Sebagai makhluk yang menduduki puncak spesies, tentunya kita selalu berupaya memecahkan persoalan-persoalan yang ada. Tidak nyaman rasanya bila persoalan-persoalan yang ada belum ditemukan jawabanya. Bahkan sebagian dari kita tidak hanya mencari jawaban tetapi juga berupaya untuk menemukan kebenaran. Keinginan dalam pencarian kebenaran tertanam secara alamiah di dalam jiwa manusia. Hal ini tentu saja berkaitan dengan manusia yang diciptakan sebagai makhluk yang memiliki kapabilitas untuk berpikir secara kritis dan rasional.
Pencarian kebenaran sangat penting karena kebenaran dianggap mendorong terciptanya kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Pandangan semacam ini mengakar dalam benak setiap orang, karena tanpa kebenaran, manusia mengalami kekosongan nilai pada dirinya sendiri.
Tetapi, bagaimana cara kita mencapai kebenaran itu? Tentu, ada beragam upaya untuk menjawab pertanyaan semacam itu. Ada beragam jalan yang memungkinkan kita sampai pada kebenaran, seperti sains, agama, tradisi/budaya, dan seterusnya. Namun, menurut hemat saya kebenaran baru bernilai apabila ia telah diragukan. Kita menyebut ini dengan sikap skeptis. Sikap skeptis ini berfungsi untuk menggali akar tunggal kebenaran.
Namun bagaimana sikap skeptis itu bisa mengantarkan kita pada kebenaran?
Rene Descartes (1596-1650), seorang filsuf Rasionalisme dan penganjur metodologi skeptis pernah mengemukakan bahwa untuk mendapatkan pengertian yang menyeluruh tentang dunia eksternal, kita musti meragukan semua hal terlebih dahulu, termasuk eksistensi diri kita sendiri.
Descartes menggunakan metode keraguan (skeptis) untuk membantu proyek filsafatnya dalam usaha mencari kepastian tentang segala sesuatu. Ia menggunakan keraguan untuk mencari tahu apakah ada kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi—atau tidak.
Kebenaran selalu menjadi sandaran bagi banyak orang, sehingga tidak mengherankan dalam pencarian kebenaran kita bahkan mempertanyakan segalanya. Misalnya, mempertanyakan adanya dunia, Tuhan, dan bahkan diri kita sendiri. Apakah dunia benar-benar ada? Bagaimana jika selama ini semua yang saya anggap sebagai benar adalah ketidakbenaran itu sendiri? Atau bahkan realitas yang sedang saya alami adalah mimpi panjang yang sangat menyenangkan, yang membuat saya semakin terlelap dalam tidur panjang ini?
Tentunya, pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan memaksa kita untuk mencari cara agar bagaimana kita mengatasi kegelisahan kita tentang realitas yang pada akhirnya menjebak kita pada persoalan-persoalan eksistensial. Fatalnya jika pertanyaan-pertanyaan yang di ajukan tersebut tidak mendapatkan jawaban, seseorang akan merasakan ketidakbermaknaan hidup, kekosongan tujuan, dan pada akhirnya memicu tindakan bunuh diri.
Bukankah itu tindakan yang sangat merugikan? Di sisi lain, menyepelekan pertanyaan semacam itu dan menerima dunia sebagaimana adanya—dan terbiasa dengannya—juga tidak dianjurkan, paling tidak oleh para filsuf. Seperti diktum Socrates di hadapan para hakim yang menuduhnya sebagai penyesat: “Hidup yang tidak teruji adalah hidup yang tidak layak dijalani.”
Singkatnya, meragukan—atau mempertanyakan—segala sesuatu adalah cara hidup yang terhormat bagi para filsuf.
Maka cita-cita Descartes sebagai seorang filsuf adalah membangun sebuah sistem filsafat yang tetap, yang pasti, seperti halnya matematika. Tidak ada filsuf sebelumnya yang telah berusaha dengan begitu keras untuk mencapai kebenaran absolut. kecuali Descartes. Descartes berusaha setiap hari untuk menemukan bukti diri, yang akan menjadi aksioma atau prinsip awal untuk filsafatnya.
Lalu bagaimana sikap skeptis Descartes itu? Desacartes setidaknya menyebutkan empat hal:
1) Ia tidak pernah menerima apapun sebagai benar kecuali ia tahu secara jelas bahwa itu benar, yang berarti Descartes menghindari kesimpulan terlalu cepat dan prasangka, dan Descartes hanya memasukkan apa yang tampak jelas dan gamblang di dalam nalarnya sehingga tidak ada kesempatan untuk meragukannya.
2) Memilih setiap tantangan yang akan ia telaah menjadi bagian sekecil mungkin atau sebanyak yang diperlukan untuk memudahkan penyelesaiannya.
3) Berpikir secara runtut, mulai dari hal-hal yang paling sederhana dan paling mudah dikenali, lalu naik ke masalah yang paling kompleks, dan bahkan menata hal-hal yang secara alamiah tidak beraturan dalam urutan.
4) Selalu membuat perincian yang selengkap mungkin, dan melakukan pemeriksaan yang sangat menyeluruh sampai ia dapat memastikan bahwa tidak ada yang terlupakan.
Sebab itulah, Descartes meletakkan seluruh filsafatnya pada kebenaran absolut: "Ketika aku sadar bahwa aku berpikir, maka aku tahu aku ada." Dalam teori pengetahuannya, kebenaran yang tak tergoyahkan, aman, dan terlindungi adalah kebenaran atas keberadaan dirinya sebagai subjek yang sadar.
Dengan begitu, Descartes menekankan untuk tidak mempercayai segala sesuatu di luar rasio manusia. Karena bukti apapun yang berasal dari luar akal budi manusia tidak dapat dipercaya dan tidak pasti.
Sikap skeptis Descartes dapat dipahami karena adanya kemungkinan bahwa ada sesuatu yang dapat menipu atau memanipulasi kesimpulan- kesimpulan kita, sehingga sesuatu yang salah tampak seperti kebenaran. Dia percaya bahwa kebenaran absolut hanya dapat ditemukan melalui kecerdasan akal budi manusia dan pemikiran yang logis.
Desacartes menempatkan diktum "Cogito ergo sum" sebagai dasar pengetahuan yang mutlak, menjadikan eksistensi diri sebagai titik awal yang tidak dapat diragukan lagi. Penekanan pada pentingnya rasionalitas dan penggunaan akal sehat untuk mencapai pengetahuan yang kokoh adalah salah satu cara pandang filsafat Descartes yang paling menonjol.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam pencarian kebenaran sikap ragu merupakan instrumen penting dalam menemukan kebenaran, sebab kebanaran tidak hadir begitu saja, melainkan satu hal yang harus kita cari, kejar, dan perjuangkan.
Dengan metode skeptis setidaknya dapat memberikan kita obat penawar yang ampuh atas pertanyaan-pertanyaan yang selalu hadir dalam benak kita. Pemikiran Descartes tentang perspektifnya terkait kebenaran, serta pendekatan keraguan yang dia gunakan, memberikan pemahaman yang baik tentang pentingnya bertanya dan meneliti setiap hal sebelum menerimanya sebagai kebenaran yang pasti.
Sebagai penutup, Rene Descartes pernah berkata: “Keraguan adalah asal mula kebijaksanaan, untuk mencari kebenaran sekali dalam hidup kita perlu meragukan sejauh mungkin dari semua hal.”
Penulis