Loading...

Saat ini, kata ‘gosip’ memiliki konotasi negatif. Itu dianggap sebagai pembicaraan yang tidak senonoh, tidak bermoral, dan seringkali melibatkan penyebaran informasi yang tidak seharusnya disebarkan dan bahkan mungkin tidak benar.

Gosip juga secara tradisional dianggap sebagai sesuatu yang dilakukan oleh perempuan.

Minggu lalu, Paus Fransiskus, kepala Gereja Katolik Roma, diduga memarahi sekelompok pendeta muda karena ‘berbicara buruk’ di paroki dan jemaat karena ‘gosip adalah urusan perempuan.’ Hanya beberapa hari sebelumnya, seorang pria yang sekarang mencalonkan diri sebagai Senat di Minnesota mengeluh dalam sebuah wawancara bahwa “perempuan terlalu banyak bicara.”

Gagasan bahwa perempuan lebih banyak bicara daripada laki-laki, terutama tentang hal-hal yang konyol dan tidak penting, adalah stereotip umum. Hal ini bahkan tertanam dalam ungkapan-ungkapan linguistik di seluruh dunia. Dalam bahasa Jerman, ada pepatah yang berkata “satu laki-laki, satu kata — satu perempuan, satu kamus.” Sementara itu, dalam bahasa Jepang, ada pepatah, “di mana ada perempuan dan angsa, di situ ada kebisingan.”

Ditambah dengan reputasi kami sebagai tukang gosip, stereotip tersebut tidak sepenuhnya menggambarkan gambaran yang baik tentang gender kami.

Bagaimana Stereotip Tersebut Muncul?

Awalnya, makna kata ‘gosip’ tidak seperti yang saat ini kita pahami. Gosip berasal dari istilah Inggris Kuno, ‘God’ dan ‘sibb’. Kata ini pertama kali merujuk pada orang tua baptis dan kemudian meluas hingga kepada kenalan akrab, teman, bahkan teman perempuan, terutama mereka yang diundang untuk menghadiri persalinan.

Bagaimanapun, perempuanlah yang paling sering melakukan pekerjaan kolektif—seperti membuat tekstil, menggiling gandum, membuat bir, dan menyiapkan makanan—yang kemudian melahirkan komunitas sosial yang erat. Perempuan juga merupakan satu-satunya yang membantu persalinan, berperan sebagai bidan, dan secara tradisional melestarikan dan mewariskan pengetahuan yang berkaitan dengan praktik kesehatan, metode produksi, pengolahan makanan, dll.

Seperti yang ditunjukkan oleh sarjana Italia, Silvia Federici, dalam buku terbarunya ‘Witches, Witch-Hunting, and Women’:

“Di banyak belahan dunia, perempuan secara historis dipandang sebagai penenun ingatan—mereka yang menjaga agar suara-suara masa lalu dan sejarah masyarakat tetap hidup, yang mewariskannya kepada generasi mendatang dan, dengan demikian, menciptakan identitas kolektif dan rasa kohesi yang mendalam. Mereka pula yang mewariskan ilmu-ilmu dan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diperoleh—yang menyangkut pengobatan medis, masalah-masalah hati, dan pemahaman tentang perilaku manusia, dimulai dari perilaku laki-laki.”

Dengan kata lain, kerja sama dan cara kaum perempuan bersosialisasi sangat penting bagi kehidupan manusia dan berjalannya fungsi masyarakat, khususnya pada Abad Pertengahan. Namun sayangnya, pada abad keenam belas, keadaan mulai berubah.

Pada tahun 1547, selama pemerintahan Elizabeth 1 di Inggris, dikeluarkan sebuah regulasi yang “melarang perempuan bertemu bersama untuk mengoceh dan berbicara” dan memerintahkan para suami untuk “menjaga istri-istri mereka di rumah.”

Sekitar waktu yang sama, beberapa perkembangan lain yang mengkhawatirkan juga terjadi: sanksi yang memaksa perempuan keluar dari dunia kerja, berbagai undang-undang yang merampas otonomi perempuan sekaligus memperkuat otoritas laki-laki dalam keluarga—dan pengadilan penyihir yang terkenal—pertama di Eropa dan kemudian di Koloni Amerika.

Dan ketika peran perempuan dikaitkan dengan ‘bertelanjang kaki dan hamil’—yang memuncak pada era Victoria dengan ideologi ‘ruang lingkup terpisah’—perempuan secara bertahap pun terisolasi dan tidak berdaya. Gagasan bahwa perempuan akan berkumpul dan saling berbagi informasi dipandang sebagai ancaman terhadap status quo patriarki.

