Loading...

Dengan diterbitkannya aturan tentang pencegahan kekerasan seksual, seperti Undang-Undang No. 12/2022 (UU TPKS), ini sudah menjadi kemenangan kecil bagi para pejuang kemanusiaan dalam hal pencegahan kekerasan seksual di Indonesia, terutama di ranah pendidikan perguruan tinggi yang menurut data KOMNAS Perempuan tahun 2015-2021 menempati urutan pertama dalam tingkat kekerasan seksual. Ini tampaknya juga menjadi landasan dan motivasi bagi MENDIKBUD untuk mengeluarkan PERMENDIKBUD No. 30/2021 (PERMEN PPKS) dengan purpose (tujuan) yang sama.

Melalui regulasi yang dikeluarkan oleh MENDIKBUD di atas, ia mendorong agar seluruh pihak (civitas academica) perguruan tinggi di Indonesia untuk membuat Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (SATGAS PPKS) agar pengaplikasian regulasi ini bisa diterapkan secara maksimal. Belakangan, MENAG tampaknya juga tak mau kalah dengan mengeluarkan aturan serupa sebagai penguatnya melalui PMA No. 73 Tahun 2022 (PMA PPKS) belum lama ini.

Tentu saja melegakan melihat berbagai aturan yang pro-korban ini mulai dikeluarkan. Ini bukti bahwa banyak dari kita, terutama pemerintah, yang menganggap kekerasan seksual ini sebagai hal yang sangat urgent (penting) dan perlu penanganan khusus demi terciptanya ruang aman bagi masyarakat, terutama mahasiswa/i. Bukankah seharusnya ini menjadi titik terang terciptanya ruang aman di kampus bagi mahasiswa, terutama bagi para korban yang sekarang masih terdiam?

Ya, logika yang sehat harusnya seperti itu. Namun sayangnya, aturan hanya menjadi sebatas cuitan di atas kertas saja tanpa pengaplikasian yang tepat. Dengan kata lain, regulasi-regulasi di atas tak akan bisa dikatakan berhasil 100% jika eksekutornya tidak diadakan. Sebab, penanganan terhadap tindak "kriminal" kekerasan seksual sangatlah berbeda dengan penanganan kriminalitas lainnya. Sekali lagi, ia perlu penanganan khusus!

Beberapa hal yang membuat tindak kekerasan seksual berbeda dengan kasus kriminal lainnya adalah: sulitnya bukti, terutama bukti fisik. Ini berbeda misalnya, dengan tindak kriminal pembunuhan ataupun pencurian yang dapat di telusuri dengan bukti-bukti fisik. Di sisi lain, kekerasan seksual bukan hanya berdampak pada fisik, namun juga psikis. Itulah mengapa kita membutuhkan satuan khusus ini dalam penanganannya. Tentu saja para eksekutor ini tidak serta merta ditunjuk begitu saja, sebab menurut PERMENDIKBUD, para eksekutor ini akan dilatih secara khusus terlebih dahulu agar dapat bergerak dengan semestinya.

Lebih jauh, meskipun payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual sudah dibuat, namun hal ini masih belum terealisasikan secara total di banyak perguruan tinggi karena beberapa alasan remeh-temeh seperti "menjaga nama baik kampus", politik, dan bahkan egoisme pihak tertentu yang memiliki kepentingan dan berambisi untuk memonopoli tugas mulia ini demi menaikkan citra kelompok mereka sendiri.

Banyak dari kita yang masih buta melihat bahwa hal ini bukan tentang nama baik, politik, ataupun gendong-gendongan kepentingan. Ini seharusnya menjadi tugas bersama, demi menciptakan ruang aman bagi teman, guru/dosen, dan adik-adik kita. Padahal regulasi ini (PERMENDIKBUD) memandatkan bahwa setiap perguruan tinggi harus sudah memiliki Satuan Tugasnya paling lama 1 tahun sejak peraturan ini dikeluarkan.

Hal ini sangatlah disayangkan jika dilihat dari dua sisi yang sangat penting: Pertama, dari sisi negara-hukum. Abainya kampus dan mahasiswa dalam penerapan aturan tersebut sebagai bentuk ketidaktaatan perguruan tinggi terhadap peraturan yang ada. Dan kedua, dari sisi kemanusiaan, yaitu membiarkan para korban tanpa pengadvokasian yang jelas dan tanpa mendapatkan penanganan khusus dari tempat mereka belajar dan dijamin hak keamanan dan kenyamanannya.

Terlepas dari itu, data-data dari KOMNAS perempuan yang sudah saya sebutkan di awal itu hanyalah data-data kecil saja. Itu belum menggambarkan data secara keseluruhan yang kemungkinan besar jauh lebih tinggi lagi mengingat masih banyaknya korban yang tak berani bersuara. Faktanya, kebanyakan korban pelecehan seksual tidak berani menyuarakan apa yang mereka alami. Tentu ini tidak terlepas dari 2 faktor: Pertama, Budaya yang menganggap kekerasan seksual sebagai aib. Dan kedua, Belum adanya SATGAS PPKS yang dapat melindungi dan mengadvokasi mereka.

Dampak dari tidak ditegakkannya secara utuh regulasi-regulasi tersebut membuat para korban makin terserang mentalnya. Tidak sedikit dari mereka yang ingin melaporkan atau menceritakan masalah mereka kepada teman atau keluarganya namun memilih diam karena takut dihantui oleh stigmatisasi masyarakat yang akan mereka dapatkan. Alhasil para predator seksual yang bertopeng "orang-orang terdidik itu" menjadi makin eksis, berani, dan tidak tahu diri dalam beraksi.

Sekarang, mari kita berandai: Jika kalian berada di posisi para korban tersebut, apa yang kalian rasakan? Tentu saja kalian tidak ingin mengalami hal buruk tersebut.

Maka dari itu Beberapa aktivis gender merasakan kekecewaan terhadap perguruan tinggi yang masih belum mengindahkan aturan-aturan tersebut. Padahal, disahkannya aturan-aturan tersebut sebenarnya akan menjadi kemenangan kecil menuju jalan bebas bagi para penyintas dan siapapun dari kekerasan seksual. Maka dari itu untuk menuju jalan perguruan tinggi yang bebas dari kekerasan seksual, dibutuhkan suatu gerakan kemanusiaan untuk mendorong pihak berwenang di kampus-kampus Indonesia untuk segera mengesahkan atau membentuk SATGAS PPKS sebagai eksekutor khusus dalam penegakan regulasi yang sudah ada. Karena bagaimanapun, tindak kriminal kekerasan seksual sama dengan tindak kriminal pembunuhan: sama-sama jauh dari kemanusiaan.

Harapan saya, semoga dalam waktu dekat ini, aturan-aturan di atas bisa diterapkan dengan baik. Karena dengan diterapkannya aturan-aturan di atas, mulai dari PERMEN PPKS, PMA PPKS, dan UU TPKS secara totalitas, kita dapat menciptakan ruang aman bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa peduli apakah dia laki-laki maupun perempuan, khususnya diranah perguruan tinggi. Mari bersama-sama berantas kekerasan seksual di manapun dan ciptakan ruang aman bagi diri sendiri, keluarga, teman, maupun orang-orang terdekat yang kita cintai agar hidup aman dan damai tanpa kekerasan seksual.


Referensi
Lebih baru Lebih lama