Loading...

Beberapa tahun yang lalu, tepatnya pada 2019, sebuah berita aneh bergema di seluruh dunia: di mana seorang pria 27 tahun menggugat orang tuanya karena melahirkannya. Pria India yang diketahui bernama Raphael Samuel ini membawa orang tuanya ke pengadilan untuk menegaskan satu hal: bahwa dia telah dipaksa lahir di dunia. 

Meskipun gugatan yang dia lakukan itu tidak diterima karena tidak didukung oleh preseden hukum mana pun, namun tujuan utamanya adalah untuk menyebarkan pesan bahwa anak-anak sama sekali tidak berutang apapun kepada orang tua mereka.

Dalam video yang diposting di Facebook dan YouTube-nya, Samuel mempresentasikan kasusnya. "Tidak ada yang setuju untuk dilahirkan," katanya. Kita tidak diizinkan untuk memilih ketika orang tua kita melahirkan kita ke dunia. Anehnya kita justru dituduh berutang kepada mereka. 

Bukankah untuk 'berutang' kepada seseorang kita setidaknya harus membuat kesepakatan terlebih dahulu sebelum mengambil kewajiban untuk membayar utang tersebut? Karena kita tidak (dan memang tidak bisa) membuat persetujuan apapun sebelumnya, bukankah seharusnya kita tidak berutang apapun kepada orang tua kita?

Kita mungkin memperlakukan orang tua kita dengan baik, bukan karena itu kewajiban, namun karena kita menyukainya, atau karena kita berpikir bahwa berbakti kepada mereka adalah hal yang bijaksana untuk dilakukan, tetapi kita pada dasarnya tidak memiliki kewajiban apapun terhadap mereka.

Mari kita pertimbangkan kasus di atas dengan kasus berikut: Di Amerika dalam beberapa dekade terakhir, banyak orang yang menyebut diri mereka sebagai 'warga negara yang berdaulat'. Mereka mengklaim bahwa mereka tidak pernah setuju pada otoritas pemerintah federal, maka seharusnya mereka tidak bisa ditangkap atau didakwa jika mereka melakukan hal yang oleh pemerintah sebut sebagai 'kejahatan', sebab mereka merasa tidak pernah menyetujui itu. Kelompok ini memandang kewarganegaraan sebagai perjanjian kontraktual dengan pemerintah yang bisa dilepaskan kapan saja.

Apa itu Persetujuan?

Baik Raphael Samuel maupun warga negara yang berdaulat bersikeras akan pentingnya persetujuan dalam menghasilkan suatu kewajiban kepada orang lain. Namun apa sebenarnya persetujuan itu? Sistem 'kontrak' mungkin bisa memberi kita bayangan yang berguna untuk memulai poin ini. 

Jika saya membuat kontrak atau kesepakatan dengan seseorang, misalnya memperbaiki televisi yang rusak dengan imbalan biaya, setidaknya ada 3 hal yang harus disetujui: 1) Kontrak atau kesepakatan tersebut harus dibuat bersama; 2) Syarat-syarat dalam kontrak harus diinformasikan dengan baik tanpa ada yang ditutupi; 3) Dan yang terakhir tanpa ada pemaksaan. Jika saya dipaksa menandatangani kontrak, kontrak tersebut tentu tidak sah.

Dengan menggunakan tiga kondisi di atas sebagai metode pengujian, kewajiban apa pun, baik kepada orang tua ataupun pemerintah gagal melewati tes tersebut. Toh kita tidak pernah menyetujui atau membuat kesepakatan apapun sebelumnya, baik kepada orang tua maupun pemerintah; kita adalah putra-putri atau warga negara tanpa memilih untuk menjadi demikian. 

