Loading...

Menurut Nietzsche manusia selalu mencari pegangan hidup berupa kepercayaan seperti agama, ideologi politik, dan bahkan sains. Artinya kebutuhan untuk percaya dijadikan pegangan supaya hidup manusia terjangkar pada sesuatu dan tidak terombang-ambing oleh gelombang ketidakpastian hidup. Olehnya tidak mengherankan jika suatu kebenaran, kebaikan, dan kebahagiaan dicari, ditemukan, dipegang, dan ditinggikan dengan status ilahi.

Menurut Nietzsche realitas pada dasarnya kacau, campur aduk, dan kemudian difixed-kan dalam “separuh kebenaran” dengan resiko mengamputasi separuh kebenaran lainnya. Meskipun begitu, Nietzsche tidak pernah secara hitam-putih menilai agama atau metafisika sebagai sesuatu yang salah sehingga harus dibuang. Memandang agama sebagai mitos dan dengan begitu artinya salah dan harus dibuang adalah cara pandang khas teoritikus kemajuan.

Padahal, bagi Nietzsche, dalam kenyataannya entah suatu kepercayaan itu bersifat mistis atau tidak, selama kepercayaan tersebut dibutuhkan itu tetap bernilai baik. Karena kebutuhan manusia memang untuk percaya, sehingga apapun pasti akan digapai manusia untuk bisa berpegangan pada sesuatu.

Di sinilah perbedaan Nietzsche dengan filsuf lain: Dia tidak mempermasalahkan benar-tidaknya suatu kepercayaan. Dia hanya mendiagnosis gejala suatu kepercayaan dan memberikan analisisnya terhadap kepercayaan tersebut. Maka adalah tepat bagi kita untuk mempertanyakan lagi: Benarkah manusia yang tercerahkan dengan ilmu pengetahuan betul-betul sudah terbebaskan dari segala bentuk kepercayaan?

Menurut Nietzsche jawabannya adalah tidak! Manusia yang tercerahkan oleh ilmu pengetahuan pun masih terbelenggu dan menjadi tahanan kepercayaannya sendiri. Yang membedakannya dengan agama hanyalah ragam kepercayaannya saja; jika sebelumnya kepercayaan masih berbentuk agama dan metafisika, kini kepercayaan itu berubah dalam bentuk kepercayaan kepada sains.

Kebutuhan untuk Percaya dalam Sains

Nietzsche memberikan kita contoh bagaimana ide fixe termanifestasi dalam sains. Manusia membutuhkan sains, atau membutuhkan pegangan ilmiah untuk hidup. Namun sayangnya, sains selalu mengangkangi realitas dengan kebenaran ilmiahnya. Bagi Nietzsche, sains yang mengangkangi realitas dengan memilah dan membelah realitas adalah sikap yang tidak sopan dan tidak tahu diri di depan realitas.

Nietzsche menganalogikannya seperti sebuah negara, dimana negara itu dikelilingi benteng yang tertutup kokoh dan pasukan penjaga yang dengan teliti memeriksa apa saja yang masuk dan menjadi warga negaranya. Artinya apapun yang ingin masuk ke negara itu harus menanggalkan banyak hal. Penjaga gerbang akan meminta siapa saja yang hendak memasuki negara sains itu untuk membuang apapun yang bernama “keyakinan”.

Namun benarkah sains itu bebas dari keyakinan? Jangan-jangan di balik segala upaya pelarangan atas keyakinan itu sebetulnya ada keyakinan diam-diam lainnya yang secara imperatif (memerintah) menginginkan dirinya menjadi satu-satunya keyakinan di negara tersebut.

Di balik pelarangan-pelarangan itu, bagi Nietzsche, ada sebuah kehendak akan interest free (kepentingan) - kehendak akan objektivitas yang tak lain dan tak bukan merupakan sebuah keyakinan juga. Bila keyakinan-keyakinan lain diperiksa lewat jalur hipotesis dan eksperimen, sementara kehendak sains tak tergugat yang memaksakan sebuah prosedur supaya semua warga negara bersifat ilmiah, lalu mengapa sains sendiri lolos dari tuntutan prosedural keilmiahan itu sendiri?