Setelah perubahan ini, sekitar abad ke-18, ‘gosip’ benar-benar mengubah maknanya dari bentuk persahabatan dan kasih sayang perempuan menjadi ‘omong kosong’ yang dikaitkan dengan amoralitas. Kamus Dr. Johnson tahun 1755 mendefinisikan gosip sebagai “seseorang yang berkeliling sambil mengadu seperti perempuan yang sedang tidur.”

Selama pengadilan penyihir, gosip juga berarti kecaman perempuan terhadap perempuan lain—meskipun pengakuan ini sering kali dipaksakan di bawah penyiksaan—dan menjadi sinonim dengan tipu daya perempuan. Hal ini, saat itu, membuat perempuan enggan berteman dengan sesama perempuan.

Perempuan juga dapat dibawa ke pengadilan dan dituntut atas kejahatan sebagai pengomel, pemarah atau pemberontak. Ada satu alat penyiksaan yang dikenal sebagai ‘scold’s bridle’. Alat ini secara khusus digunakan untuk menghukum perempuan yang bergosip.

Pertama kali tercatat di Skotlandia pada tahun 1567, scold’s bridle adalah alat berbingkai besi yang akan merobek lidah perempuan jika ia mencoba berbicara. Ini juga digunakan untuk menghukum budak di beberapa negara bagian Amerika hingga abad ke-18. Hukuman kejam lainnya yang sebagian besar diperuntukkan bagi perempuan yang tidak patuh adalah ‘cucking stool’ atau ‘ducking stool.’

Nah, tidak heran jika sampai saat ini masih saja ada sikap meremehkan tukang gosip dan perempuan yang ‘banyak bicara’, karena belum lama ini, secara harafiah bergosip dianggap sebagai sebuah tindakan pembangkangan dan bahkan sebuah kejahatan.

Pentingnya Gosip

Dorongan untuk berbagi cerita dengan orang lain sering kali terasa seperti ‘kesenangan yang mengundang rasa bersalah’. Kita tahu kita seharusnya tidak melakukannya tetapi tetap saja kita tidak dapat menghentikan diri kita untuk melakukannya.

Meskipun reputasinya buruk, bergosip—yang paling baik didefinisikan sebagai pembicaraan tentang seseorang yang tidak hadir atau tentang sesuatu yang Anda nilai secara moral—tidak selalu merupakan perilaku yang merugikan atau kontraproduktif. Bahkan, kemungkinan besar gosip adalah peninggalan masa lalu selama proses evolusi kita. Ini artinya gosip adalah sesuatu yang kita lakukan karena terbukti bermanfaat.

Dalam wawancara dengan NBC News, psikolog Frank T. McAndrew menjelaskan mengapa hal ini terjadi:

“Agar dapat bertahan hidup dan mewariskan gen, Anda selalu perlu mengetahui kehidupan orang-orang di sekitar Anda: siapa yang punya teman-teman berkuasa, siapa yang tidur dengan siapa, siapa yang punya sumber daya terbatas, dan siapa yang mungkin menusuk Anda dari belakang saat Anda kesulitan.”

Selain penting untuk mobilitas dan ikatan sosial, gosip juga dapat membantu menjaga ketertiban sosial dengan bertindak sebagai pencegah eksploitasi, pelecehan, dan perilaku berbahaya lainnya. Itulah yang didefinisikan oleh ilmuwan sosial sebagai ‘gosip prososial’, karena gosip didorong oleh kepedulian kita terhadap orang lain.

Dengan tidak adanya perlindungan hukum terhadap bentuk-bentuk pelecehan tertentu—terutama kekerasan dalam rumah tangga, yang tidak dikriminalisasi di masa lalu—gosip prososial terbukti bermanfaat bagi perempuan. (Dan bahkan mungkin dapat menyelamatkan beberapa nyawa.)

Penelitian modern menegaskan bahwa gosip mempunyai dampak positif dan juga motivasi moral. Sebuah studi yang diterbitkan dalam Sage Journals oleh para peneliti dari Universitas Stanford dan Universitas California, Berkeley, menemukan bahwa bergosip memang dapat secara efektif mencegah perilaku yang merugikan. Setelah orang-orang yang digosipkan karena berperilaku buruk, mereka cenderung menyesuaikan perilaku mereka untuk menghindari reputasi buruk yang mereka timbulkan. Studi tersebut juga menunjukkan bahwa bergosip memungkinkan seseorang untuk mengetahui siapa yang harus dipercaya dan siapa yang harus dihindari, mendorong kerja sama bahkan dalam situasi di mana beberapa orang mungkin tergoda untuk mengeksploitasi orang lain.

