Loading...

Selama tiga minggu ini, baik perempuan maupun laki-laki di Iran mempertaruhkan banyak hal untuk menentang pembunuhan yang dilakukan oleh rezim muslim atas Mahsa Amini. Mahsa Amini adalah seorang perempuan muda etnis Kurdi. Dia ditangkap dan dipukuli sampai mati oleh apa yang disebut dengan 'polisi moral' di negara itu hanya karena tidak mengenakan hijabnya 'dengan benar'.

Sayangnya, dia bukan satu-satunya perempuan yang harus membayar 'pembangkangan'-nya dengan darah akibat struktur mencekik yang diberlakukan oleh rezim Islam itu.

Selama tidak ada yang berubah dari aturan kolot semacam itu, saya kira dia tidak akan menjadi korban yang terakhir. Sebab, jika fundamentalisme agama masih terus terjadi, perempuan tidak akan pernah benar-benar merdeka; perempuan akan terus menjadi warga negara kelas dua, dan dipaksa untuk mematuhi aturan-aturan misoginis laki-laki sholeh ultra-religius.

Namun, bahkan setelah kematian Amini dan di tengah hiruk-pikuknya aksi solidaritas di seluruh negeri, masih banyak yang mengklaim bahwa agama tidak ada kaitannya dengan ini. Ini jelas bahwa marginalisasi perempuan dalam agama masih menjadi sorotan kecil. Mengapa kita menentang ketidaksetaraan dan diskriminasi gender yang terjadi di bidang-bidang lain, kecuali agama?

Masa Aksi di Iran Sebagian Besar Adalah Rezim Anti-Islam

Jilbab tidak selalu menjadi bagian dari budaya Iran. Dan Iran juga tidak selalu menjadi negara muslim. Sama seperti di beberapa bagian dunia lainnya, masyarakat Iran dipaksa untuk menekan budaya dan kepercayaan Persia mereka demi Islam setelah penaklukan pasukan muslim berabad-abad silam

Ketika Revolusi Islam pada tahun 1979 terjadi, tepatnya saat monarki sekuler Shah Mohammad Reza Pahlavi digantikan oleh teokrasi yang dipimpin oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini, Iran perlahan jatuh ke dalam kegilaan beragama. Dan sejak saat itulah perempuan-perempuan Iran dipaksa untuk mengganti gaun berlengan pendek dan rok mini mereka dengan hijab dan pakaian yang lebih 'sederhana'.

Meskipun aksi protes yang saat ini berlangsung di Iran dipicu oleh kematian tragis Mahsa Amini dan kode kesopanan yang dialamatkan negara kepada semua perempuan, namun sebenarnya ini lebih dari sekadar masalah hijab itu sendiri dan juga bukan karena ‘perekonomian Iran yang sakit.’ Slogan pengunjuk rasa di Iran sebagian besar mengandung semangat yang anti kepada Republik Islam. Mereka menuntut keadilan dan kebebasan dari syariat Islam yang diberlakukan oleh segelintir pria tua berjanggut yang fanatik agama di negara mereka.

Ini jelas merupakan perjuangan melawan pelembagaan agama dan untuk memisahkan agama dan negara. Meskipun banyak yang menganggap bahwa negara seperti Iran hari ini masih negara muslim, faktanya itu tidak lagi terjadi. Menurut survei anonim yang dilakukan di Iran oleh sebuah yayasan penelitian GAMAA, lebih dari 90% responden mengatakan bahwa mereka dibesarkan dalam keluarga yang beriman dan beragama, namun sekitar setengahnya menganggap bahwa mereka telah menjadi non-religius (ateis). Sementara mereka yang mengaku sebagai muslim sekarang hanya sedikit di atas 1/3 dari populasi.

Sebagian besar orang yang disurvei–terutama perempuan, generasi muda, dan orang yang berpendidikan tinggi–juga secara eksplisit menentang kewajiban berjilbab dan gagasan pemerintahan Islam.

Sebagai seorang perempuan muda yang tumbuh di negara yang sangat religius dan sekarang menjadi seorang ateis, saya tidak terkejut sama sekali. Tidak sedikitpun. Sebaliknya, justru saya senang, karena ini membuktikan bahwa agama memang memainkan peran besar dalam melawan perempuan dan semua orang yang berani memprotes rezim muslim. Kalau pun ada yang mengatakan tidak, lalu mengapa banyak orang yang berpaling dari agama jika agama tidak ada hubungannya sama sekali dengan situasinya?

Ya tentu saja, bukan hanya agama yang harus disalahkan atas apa yang terjadi di Iran atau negara lain yang sangat religius. Faktor lain seperti keserakahan, korupsi, dan hasrat kotor supremasi laki-laki pun juga patut disalahkan. Agama hanyalah alat dan dalih yang digunakan untuk mengontrol masyarakat — khususnya perempuan — untuk kepentingan segelintir laki-laki.

Agama Arus Utama Masih Memperlakukan Perempuan Seperti Warga Negara Kelas Dua

Inferioritas mental, moral, dan spiritual perempuan di hampir semua agama besar di dunia yang terjadi saat ini tidak terlalu mengejutkan mengingat tidak satupun dari agama-agama besar itu didirikan oleh perempuan tetapi oleh laki-laki.

Itu sebabnya meskipun Alkitab dan Al-Quran mengatakan bahwa Tuhan tidak memiliki jenis kelamin atau tubuh, Tuhan selalu disebut sebagai 'Dia (laki-laki)' dan dipersonifikasikan sebagai laki-laki. Itu sebabnya laki-laki diyakini memiliki otoritas spiritual yang lebih tinggi bagi perempuan, dan semua wali dan nabi di planet ini adalah laki-laki. Itulah mengapa selama berabad-abad, otoritas agama laki-laki berusaha keras untuk mengecualikan perempuan dari struktur kepemimpinan agama mereka sehingga perempuan tidak bisa menjadi imam, pendeta, menteri, atau rabi.

