Loading...

Beberapa pekan yang lalu, salah satu grub WhatsApp saya diramaikan oleh perdebatan yang dipicu oleh salah satu teman saya yang mengatakan bahwa argumen apapun tentang Tuhan selalu dapat dibantah. Ia seolah menantang siapa saja untuk memberikan argumen terbaiknya dalam menjustifikasi kebenaran keyakinannya kepada Tuhan.

Banyaknya teman-teman yang berusaha memberikan argumen tentang keberadaan Tuhan sebanding dengan banyaknya teman-teman yang menganggap bahwa Tuhan itu non est ulla (tidak ada) yang konon hanyalah ciptaan manusia belaka. Perdebatan pun tak terhentikan. Tentu tak semua orang menikmati perdebatan nyentrik itu. Tak sedikit dari member grup yang mengungkapan kebosanannya dan ketidaknyamanan mereka pada topik sensitif semacam itu.

Tidak begitu jelas bagaimana perdebatan ketuhanan ini bermula. Yang jelas, tampaknya diskursus semacam ini masih menjadi topik yang seksi, terutama di kalangan mahasiswa. Di satu sisi, membicarakan hal-hal semacam ini adalah cara kita untuk setidaknya berpikir kritis dan melakukan reflektif radikal pada apa yang kita imani, agar mencegah kita dari cara beragama yang buta.

Namun, di sisi lain, berusaha memberikan argumentasi logis tentang eksistensi Tuhan tetap saja memiliki celah - bahkan berisiko merusak keimanan seseorang. Itulah mengapa, alih-alih membenarkan keimanan lewat argumentasi rasional, justru ia malah menghancurkan keimanan. Atas dasar inilah, menarik bagi saya untuk memberikan komentar tentang fenomena ini. Dalam tulisan ini, saya ingin memberikan kilah bahwa Tuhan cukup ditaruh di ruang iman saja tanpa perlu mencoba dalil logis atas eksistensinya dengan meminjam gagasan filsuf empirisme, Jhon Locke.

Sekilas tentang Pemikiran Jhon Locke

Empirisme atau ἐμπειρία (empeiria) dalam filsafat merupakan suatu teori epistemologis di mana suatu pengetahuan dianggap bersumber dari pengalaman inderawi. Salah satu tokoh yang mengawali premis Empirisme ini adalah Jhon Locke.

Dia mengusulkan bahwa satu-satunya pengetahuan yang dapat dimiliki manusia adalah aposteriori yaitu, berdasarkan pengalaman inderawi. Dari pandangannya kita biasa mengenal teori "tabula rasa". Gagasan tabula rasa Locke mengatakan bahwa manusia terlahir tanpa pengetahuan atau ide bawaan. Seperti kertas kosong yang siap diisi oleh apapun.

Mari bayangkan, jika kita tidak pernah melihat pesawat, atau teknologi apapun, bisakah kita membayangkan sesuatu yang sama sekali tak pernah kita ketahui? Tentu tidak. Dengan demikian pengetahuan tidak bisa datang tanpa melalui proses penginderaan, itulah mengapa Jhon Locke mengatakan bahwa pikiran kita tidak bisa menciptakan ide tentang sesuatu dengan sendirinya. Pikiran kita hanya bisa meramu apa yang terakumulasi dari pengetahuan yang diperoleh melalui data-data inderawi.

Pandangan ini sepertinya tidak asing bagi kita. Kita sering mendengar "kita dibentuk oleh lingkungan", "kita adalah apa yang kita alami", "kita adalah produk zaman". Semuanya sejalan dengan gagasan Locke. Locke berargumen bahwa serumit apapun pikiran manusia, itu tidak lain hanyalah akumulasi dari pengalaman inderawi. Dengan begitu, jika kita menggunakan premis ini maka kita bisa mengatakan bahwa ide atau konsepsi apapun tentang Tuhan tidak lain adalah akumulasi pengetauan inderawi kita.