Namun, ada cara lain yang bisa kita coba untuk menemukan prinsip dasar persetujuan yang dapat memunculkan kewajiban ini. Salah satunya adalah metode yang digunakan oleh beberapa filsuf yang memakai prinsip 'persetujuan tersirat'; Ketika saya pergi ke restoran, memesan makanan, dan lalu memakannya, saya sebenarnya secara eksplisit 'belum' setuju bahwa saya akan membayar makanan yang saya komsumsi setelah saya selesai makan, sebab saya tidak mendapat informasi apapun sebelumnya tentang kesepakatan semacam itu. 

Meskipun demikian, ada kesepakatan diam-diam (tersirat) di sana bahwa saya harus membayar apa yang telah saya konsumsi. Olehnya ketika saya selesai makan, saya tidak boleh pergi begitu saja. Saya berutang pada restoran tersebut. Maka dari itu, dalam konteks kasus ini kita bisa melihat bahwa untuk memunculkan suatu kewajiban, kita tidak perlu membuat persetujuan atau kesepakatan apapun sebelumnya. Ketika kita sadar dan berniat untuk mendapatkan manfaat dari sesuatu, kita secara tidak langsung juga punya kewajiban untuk membayar manfaat yang telah kita terima itu.

Mari kita uji apakah cara ini bisa diterapkan pada dua kasus kita di atas atau tidak: 

Ketika kita menggunakan layanan pemerintah (misalnya jalanan umum, pendidikan, rumah sakit) atau berpartisipasi dalam proses PEMILU lewat pemungutan suara, apakah itu berarti kita setuju menjadi warga negara dengan semua kewajiban yang menyertainya (misalnya membayar pajak)? Atau ketika kita tidur di tempat tidur yang dibeli oleh orang tua kita, makan makanan yang mereka masak, dan menerima uang yang mereka berikan, apakah itu berarti kita setuju dengan kewajiban kita sebagai anak kepada mereka?

Filsuf Pencerahan David Hume berpendapat bahwa 'persetujuan tersirat' gagal memberikan kita landasan atas kewajiban kita kepada pemerintah karena kurangnya alternatif yang realistis. Sebab dalam situasi ini kita tidak punya pilihan lain; kita mau tak mau harus menggunakan layanan pemerintah demi bertahan hidup dan tentu saja sulit bagi kita untuk pergi. Jadi keputusan kita untuk melaksanakan kewajiban kita sebagai warga negara itu bukan atas dasar sukarela, tapi 'terpaksa'. Dia menulis:

Bisakah kita mengatakan bahwa seorang petani atau pengrajin miskin memiliki pilihan untuk meninggalkan negaranya, ketika dia tidak tahu bahasa atau tata krama asing, dan hidup dari hari ke hari, dengan upah kecil yang dia peroleh? Kita juga dapat menegaskan, bahwa seorang pria, dengan tetap berada di kapal, bebas menyetujui kekuasaan kapten kapalnya; meskipun dia dibawa ke atas kapal saat tidur, dan harus melompat ke laut, dan mati, saat dia meninggalkannya.

Di sini Hume menolak gagasan bahwa kita 'bebas meninggalkan' negara demi menghindari kewajiban. Namun dia mencatat bahwa ada tiga opsi yang bisa kita pertimbangkan; 1) Tetap tinggal di kapal tersebut; 2) Terjun ke laut; 3) Atau pindah ke kapal lain (yaitu tinggal di negara lain dengan pemerintahan yang berbeda). Apakah kita bisa menggunakan alasan ini untuk membuat persetujuan atau kesepakatan? Karena kita bisa pindah ke negara lain, apakah itu berarti kita setuju untuk diatur oleh pemerintah negara tujuan kita ketika nanti kita tinggal di sana?

Jika kita menerapkan argumen Hume di atas dalam kasus orang tua dan anak, itu justru memperburuk keadaan. Sebab berbeda dengan kasus pemerintah dan warga negara, anak-anak tidak punya alternatif yang realistis untuk tinggal bersama orang tua mereka. Artinya mereka tidak punya pilihan selain tinggal bersama orang tuanya. Mereka secara fisik, psikologis, dan hukum tidak dapat menggunakan kebebasan mereka untuk melompat ke kapal lain (pindah ke orang tua lain). Alhasil, prinsip 'persetujuan tersirat' dalam hal ini tidak bisa mendasari kewajiban anak kepada orang tua.

