Mempelajari Buddhisme, bukan sekadar mempelajari salah satu filsafat yang paling berpengaruh di dunia, namun juga salah satu agama terbesar di dunia yang mana telah mengguncang hidup banyak orang.
Filsafat ini lahir sekitar 600 SM di salah satu provinsi di India utara yang sekarang dikenal sebagai Bihar. Kata Buddha pada dasarnya adalah gelar yang bisa diterjemahkan sebagai “seorang yang mengalami kebangkitan sempurna” atau “seorang yang tercerahkan.” Nama asli Buddha adalah Siddhartha, yang memiliki arti “dia yang sudah mencapai tujuannya.” Sementara nama keluarga Siddhartha adalah Gautama.
Dia bukan berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja, karena ayahnya adalah seorang raja. Namun sayang, dengan semua privilege yang dia miliki, Siddharta justru merasa tidak bahagia. Padahal dia memiliki istri yang kecantikannya sangat dikenal saat itu. Mereka bahkan dikaruniai anak laki-laki yang bernama Rahula. Tetapi entah mengapa, kekayaan, kecerdasan, dan cinta yang dia dapatkan tidak bisa memuaskan dirinya dan menjawab teka-teki dunia yang terus menghantui pikirannya. Sampai akhirnya, kesedihan terus menindihnya dan merusak semua kebahagiaannya karena ketidakadilan dan kekejaman dunia tanpa perasaan yang sering dia temukan.
Dikisahkan suatu hari dia pergi melihat-lihat persawahan ayahnya. Dia melihat bagaimana para petani, baik yang muda maupun tua, harus bekerja di bawah teriknya sinar matahari. Dia melihat mereka membungkuk dan bekerja keras dengan wajah kotor dan penuh peluh. Sapi yang membajak pun juga bekerja keras dengan menyedihkan, meskipun tanpa imbalan sepeser pun. Semua yang dia lihat itu menyiksa batinnya. Realitas mengerikan itu membuatnya sangsi dan bertanya-tanya pada dunia dan dewa sampai akhirnya dia berkata: “Dunia ini dibangun di atas penderitaan, dan fondasinya juga diletakkan di dalam penderitaan. Kalau memang ada jalan, lalu di mana itu? Aku terikat di penjara bawah tanah dengan putus asa.”
Hidup Adalah Masalah
Salah satu pemahaman yang dia dapatkan dari hidup adalah bahwa hidup adalah suatu penderitaan. Orang kaya menderita karena hartanya, orang miskin menderita karena kemiskinannya, orang yang mengejar kenikmatan dunia menderita karena kenikmatan dunianya, orang yang tidak merasakan kenikmatan dunia menderita karena tidak pernah merasakannya. Meskipun begitu, bukan berarti semua penderitaan itu sama, beberapa penderitaan tentu lebih menyakitkan ketimbang penderitaan yang lain, namun pada dasarnya kita semua menderita.
Ada sebuah premis mengatakan bahwa kebahagian itu bersifat algoritmik, bisa diatur dan diperoleh, contohnya jika saya masuk ke universitas A maka saya akan bahagia, jika saya seperti B maka saya bahagia, jika saya menjadi seseorang seperti X maka saya akan bahagia. Premis inilah masalahnya, kebahagian bukanlah suatu persamaan yang dapat dipecahkan. Faktanya, "masalah" adalah ketetapan dikehidupan ini. Ketika Anda memecahkan masalah kesehatan dengan melakukan olahraga, Anda sebenarnya menciptakan masalah baru, seperti harus bangun lebih awal agar bisa ke tempat olahraga. Masalah tidak akan pernah berhenti, ia datang silih berganti atau bahkan meningkat.
Pecahkan!
Jadi, kata kuncinya di sini adalah “memecahkan”. Jika Anda berusaha menghindari masalah Anda atau merasa tidak punya masalah apapun, Anda akan membuat diri anda sengsara. Jika Anda merasa bahwa kalau Anda tidak dapat menyelesaikan masalah, maka Anda akan sengsara. Resep rahasianya ada pada kata “memecahkan masalah” dan bukan pada punya atau tidak punya masalah. Untuk menjadi bahagia, kita memerlukan sesuatu untuk dipecahkan, dengan demikian kebahagiaan merupakan suatu bentuk tindakan, bukan sesuatu yang diam-diam diberikan kepada kita.
Kebahagiaan merupakan proses kerja yang konstan dalam hidup, karena memecahkan masalah juga adalah proses kerja yang konstan. Solusi terhadap masalah kita hari ini adalah fondasi untuk masalah kita di esok hari, dan begitu seterusnya. Kebahagiaan yang sejati akan terwujud hanya jika Anda menemukan masalah, lalu menikmati proses pemecahannya.
Namun bagi banyak orang, hidup mungkin tidak sesederhana itu. Ini karena mereka menghadapi masalah dengan dua cara: Pertama, penyangkalan. Beberapa orang mengingkari kenyataan bahwa mereka memiliki masalah. Dan karena mereka menyangkal kenyataan itu, mereka harus secara konstan menipu atau mengalihkan diri mereka dari kenyataan hidup. Ini memang bisa membuat mereka nyaman dalam jangka pendek, namun ini justru menuntun mereka pada kehidupan yang rapuh, sekaligus pada pengekangan emosional.
Kedua, mentalitas korban. Beberapa orang memilih untuk meyakini bahwa tidak ada yang dapat mereka lakukan untuk menyelesaikan masalah mereka, bahkan ketika faktanya mereka mampu. Para korban ini memilih untuk menyalahkan orang lain atas masalah mereka atau menyalahkan situasi di luar diri mereka. Ini juga bisa membuat mereka merasa lebih baik untuk sementara waktu, namun ini akan menggiring mereka pada kehidupan yang penuh amarah, ketidakberdayaan dan keputusasaan.
Ironisnya adalah, semakin Anda bergantung pada hal-hal semu yang bisa membuat Anda merasa lebih baik, Anda akan semakin mencarinya. Inilah mengapa kita tidak punya cara lain selain percaya bahwa masalah kita akan selalu berulang dan tidak dapat dihindari: rumah yang Anda beli adalah rumah yang akan Anda perbaiki, pekerjaan idaman yang Anda miliki adalah pekerjaan yang akan membuat Anda stress. Artinya, apapun yang membuat kita nyaman, pada akhirnya juga akan membuat kita merasa buruk.
Referensi:
L. Adams Beck. Sejarah Filsafat Timur (2021). Terj. Ahmad Asnawi. Indoliterasi: Yogyakarta.
Mark Manson. Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat (2016). Terj. F. Wicakso. Penerbit Grasindo: Jakarta.
sumber gambar: Buddha Head Bust (www.pexels.com)
Penulis