Al-Farabi adalah salah seorang filsuf muslim abad ke-9 yang masyhur. Dia lahir di sebuah kota bernama Farab yang saat itu masuk dalam wilayah kekuasaan Dinasti Abbasiyah, khususnya di era kekhalifahan al-Muqtasim.
Nama asli al-Farabi adalah Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Uzlag al-Farabi, dan di dunia Barat dia dikenal sebagai Alfarabius. Dia terkenal sebagai filsuf muslim yang multitalenta, cerdas, dan kuat berargumentasi. Di sisi lain dia juga dikenal sebagai ahli musik dan dianggap sebagai salah satu cendikiawan muslim yang pertama kali membuat teori musik terapan selain al-Kindi.
Salah satu suara-suara indah yang dibahas oleh al-Farabi mencakup praktik-praktik religius di antaranya adalah melodi dan irama azan. Gaya lagu azan atau yang dikenal dengan maqam ada bermacam-macam dan memiliki efek yang berbeda-beda. Menurut penelitian dari Turki, maqam azan yang disebut dengan berbagai versi oleh al-Farabi tersebut memiliki efek psikologis dan bermanfaat untuk kesehatan.
Salah satu karya al-Farabi tentang musik adalah Kitab 'al-Musiqa al-Kabir'. Beliau menulis kitab ini atas permintaan Abu Ja'far Muhammad bin al-Qasem Karki, wazir khalifah al-Razi, yang meminta al-Farabi untuk menuliskan sebuah buku tentang musik menurut ahli teori Yunani kuno.
Dalam kitab tersebut al-Farabi mengeksplorasi karya-karya Yunani dan menemukan kelemahan serius dalam teori-teori Yunani tentang musik. Namun, dia juga memasukkan fakta bahwa kelemahan-kelemahan yang disajikan dalam buku-buku tersebut mungkin juga disebabkan oleh kualitas terjemahan terhadap karya-karya Yunani yang buruk.
Selain karya musik Yunani, al-Farabi juga mengeksplorasi sumber-sumber Islam, khususnya dari Khalil bin Ahmed, al-Kindi, dan Ishaq Mawseli. Beliau melakukan inovasi metodologi dan pendekatan logis dalam karya-karyanya. Oleh karena itu, dalam 'al-Musiqa al-Kabir' -nya, al-Farabi mengembangkan teori musik secara selektif sehubungan dengan pendekatannya terhadap karya-karya musik masa-masa sebelumnya dan mengelaborasinya berdasarkan gaya musik Timur Tengah.
Pernah suatu waktu ketika al-Farabi menghadiri sebuah pertunjukkan musik di Damaskus, dia mendengar orang yang memainkan alat musik di panggung keliru sehingga al-Farabi berdiri dan meminta ijin untuk memainkan alat musik tersebut. Ketika dia memainkan alat musiknya, suasana panggung pun seketika berubah. Dia berhasil menciptakan musik yang mampu mengaduk emosi penonton yang hadir sehingga mereka yang mendengarkan permainan musik al-Farabi terkadang merasa gembira, menangis, dan bahkan tertidur.
Filsafat dan Agama
Selain ahli di bidang musik, al-Farabi juga merupakan seorang yang ahli bahasa, logika, dan metafisika, tidak heran jika al-Farabi dikenal sebagai guru kedua (al-Muallimu at-Tsāni) setelah Aristoteles, karena al-Farabi lah yang membuat struktur dan sistematika filsafat Islam.
Sehubungan dengan agama dan filsafat, menurut al-Farabi, yang pertama kali ada adalah filsafat bukan agama, sebab agama merupakan bentuk sederhana dari filsafat.
Agama hanya memberikan pandangan umum tentang kepercayaan dan moralitas, sementara filsafat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang realitas dan apa yang kita percayai, misalnya Tuhan.
Umumnya kepercayaan kita tentang keberadaan Tuhan semata-mata didasarkan pada keyakinan pribadi atau kelompok, sedangkan dalam filsafat, keberadaan Tuhan dapat dijustifikasi dan dianalisis melalui pemikiran kritis dan argumentasi logis.