Selain 'persetujuan tersirat', para filsuf juga berbicara tentang 'persetujuan hipotetis'. Kunci dalam 'persetujuan hipotesis' ini terletak pada 'asumsi' kita. Jadi "kita harus berasumsi," kata para filsuf, "jika seseorang akan setuju apabila mereka diberikan pilihan sebelumnya." Mari kita ambil kasus seseorang yang terkena musibah, misalnya kecelakaan mobil. 

Bayangkan orang yang mengalami kecelakaan tersebut dalam keadaan tidak sadar (koma) dan kehilangan banyak darah. Tanpa transfusi darah, orang itu pasti akan mati. Karena pasien tidak dapat memberikan persetujuan apapun karena masih dalam keadaan koma, dokter akan secara wajar membangun asumsinya; apakah pasien akan setuju jika dilakukan transfusi? Mungkin iya. Nah, oleh karena itu, dokter punya alasan bagus untuk melanjutkan transfusi meskipun tanpa persetujuan pasien.

Kita dapat menerapkan pendekatan 'persetujuan hipotesis' ini dalam dua kasus kita, contoh: Jika Anda diberi pilihan untuk dilahirkan atau tidak dilahirkan sama sekali, apakah Anda akan memilih untuk dilahirkan saja? Demikian pula, jika Anda punya pilihan untuk menjadi warga negara di negara Anda dengan pemerintahannya saat ini, atau untuk hidup tanpa pemerintah, apakah Anda akan memilih untuk menjadi warga negara? Jika Anda menjawab ya untuk kedua pertanyaan tersebut, apakah fakta bahwa Anda 'akan' setuju untuk dilahirkan atau menjadi warga negara sama kuatnya dengan menyetujui hal tersebut sebelumnya?

Ada satu masalah dalam pendekatan ini: bahwa ada beberapa orang atau kelompok yang akan menjawab tidak untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut. Siapa mereka? Pertama, ada kelompok anarkis; yang mana percaya bahwa lebih baik hidup bebas tanpa pemerintah daripada hidup terikat di bawah pemerintah. Kedua, ada kelompok antinatalis; yang percaya bahwa lebih baik tidak pernah dilahirkan daripada dilahirkan, sebab mereka berpikir bahwa hidup tidak layak untuk dijalani. 

Meskipun berada di luar cakupan artikel ini untuk memeriksa sistem pemikiran kedua kelompok tersebut lebih lanjut, fakta bahwa ada beberapa orang yang jelas menolak persyaratan kesepakatan dalam 'persetujuan hipotetis' bisa membuktikan bahwa 'persetujuan hipotetis' ini masih lemah.

Bisakah Kita Memiliki Kewajiban Tanpa Persetujuan?

Sebagaimana yang kita tahu, teori persetujuan yang telah kita bahas sebelumnya punya banyak kelemahan, jadi kita mungkin harus mencari cara lain untuk menemukan dasar kewajiban kita kepada orang tua dan pemerintah. Dengan kata lain, pertanyaan tepat yang dapat kita ajukan saat ini adalah: Apakah memiliki kewajiban tanpa persetujuan itu mungkin?

Cara yang biasa orang gunakan untuk membenarkan kewajiban tanpa persetujuan adalah prinsip 'timbal balik'; jika Anda membantu saya, saya akan berutang sesuatu kepada Anda sebagai balasannya. Jika Raphael Samuel diperlakukan dengan baik oleh orang tuanya, atau kita diperlakukan baik oleh pemerintah, maka kita wajib membalas kebaikan mereka.