Hari ini, itu masih terjadi!

Agama terus memperlakukan perempuan seperti warga negara kelas dua. Meskipun perempuan merupakan bagian besar dari jamaah di banyak lembaga keagamaan, mereka jarang memegang posisi kekuasaan kelembagaan agama. Parahnya lagi, perempuan terus dituntut untuk mematuhi apa yang diharapkan laki-laki seperti menundukkan pandangannya, melembutkan suara, menjadi sederhana, patuh, dan menjadi makhluk yang menyenangkan.

Namun anehnya, masih banyak orang yang lucu beralibi bahwa agama mereka tidak patriarki atau menindas, sementara mereka menutup mata terhadap seksisme dan kebencian terhadap perempuan yang secara eksplisit dijalin ke dalam dogma dan tradisi semua agama arus utama;

Di Iran, yang secara ketat menegakkan hukum syariah — sistem hukum Islam yang berasal dari Al-Quran — perempuan (dari yang muda sampai tua) dipaksa untuk menutup auratnya. Mereka juga dipisahkan secara paksa dari laki-laki, menerima hukuman yang lebih keras, ditolak dalam lingkup politik dan ekonomi, dan dianggap lebih rendah dari laki-laki dalam keluarga dan warisan.

Di Afghanistan, yang baru-baru ini kembali ke hukum Syariah pasca kudeta, perempuan dipaksa untuk berhijab, tinggal di rumah, dan dianiaya dalam hukum dan hampir setiap aspek kehidupan mereka.

Di Indonesia — negara yang bermayoritas muslim terbesar di dunia — perempuan dan anak perempuan menghadapi tuntutan hukum dan sosial yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk menutup diri mereka juga.

Di Polandia, banyak perempuan meninggal karena hal yang seharusnya dapat dicegah: larangan aborsi yang diajukan oleh pemerintah Kristen Katolik di negara itu.

Hal-hal di atas hanya beberapa dari banyaknya contoh lain yang terjadi di seluruh dunia.

Selain itu, bukti empiris tentang masalah ini juga cukup mudah. Penelitian demi penelitian — seperti Religion, Religiosity and Patriarchal Gender Beliefs: Understanding The Australian Experience atau The Attitudes Toward Gender Roles in Conservative Christian Contexts Scale: A Psychometric Assessment — menemukan bahwa fundamentalisme agama dihubungkan dengan kepercayaan gender yang tradisional dan budaya patriarki. Keduanya lah yang berkontribusi pada ketidaksetaraan gender, terkikisnya hak-hak perempuan, dan misogini.

Kita Tidak Bisa Terus Berjalan Di Sekitar Topik Agama

Namun terlepas dari semua itu, agama terus dipandang sebagai sesuatu yang sakral, dan kita mendapati diri kita berjalan di seputar topik tersebut. Mereka yang berani menyatakan bahwa agama memainkan peran dalam menindas perempuan akan disingkirkan, dijauhi, dan dipermalukan karena berani angkat bicara — termasuk mereka yang pernah mengalami fundamentalisme agama secara langsung.

Misalnya, Nadia Murad, aktivis hak asasi manusia dan mantan budak seks ISIS, dilarang berbicara di sebuah acara sekolah di Kanada beberapa tahun lalu karena takut 'menyinggung' siswa Muslim. Hal yang sama juga terjadi pada aktivis Armin Navabi, Maryam Namazie, dan juga Zara Kay.

Bukan hanya perempuan saja. Kelompok LGBTQ serta orang murtad pun juga tidak pantas untuk dipinggirkan, dianiaya, dipenjara, atau dirajam sampai mati hanya karena ideologi buatan manusia yang usianya sudah berabad-abad itu.

Saya tegaskan: saya tidak akan pernah menghormati sistem kepercayaan yang menuntut perempuan harus sederhana, kepercayaan yang tidak mengizinkan perempuan untuk berada di posisi kepemimpinan tertentu, kepercayaan yang memisahkan perempuan dari laki-laki, kepercayaan yang menganggap haid sebagai 'najis', kepercayaan yang memperlakukan perempuan seperti mainan pria, budak, dan mesin bayi yang harus tutup mulut dan mematuhi semua omong kosong gila yang muncul dari mulut pria religius.

Tidak! Itu tidak akan pernah terjadi.

Saya menolak diam dan menolak menjadi toleran terhadap intoleransi agama. Sebab kehidupan, martabat, dan kebebasan orang untuk mencintai siapa pun yang mereka ingin cintai dan menjadi siapa pun yang mereka inginkan harus terus diutamakan daripada perasaan orang lain. Maka dari itu, perempuan dan anak perempuan di Iran layak untuk hidup bebas dari paradigma patriarki: bebas dari tubuh dan pikiran mereka yang terus-menerus dikendalikan dan diawasi oleh laki-laki, dan bebas dari paksaan untuk mengikuti agama tertentu. Begitu juga perempuan di tempat lain di dunia.

Selama agama arus utama tidak menghormati dan menafikkan lebih dari separuh populasi dunia ini – perempuan dan kelompok LGBTQ+ – sambil mendukung aturan yang tidak sejalan dengan nilai keadilan sosial dan kesetaraan gender abad ke-21, maka agama-agama itu tidak boleh kebal terhadap kritik.


Tulisan ini telah dialih-bahasakan oleh Redaksi Sophia Institute dari artikel asli yang berjudul "How Religion Continues To Be a Powerful Weapon of Misogyny"  atas izin penulis.

Lebih baru Lebih lama