Di sinilah kontradiksi sains; di satu sisi ia menginginkan dominasi rasio-objektif, namun di sisi lain keinginan itu sendiri berasal dari sesuatu yang tidak rasional dan tidak objektif. Sederhananya, dalam prosedur ilmiah yang diterapkan di negara sains tadi, ada sesuatu yang sama sekali tidak ilmiah yang memimpin, dan menyeleksi sejak awal - sebuah kepercayaan yang mendahului prosedur ilmiah itu sendiri.

Kritik Terhadap Sains

Sains di mata Nietzsche disetir oleh sebuah kepercayaan yaitu kehendak untuk mendominasi yang wujudnya tampak dalam prosedur ilmiah yang ketat sehingga subjektifitas manusia direduksi dalam metode ilmiah.

Namun begitu, tampaknya Nietzsche tidak begitu peduli dengan keberagaman doktrin saintifik. Apakah hasil sains berbeda dari abad ke abad, apakah di situ ada revolusi, evolusi atau sekadar reformasi, itu semua tidak menjadi pokok perhatian Nietzsche.

Kritikan Nietzsche tidak pernah mengarah pada isi doktrinnya. Apa yang dilihat Nietzsche adalah roh metode dan mekanisme saintifiknya. Dalam artian: Atas nama apa sains menamakan dirinya sains, roh apa yang menggerakan dan memberikannya hidup?

Nietzsche melihat bahwa roh sains sebenarnya sama sekali bukan roh yang saintifik. Metode ilmiah yang penuh prosedur ternyata didorong oleh sesuatu yang sama sekali tidak tunduk pada metodenya sendiri. Nietzsche menunjukan bahwa di balik roh saintifik itu ada sebuah moral atau kepercayaan tertentu mengenai kebenaran. Kepercayaan ini bersifat eksklusif, mendirikan benteng ilmiah, dan membuang semua keyakinan-keyakinan yang dianggap tidak lolos sensor demi sebuah kebenaran ilmiah.

Di sisi lain, Nietzsche melihat bahwa di balik ambisi sains ada kehendak absolut akan kebenaran. Wajah kehendak absolut ini ada dua; Pertama adalah sikap yang tidak mau salah - sebuah sikap kehati-hatian jika dihadapkan kepada sesuatu. Dalam konteks ini, sains bersikap waspada pada segala yang abu-abu dan tidak jelas. Kalkulasi kegunaan membuat kehendak tidak mau salah ini masih bisa ditolerir.

Namun wajah yang kedua, yaitu kehendak tidak mau membiarkan diri salah, menunjukan sebuah prinsip tak tergugat. Di tingkat ini, ada saringan antisipasi yang terlalu tergesah-gesah dalam mematok hasil. Pertanyaan tajam diajukan Nietzsche kepada sains: Seandainya apa yang ada dihadapan kita itu tidak mengganggu, tidak meragukan, dan tidak berbahaya, lalu mengapa harus selalu dicurigai? Mengapa harus curiga secara absolut di depan realitas?

Namun jangan salah paham. Meskipun Nietzsche mengajukan pertanyaan semacam itu, bukan berarti Nietzsche menganjurkan kita untuk percaya begitu saja. Nietzsche mengatakan kehendak tidak mau salah tetap berguna, artinya tetap ada nilai positif dari sikap kehati-hatian dan pengambilan jarak di depan realitas.

Nietzsche hanya mengkritik posisi kecurigaan absolut sains yang didasari oleh kehendak absolut akan kebenaran. Padahal, bagi Nietzsche, realitas adalah campuran dari kebenaran dan ketidakbenaran. Jika realitas adalah campuran kebenaran dan ketidakbenaran dan dua-duanya sama bergunanya, maka posisi keraguan absolut seperti itu sebenarnya mencerminkan sesuatu yang lain.

Dari mana sebenarnya kehendak akan kebenaran ini berasal? Seandainya hasil pencarian mereka sebagai sebuah kebenaran, ternyata nanti disalahkan oleh orang lain, lalu mengapa sains masih memperjuangkan bahwa kebenarannya adalah betul-betul kebenaran?

