Loading...

Sebelum berkawan dengan filsafat, saya adalah orang yang taat beribadah. Tak jarang saya juga mengisi khutbah-khutbah Jum’at. Shalat lima waktu tidak terlewat barang satu pun. Karena ini adalah kewajiban yang bersumber dari doktrinasi masa kecil, ada saja hal yang kurang berkenan jika saya tidak mengerjakan salah satu waktu shalat; hati rasanya gelisah dan ada perasaan tidak nyaman yang mengganjal diri. 

Semester 3 pun berlalu, di sini lah saat-saat penting di mana keimanan yang telah dipupuk sejak kecil itu mulai terkikis sedikit demi sedikit. Saya mulai mengenal beragam corak pemikiran filsafat. Ini juga menjadi saat di mana, untuk pertamakaliya, saya mencicipi buah pikiran Nietzsche. Dalam salah satu memonya, Nietzsche mengatakan: “Jika semua hal di dunia ini telah terjawab oleh sains maka agama tidak diperlukan lagi.”

Saya mencoba memenungkan ungkapan filsuf berkebangsaan German itu dengan baik. Mungkin dia ada benarnya. Ketika manusia tidak mampu menjawab sesuatu atau tidak mendapatkan apa yang diinginkan, manusia cenderung berlari ke hal-hal mistis: agama atau tuhan. Sebaliknya, jika manusia sudah mendapatkan jawaban yang dibutuhkan dan mendapatkan apa yang diinginkan, pada saat yang sama, tuhan pun ikut menghilang dan bahkan tidak dibutuhkan lagi. 

Contoh kecil seperti hujan. Dahulu, hujan dianggap sebagai salah satu aktivitas para dewa, dalam tradisi Yunani menyebutnya Zeus. Sama halnya, dalam masyarakat kita, hujan dipercayai turun karena kehendak tuhan. Bahkan tidak sedikit orang yang shalat dengan harapan agar hujan bisa turun. 

Hari ini, kepercayaan semacam itu pun runtuh dengan sendirinya berkat sains. Sains, tentu saja, bisa menjawab hal sederhana seperti itu dengan menepikan tuhan: bahwa hujan turun bukan karena kehendak tuhan atau para dewa, tapi karena proses penguapan dan sebagainya. Dengan berlandaskan penelitian saintifik pun, sains akhirnya bisa melakukan manipulasi cuaca, termasuk membuat hujan buatan. Tuhan pada akhirnya tidak lagi dibutuhkan.

Dari sini lah ibadah dan keimanan saya mulai terkikis. Namun anehnya, ketika ibadah saya berkurang dan saya mulai mempertanyakan aktivitas dan presensi tuhan di dunia, saya tetap merasa gelisah. Perasaan tidak nyaman yang tadi saya rasakan masih hadir di dalam diri saya.

Saya pun memberanikan diri untuk berbagi - menyampaikan kegelisahan yang saya alami, sampai suatu waktu salah satu senior saya mengatakan bahwa: “Rasa gelisah dan tidak nyaman itu muncul karena kamu berhenti melakukan hal yang biasa kamu lakukan. Shalat adalah hal yang biasa kamu lakukan. Untuk menghilangkan perasaan gelisah itu, kamu hanya perlu melakukan hal yang sebaliknya: Biasakan lah untuk tidak shalat, pasti perasaan gelisah itu hilang.”

Mendengar hal itu, saya pun tertarik untuk mencobanya. Saya memaksakan diri untuk melawan kebiasaan-kebiasaan lama, dan benar saja perasaan gelisah tadi pun akhirnya hilang.

The Will to Power

Nietzsche pernah mengatakan “jika tubuh ini hidup dan tidak mati, tubuh ini tetap harus memperlakukan tubuh-tubuh lain sama seperti ia memperlakukan tubuhnya sendiri. Tubuh itu sendiri tetap merupakan pembadanan dari kehendak untuk berkuasa, tubuh itu ingin tumbuh, menyebar, memegang, memenangkan dominasi bukan karena soal moralitas atau imoralitas, melainkan karena tubuh itu hidup, dan karena hidup itu sendiri adalah kehendak untuk berkuasa.”

Ini adalah hal kedua yang mendorong saya ke tahap eksistensial yang jauh lebih ekstrim. Setelah membaca ungkapan Nietzsche yang satu ini, saya mengaminkankannya. Hari ini, di sekeliling kita mulai terlihat banyak pemuka agama yang entah dari mana asalnya bermunculan.