Presepsi Jhon Locke tentang Tuhan

Sejak pertama saya mengenal gagasan Locke tentang tabula rasa, saya merasa bahwa gagasan ini cukup untuk menyadarkan kita atas batasan-batasan pengetahuan yang kita miliki. Namun begitu, ini bukan berarti segala sesuatu harus dibuktikan secara langsung oleh indera.

Kita juga perlu mengakui bahwa kenyataan tidak akan lebih kecil dari pengetahuan manusia. Mencoba memaksakan bahwa “segala sesuatu harus dapat diinderai” sama seperti memaksakan objek yang besar masuk kedalam wadah yang kecil. Namun begitu, bukan berarti saya setuju dengan adanya entitas-entitas gaib seperti ilmu hitam, jin, dewa, dsb. Bahkan meskipun kita mengatakan hakikat alam adalah materi pun juga masih dapat diragukan.

Bagaimana ide yang berasal dari keterbatasan pengalaman dunia memahami kenyataan di luar dunia tanpa mengalaminya? Adalah mungkin mengatakan bahwa seorang nabi mempunyai pengalaman yang tak teralami oleh kebanyakan manusia. Namun, itu tidak seistimewa yang kita kira. Sebab sejauh dia (sang nabi) mengalaminya maka pengetahuan itu menjadi mungkin.

Coba bayangkan kita adalah penduduk pulau terpencil. Kita tinggal di pulau yang terisolasi dari kota yang tak pernah dilintasi pesawat apapun. Namun suatu hari, entah bagaimana, kita terdampar di sebuah kota yang, secara teknologi, maju. Di tempat asing itu, kita mengetahui adanya pesawat. Karena interaksi yang begitu lama di tempat itu, kita akhirnya mengetahui konsep tentang pesawat.

Suatu waktu, kita kembali lagi ke pulau tempat kita berasal. Sesampainya di sana, bisakah kita mengatakan eksistensi pesawat kepada orang-orang desa? Kita mungkin bisa mengatakannya, lalu apakah mereka mengetahuinya? Tentu tidak. Lalu apa yang bisa kita lakukan?

Mungkin kita akan mengatakan kepada orang di desa itu bahwa ada burung besar yang bisa ditunggangi oleh banyak orang. Namun jelas pernyataan ini kontroversial. Seorang yang menolaknya menganggap kita berbohong dan mengatakan bahwa mustahil ada burung besar yang bisa ditunggangi. Ketika mereka memaksa kita membuktikannya, pun kita tidak memiliki bukti apapun kecuali kesaksian. Beberapa orang mungkin mempercayai kita dan membenarkan kepercayaan itu sesuai dengan akumulasi pengalamannya.

Pada akhirnya, mereka berdebat tentang kebenaran atas kesaksian kita. Keduanya sama sama menggandalkan logika yang terbangun berdasarkan akumulasi pengetahuan mereka di pulau tersebut. Namun sayangnya, mereka sama sekali tidak memperdebatkan pesawat - melainkan burung terbang yang bisa dikendarai manusia. Bahkan sekalipun mereka menciptakan ilmu yang membenarkan keyakinan mereka masing-masing sebagaimana teologi, keduanya tidak membicarakan pesawat kecuali hanya refleksi atas ide kompleks dari akumulasi pengetahuan atas pengalamannya. Dengan kata lain, mereka hanya berdebat atas dogmanya masing-masing. Mereka tidak akan mencapai kebenaran kecuali mereka pergi ke tempat yang memiliki pesawat.

Dengan analogi tersebut, jika kita kembali pada konsepsi mengenai Tuhan, informasi tentang Tuhan yang diajarkan oleh para nabi hanyalah mungkin bagi kita untuk tidak memahaminya sama sekali. Sebab ajaran tentang Tuhan, ditempatkan melampaui dunia. Sementara pengetahuan kita terbatas, dan terkungkung dalam keterbataan inderawi dalam memahami dunia. Maka pengetahuan apapun yang kita hasilkan tentang Tuhan tidak mungkin dapat menjangkau-Nya.