Pisau tajam Nietzsche membuktikan bahwa ada sesuatu yang sama sekali di luar wilayah benar dan salah. Kebutuhan untuk percaya memanifestasikan dirinya dalam kehendak akan kebenaran. Karena kebutuhan atau kehendak ini menyangkut tentang kepercayaan maka kehendak akan kebenaran itu sendiri berada di luar wilayah benar-salah. Alih-alih berbicara tentang sesuatu yang benar dan salah, kehendak akan kebenaran adalah manifestasi kebutuhan akan pegangan atau sandaran.

Kita semua butuh topangan atau sandaran, termasuk sains. Dan kebutuhan itu terwujudkan dalam kebenaran yang kita kehendaki secara mati-matian. Namun, genealogis Nietzsche menganalisis bahwa ada sesuatu yang salah dalam kehendak kita, terutama para saintis. Kehendak mereka cacat dan lemah, oleh karena itu mereka butuh sandaran eksternal agar mereka tetap bisa hidup.

Orang yang memiliki kehendak utuh seharusnya tidak akan takut di depan realitas yang kebenaran dan ketidakbenarannya bercampur aduk. Kemampuan mereka mengutuhkan dirinya sendiri secara internal membuat mereka tidak takut di depan realitas yang kacau.

Sebaliknya, ketidakmampuan seseorang mengintegrasikan dirinya dengan realitas yang kacau otomatis akan membuat dia curiga dengan segala apa yang tampak tidak utuh. Artinya dirinya butuh bantuan untuk bisa diutuhkan. Dari kelemahan itulah sudut pandang mereka terhadap realitas di luar diri menjadi amputatif (terpotong).

Realitas Apa Adanya

Berhadapan dengan kebenaran dan ketidakbenaran - yang keduanya merupakan  realitas yang sama - Nietzsche mengajukan pertanyaan-pertanyaan reflektif mengenai sikap manusia di depan realitas apa adanya.

Nietzsche menganggap bahwa hidup terdiri dari penampakan (kesalahan, jebakan, penyamaran) dan kedalaman. Hidup adalah kedua-duanya, ia merangkum kebenaran dan ketidakbenaran. Sikap penghendakan secara mati-matian akan satu sisi kehidupan (yaitu hanya kebenaran saja), itu seperti orang yang menyerang kincir angin karena dia mengira kincir itu sebagai raksasa jahat.

Hanya menghendaki separuh kebenaran sama dengan memangkas dan mengamputasi separuh kehidupan yang berwujud ketidakbenaran. Bila ternyata ketidakbenaran itu berguna bagi hidup dan kita hanya menghendaki kebenaran saja, bukankah kita telah mengamputasi hidup itu sendiri?

Ini jelas bahwa di balik kehendak absolut akan kebenaran tersembunyi kehendak untuk memusuhi kehidupan. Permusuhan kepada hidup ini ditunjukkan sains dengan membuang dan menendang keluar hal-hal yang baginya dianggap sebagai sebuah kekeliruan. Apa yang tidak sesuai dengan kebenarannya diremehkan, disingkirkan, dan dihindari. Mereka tidak sadar bahwa apa yang mereka buang adalah hidup dan kehidupan itu sendiri.

Di mata Nietzsche ide fixe itu berbahaya, karena dapat membinasakan separuh dunia; Kalau moralnya adalah moral kebenaran, maka separuh dunia yang bewujud kesalahan akan dibuang ke neraka. Kalau moralnya adalah moral kejahatan, maka separuh dunia yang berisi kebaikan akan dihabisi tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Usulan yang ditawarkan Nietzsche adalah menjadi manusia yang memiliki banyak sudut pandang, yang mampu melepaskan diri dari kesempitan kehendak akan kebenaran dan penerimaan realitas secara apa adanya. Artinya bahwa realitas pada dasarnya adalah immoral: tidak baik dan tidak buruk, sekaligus juga baik dan buruk; ia terbuka kepada beragam sudut pandang.

Moh Hidayat,Mahasiswa UIN Palu.
Lebih baru Lebih lama