatasi kekuasaan Allah. Dia menyatakan bahwa ini adalah bentuk kekafiran yang nyata, karena dalam pandangan agama, tidak ada satu pun di langit maupun di bumi, bahkan seberat atom, yang luput dari pengetahuan Allah.
Kedua, terkait kekekalan (azāli) alam. Para filsuf meyakini bahwa alam semesta bersifat kekal dan tidak diciptakan dari ketiadaan. Mereka percaya bahwa alam telah ada bersama Allah dalam bentuk yang abadi, meskipun bergantung pada-Nya sebagai penyebab pertama.
Al-Ghazali dengan tegas menolak pandangan tersebut. Dia menekankan bahwa alam semesta diciptakan dari ketiadaan (creatio ex nihilo) oleh Allah pada waktu tertentu. Bagi al-Ghazali, keyakinan bahwa alam semesta kekal bertentangan dengan ajaran agama yang mengajarkan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu.
Ketiga, terkait teori emanasi. Para filsuf meyakini bahwa alam semesta memancar dari Allah secara bertahap melalui beberapa tahap, dimulai dengan akal pertama (Aql al-Awwal). Menurut teori ini, alam bukanlah ciptaan langsung dari Allah, melainkan hasil dari proses emanasi. Al-Ghazali lagi-lagi menolak konsep ini, karena dia percaya bahwa alam semesta adalah ciptaan langsung Allah, tanpa perantara atau tahapan apa pun.
Sufisme
Al-Ghazali pada akhirnya mengkritisi tiga pendekatan utama di atas pada zamannya, yang lazim dianggap sebagai jalan menuju kebenaran. Ia bahkan meragukan kepastian matematika dan memilih kepastian Tuhan.
Menurutnya, kontak langsung dengan Tuhan dapat menawarkan sesuatu yang bahkan lebih dari sekadar pengetahuan demonstratif. Tentu mustahil untuk mengungkapkan apa yang dimaksud oleh al-Ghazali ini kepada mereka yang belum mencapai tingkat spiritualitas tertentu.
Al-Ghazali menggunakan istilah Sufisme dhawq, atau rasa, untuk menyebutkan persepsi tentang kebenaran Ilahi yang dianugerahkan langsung kepada para sufi sejati. Ia bahkan memberikan analogi visual: bagi seorang sufi untuk memberitahu kepada yang bukan sufi tentang apa yang telah ia pahami akan seperti mencoba menjelaskan warna kepada orang buta.
Pandangan filsafat al-Ghazali secara umum dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari tradisi yang berbeda, yang dalam filsafat Islam disebut dengan Sufisme atau Irfan. Namun terlepas dari itu, filsafatnya sangat relevan bagi siapa pun yang ingin memahami hubungan antara akal dan iman.
Penulis