Bahkan sekalipun akal bekerja keras dalam merumuskan logika untuk menjelaskan keberadaan Tuhan, pada dasarnya ia tidak menjelaskan apapun tentang Tuhan. Sebab logika dalam premis tabula rasa, bagi saya patuh pada prinsip-prinsip yang ada dalam dunia berdasarkan keterbatasan pengalaman manusia tentang-Nya, sementara Tuhan melampaui dunia itu. Maka melogikakan Tuhan menjadi sesuatu yang musykil. Usaha apapun yang kita lakukan, tidak akan membuktikan apapun tentang-Nya.

Oleh karena itu, argumen apapun tentang Tuhan hanya akan berakhir pada wilayah keimanan semata. Mungkin seseorang mengatakan Tuhan adalah awal dari waktu, namun itu hanyalah cara mereka menghasilkan ide kompleks atas pengetahuan “penciptaan” dan “waktu”. Maka mereka menjawab sebab segala yang ada pasti ada yang meng-"ada" kan (creatio ex nihilo), apakah hal itu berlaku di luar dunia? Mereka mungkin menjawabnya “iya”, namun bagaimana mereka bisa tahu bahwa di luar dunia premis tersebut berlaku? Lagi-lagi mereka hanya mempercayainya.

Apa yang Harus Dilakukan?

Apakah Tuhan tidak logis? Bagi saya dengan tegas mengatakan “Iya” dan itu bukanlah hal yang salah, sebab logika dalam konsep tabula rasa Locke bagi saya patuh dengan prinsip ke-duniaan yang dibentuk dari keterbatasan manusia dalam mengambil pola-pola dunia, dan setidaknya ia hanya digunakan untuk menilai ketepatan proposisi, namun tidak untuk mengungkapkan kenyataan.

Sebagai kenyataan Tuhan mungkin ada, namun konsepsi pengetahuan kita atas-Nya tidak mungkin dapat diketahui, maka dari itu jawaban atas Tuhan hanya dapat diterima melalui iman saja. Dan memaksa kebenaran Tuhan dengan argumentasi akal kita yang terbatas sudah tentu tidak akan valid.

Bahkan seseorang yang menolak keberadaan-Nya bagi saya juga tidak membuktikan apapun, kecuali membenarkan keimanannya terhadap ketidak ber-“ada”-an Tuhan. Karena sekalipun kita tidak dapat memberikan argumen terhadap Tuhan bukan berarti itu adalah alasan bahwa Tuhan tidak ada. Ketidakcukupan bukti memang pasti terjadi, sebab akal tidak akan mungkin mengetahuinya. Hal ini kurang lebih pernah saya jelaskan pada salah satu artikel saya yang berjudul "Sebuah Kritik: Memperdebatkan Kebenaran Agama Sebagai Omong Kosong".     

Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa kebenaran Tuhan itu salah atau mengingkari pernyataan yang tertulis dalam kitab suci tentang ide ketuhanan. Namun, jelas konsepsi tersebut masih terbuka atas berbagai macam penafsiran, sekalipun penafsiran tersebut juga dihasilkan atas akumulasi pengalanan dari dunianya.

Dengan kata lain, tidak ada parameter atas kebenarannya kecuali parameter keimanan. Mungkin saja apa yg kita bayangkan tentang "Maha Baik" sebagai kenyataanya sesuai dengan bagaimana kita mamahami kebaikan, atau mungkin saja sama sekali berbeda, atau mungkin sesuatu yang tidak terpikirkan dan tidak terbayangkan.

Ketidakmampuan kita dalam menjelaskan atau mengargumentasikan eksistensi Tuhan bukan berarti Dia mitos atau tidak ada sama sekali, ketidakmampun itu adalah alasan mengapa kita hanya cukup mempercayainya saja, baik melalui analogi atau pensifatan yang tidak mutlak kepada-Nya. Sebab, bagaimanapun pengetahuan kita tentang-Nya bukanlah pengetahuan yang mungkin.

Dengan demikian, alih-alih berbicara terhadap hal-hal metafisik secara spekulatif, saya justru merekomendasikan kita untuk terlebih dahulu memikirkan hal-hal epistemologis-tentang mengapa manusia memikirkan hal-hal yang  mungkin ada, atau sejauh mana sebuah pengetahuan itu bersifat mungkin.

Lebih baru Lebih lama