Al-Farabi percaya bahwa filsafat dapat memberikan kita landasan rasional atas keimanan kita dengan cara mengujinya secara kritis terus menerus. Lebih jauh, menurut al-Farabi agama dan filsafat adalah kebenaran yang sama. Perbedaannya adalah, jika kebenaran agama sifatnya tidak argumentatif, maka kebenaran filsafat adalah kebenaran yang argumentatif.
Hal yang dapat saya pahami dari pendapat al-Farabi di atas adalah bahwa kebenaran agama umumnya tidak didukung oleh argumentasi atau bukti konkret, di sisi lain kebenaran filsafat jelas didasarkan pada argumentasi dan bukti yang dapat dianalisis secara deduktif-logis.
Konsep Ketuhanan
Menurut al-Farabi dalam kitab 'Ta'liqat' -nya, pengetahuan kita tentang al-Mawjud al-Awwal (Tuhan) adalah ide bawahan (awwaliyah), dan bukan sesuatu yang diketahui lewat proses belajar.
Ketika berbicara tentang Tuhan, al-Farabi selalu menghindari kata 'Allah', pun dia juga tidak menggunakan kata Wajib al-Wujud yang biasa digunakan oleh Ibn Sina dan para teolog Asy'ariyah pada umumnya, sebaliknya dia menggunakan kata al-Mawjud al-Awwal.
Dalam kitabnya 'Mabiidi' ara' ahl al-Madina al-Fadila' dan 'as-Siyasa al-Madaniyya', al-Farabi menjelaskan garis-garis besar konsep emanasi Neo-Platonisme dan teori gerak Aristotelian yang dipadukan dengan konsep ketuhanan Islam mengenai sebab dari segala sebab di mana segala keberadaan berawal dan beremanasi.
Sebagai filsuf peripatetik awal, al-Farabi mengembangkan konsep sifat keberadaan Tuhan menjadi dua, yaitu: Wajib al-Wujud li Ghairihi dan Wajib al-Wujud li Dzatihi. Konsep Wajib al-Wujud li Ghairihi menyatakan bahwa Tuhan adalah sesuatu yang harus ada untuk menyebabkan keberadaan yang lain, tetapi tidak bergantung pada wujud lain untuk keberadaan-Nya.
Contoh sederhana dari konsep Wajib al-Wujud li Ghairihi ini adalah seperti pantulan cahaya lampu. Cahaya lampu adalah sumber cahaya bagi benda-benda di sekitarnya. Tanpa cahaya lampu, benda-benda di sekitarnya tidak akan bercahaya. Namun begitu keberadaan cahaya lampu tidak bergantung pada benda-benda atau cahaya lain di sekitarnya. Singkatnya Tuhan adalah sumber eksistensi yang independen, namun segala sesuatu yang ada bergantung pada-Nya demi keberadaan mereka sendiri.
Sedangkan Wajib al-Wujud li Dzatihi menyatakan bahwa Tuhan adalah eksistensi yang nyata dengan sendirinya, artinya keberadaan-Nya adalah keharusan dan tidak bergantung pada apapun. Sebagai contoh, cahaya lampu. Cahaya lampu adalah wujud yang nyata dengan sendirinya, karena keberadaannya tidak bergantung pada sumber cahaya lain. Dengan kata lain, cahaya tersebut ada karena dirinya sendiri. Demikian pula, dalam konsep Wajib al-Wujud li Dzatihi, Tuhan dipahami sebagai wujud yang ada karena sifat-Nya sendiri, tidak bergantung pada apapun, dan menjadi penyebab pertama dari segala sesuatu.
Dalam terminologi yang sederhana, Wajib al-Wujud li Ghairihi dan Wajib al-Wujud li Dzatihi sama-sama meniscayakan kekekalan (al-Qadim) atau keabadian alam semesta, sebab alam semesta merupakan akibat logis dari keberadaan Tuhan, sama seperti cahaya di sekitar lampu yang merupakan akibat spontan dari cahaya lampu itu sendiri. Dengan kata lain, selama Tuhan ada maka alam semesta akan terus ada. Namun meskipun teori ini tampak menarik, sayangnya al-Farabi tidak membuat penjelasan lebih jauh dan detail tentang keabadian alam ini kecuali di dalam karya-karya kecilnya.
Penulis