Studi lain yang diterbitkan awal tahun ini dalam Proceedings of the National Academy of Sciences oleh para peneliti di University of Pennsylvania juga menemukan bahwa gosip dapat menjadi instrumen yang mendukung kerja sama dan memastikan bahwa 1) perilaku buruk tidak menyebar dan 2) perilaku baik menyebar dengan cara menghukum yang pertama dan memberi penghargaan kepada yang kedua.

Beberapa penelitian lain juga menunjukkan bahwa bergosip sangat penting untuk mengembangkan dan memperkuat ikatan sosial karena bergosip memicu otak kita untuk melepaskan hormon seperti oksitosin—hormon dari semua perasaan hangat dan nyaman—dan memungkinkan kita untuk belajar tentang dunia secara tidak langsung melalui pengalaman orang lain.

Jelas, ada alasan mengapa manusia selalu bergosip dan mengapa kita masih melakukannya. Dan tentu saja bukan hanya perempuan yang melakukan hal itu. Dengan demikian, tidak benar bahwa perempuan berbicara lebih banyak daripada laki-laki; penelitian telah menemukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara jumlah kata yang kita ucapkan, baik laki-laki maupun perempuan. (Sebenarnya, beberapa penelitian menunjukkan laki-laki lebih banyak bicara daripada perempuan.)

Pun tidak benar juga jika perempuan disebut lebih sering bergosip daripada laki-laki. Sebuah penelitian menemukan bahwa rata-rata orang menghabiskan 52 menit per hari untuk bergosip, yang sebagian besarnya dapat dianggap sebagai obrolan yang tidak berbahaya dan tidak menghakimi, dan bahwa perempuan lebih banyak terlibat dalam gosip yang netral daripada laki-laki.

Sederhananya, meskipun masih ada anggapan bahwa perempuan lebih banyak bicara dan bergosip daripada laki-laki, itu tidak lebih daripada mitos belaka. Namun, jika Anda masih percaya bahwa perempuan “terlalu banyak bicara”, itu mungkin karena Anda lebih suka jika kami diam dan bungkam seperti masyarakat jaman dulu.

Penting Bagi Perempuan untuk Terus Berbicara

Gagasan keliru seputar kesembronoan dan kecerewetan perempuan saat ini saya pikir bertujuan untuk membuat kami merasa apa yang kami katakan tidak begitu penting. Dan seperti beberapa abad yang lalu, ini adalah bagian dari upaya untuk menekan perempuan, mengucilkan, dan— seperti yang dikatakan Federici dalam bukunya—menghilangkan “kemungkinan untuk mendefinisikan pengalaman mereka sendiri.”

Bagaimanapun, masih ada ancaman terhadap status quo patriarki dalam diri perempuan yang berbagi cerita satu sama lain, khususnya cerita tentang laki-laki dan masyarakat tempat kami tinggal serta bagaimana masyarakat terus memperlakukan kami.

Di dunia di mana perasaan kesepian, keterasingan, dan depresi terus meningkat dari tahun ke tahun, kita semua akan mendapatkan manfaat dari memperkuat ikatan sosial kita, bukan malah mengendurkannya. Sayangnya, isolasi yang dialami oleh banyak orang saat ini akibat realitas yang semakin tidak dapat dijalani yang diciptakan oleh kapitalisme, menyediakan lahan subur untuk menebar perpecahan, ketidakpercayaan, dan kebencian.

Tentu saja, ada juga jenis gosip yang berbahaya. Saya rasa tidak ada yang suka seseorang menyebarkan rumor palsu di belakang mereka kecuali Anda seorang selebriti yang sangat membutuhkan visibilitas, baik atau buruk.

Namun, tampaknya kekejaman atau kedengkian bukanlah tujuan atau hasil dari percakapan yang secara sosial didefinisikan sebagai gosip. Gosip seringkali bukanlah ‘omong kosong tak berdasar’ yang seharusnya membuat kita merasa bersalah karena melakukannya. Kita bergosip karena kita manusia, dan itulah yang dilakukan manusia—dan bukan hanya kaum perempuan—untuk tetap terhubung, mendapatkan informasi, dan terhibur.


Tulisan ini telah dialih-bahasakan oleh Redaksi Sophia Institute dari artikel asli yang berjudul “Actually, Gossiping Has Its Benefits. So Why Are women Ridiculed for It?”  atas izin penulis.

Lebih baru Lebih lama