Jika kita mengamati fenomena ini, kemunculan pemuka agama sempalan tersebut juga diikuti dengan kemunculan tuhan-tuhan baru. Dalam artian, mereka membawa narasi-narasi teologi dan tuhan mereka masing-masing. Semua pemuka agama punya versi tuhan mereka sendiri-sendiri; ada tuhan yang mudah marah, dan ada pula tuhan yang penyayang. Perbedaan dari cara pemuka agama ini memahami tuhannya disesuaikan dengan hasrat mereka. 

Dengan menelaah fenomena seperti itu kita bisa menyadari bahwa, secara tidak langsung, peran agama yang tadinya hanya terbatas pada persoalan moral berubah menjadi alat untuk memenuhi keinginan manusia (the will to power), dalam hal ini para pemuka agama, untuk berkuasa. 

Demi membenarkan tafsir atau pemahaman mereka, mereka bahkan rela menginjak, menghina, atau bahkan saling membunuh satu sama lain demi mendapatkan pengikut/jamaah. Mereka menjual narasi-narasi melankolis berupa agama kasih sayang dan cinta, padahal apa yang mereka lakukan hanya lah menjual kepalsuan dan kemunafikan demi mendapatkan jubah kekuasaan.

Dari sini lah pandangan saya tentang agama berubah. Agama yang saya lihat tidak lebih dari sekadar sorban kemunafikan dan penindasan. Perasaan saya terhadap keimanan pun seperti permainan yang didalangi oleh manusia itu sendiri (bukan tuhan).

Setelah keimanan saya runtuh, kehidupan indah yang selama ini saya jalani pun mulai hambar. Nihilisme Nietzsche adalah salah satu alasannya. Nilai hidup yang sejak kecil saya pegang pun pupus: tidak ada pahala bagi para penjilat, tidak ada balasan bagi pendosa, tidak ada surga bagi pengikut yang setia, dan tidak ada neraka bagi para bagundal. 

Nietzsche menawarkan saya cara pandang yang lebih realistis tentang dunia. Dia membantu saya memahami dunia seperti apa yang saat ini saya jalani. Alhasil, hidup saya pun berubah. Saya merasa sedang menjalani hidup yang kosong tanpa nilai dan tujuan. Bahkan tak jarang saya berpikir untuk mengakhiri hidup. (Sekali lagi ini bukan drama, tetapi memang inilah kenyataannya). 

Meskipun nihilisme ini membuat hidup saya layaknya cangkang kosong tak bertuah, namun justru nihilisme inilah yang membuat saya kuat dan tidak lagi bergantung pada hal-hal mistik yang dianggap mutlak seperti tuhan dan agama. 

Saya tidak ingin menggantungkan hidup saya yang berharga ini pada hal yang tidak jelas seperti tuhan dan agama. Inilah tujuan nihilisme Nietzsche: menjadikan manusia sebagai makhluk otentik yang sempurna (ubermansch). Makhluk yang berani melawan dunia. Makhluk yang tidak pengecut dan berdiri di atas kakinya sendiri.

Tidak terasa waktu pun berlalu begitu cepat. Beberapa tahun kemudian saya akhirnya lulus dari bangku perkuliahan. Saya perlahan menyadari sesuatu yang baru tentang hidup yang saya jalani. Mungkin adalah lebih baik apabila saya tidak mengetahui apa-apa. 

Saya merasa seperti Adam dalam Perjanjian Baru, yang melanggar titah tuhan dengan memakan 'buah pengetahuan'. Mungkin karena itulah mengapa tuhan dahulu melarang Adam dan Hawa untuk memakan buah pengetahuan; karena tuhan tahu bahwa mereka akan terjebak di dalam kubangan nihilisme hidup ini. 

Namun tampaknya mereka berdua tidak menghiraukan itu. Akhirnya, kita semua pun terjatuh. Bukan jatuh dalam dosa, namun jatuh ke dalam dunia yang nihil. Dan sekarang, saya dan kita semua merasakan betapa tandusnya dunia ini. Jika kisah itu memang nyata, mungkin tuhan sejak awal tidak ingin kita mengetahui apa-apa. Pengetahuan adalah beban besar yang tidak semua orang mau menanggungnya. Menjadi bodoh adalah cara manusia menghindar dari ketidaknyaman hidup.

Muhammad Rasyid Ridho Djupanda Mahasiswa UIN DK Palu.
Lebih baru Lebih lama