Namun ada satu masalah dengan argumen ini. Misalnya: Ambil situasi di mana Anda berhenti di sebuah persimpangan dengan mobil Anda karena lampu lalu lintas masih berwarna merah. Kemudian bayangkan ada seseorang yang datang tiba-tiba sembari membawa seember air sabun dan spons, lalu mulai membersihkan mobil Anda dengan cepat sebelum lampu berubah hijau. Setelah orang itu membersihkan mobil Anda, dia lalu menjulurkan tangannya untuk meminta bayaran kepada Anda. 

Dalam kasus ini apakah Anda berkewajiban untuk membayar orang itu? Mungkin Anda merasa berhutang budi pada orang tersebut, tetapi itu sama sekali di luar ekspektasi Anda, sebab dia melakukan itu tanpa izin atau pemberitahuan sebelumnya. Apakah ini sama dengan kasus orang tua kita dan pemerintah?

Masalah lain dengan prinsip 'timbal balik' ini adalah: meskipun kita berutang sesuatu kepada orang tua atau pemerintah, sulit untuk menetapkan batas atau menentukan dengan jelas utang apa yang kita punya. Ini berbeda dengan ketika seseorang mengundang saya untuk makan malam di rumahnya, saya mungkin bisa mengajak mereka untuk makan di rumah saya nanti sebagai balasannya. 

Namun, dalam kasus orang tua, itu sulit; karena kita tidak akan bisa membalas orang tua kita atau pemerintah dalam bentuk barang. Mereka memberi kita hal-hal penting (kehidupan, keamanan, pendidikan, dan berbagai jenis dukungan lain) yang tidak dapat kita balas. Jika kita berutang sesuatu kepada mereka, itu tidak sebanding dengan apa yang telah mereka berikan kepada kita selama ini. Lalu, apa sebenarnya utang kita kepada mereka? Apakah kita harus sering mengunjungi orang tua kita di hari tuanya nanti? Apakah kita harus melakukan pelayanan masyarakat? Atau apakah kita harus bersedia untuk berperang jika negara sedang berperang?

Untuk menjawab hal tersebut, kita perlu melakukan perbandingan antara dua kasus kita dan kasus cuci mobil tadi. Ada perbedaan mendasar antara kasus kita dan kasus cuci mobil tadi; bahwa yang mendasari kewajiban kita atas sesuatu bukanlah persetujuan atau 'timbal balik', melainkan 'hubungan'. Anda dan pencuci mobil tadi tidak punya hubungan yang telah ditentukan sebelumnya, dia adalah orang asing bagi Anda, begitupula sebaliknya. Sementara, hubungan orang tua dan anak, atau hubungan antara warga negara dengan pemerintahnya, lebih disertai dengan kewajiban khusus yang sudah melekat sebelumnya.

Namun demikian, sulit untuk melihat bagaimana kedekatan 'hubungan' bisa menghasilkan kewajiban tanpa prinsip 'timbal balik' atau persetujuan. Pertama, kewajiban dalam suatu hubungan kebanyakan berasal dari persetujuan sebelumnya. Pasangan suami-istri misalnya. Sebelum menikah, mereka telah membuat kontrak eksplisit tentang tanggung jawab mereka satu sama lain; saling merawat satu sama lain ketika sakit, dan/atau saling memberi dukungan. Tanggung jawab ini dipilih, bukan diwariskan. Dalam konteks ini, orang tua punya kewajiban kepada anak-anak mereka tetapi tidak sebaliknya, karena orang tua lah yang bertanggung jawab penuh dalam menciptakan hubungan keluarga, bukan anak. Anak sama sekali tidak tahu menahu bahwa dia telah terikat dalam hubungan keluarga. 

Di sisi lain, pinsip 'timbal balik' juga penting bagi kualitas hubungan yang menghasilkan kewajiban. Jika orang tua Anda atau pemerintah Anda memperlakukan Anda dengan baik, Anda harus membalas mereka. Tetapi jika orang tua Anda meninggalkan Anda, tidak mendukung Anda, atau menyakiti Anda, Anda pasti merasa kecewa dan merasa bahwa Anda tidak memiliki kewajiban kepada mereka terlepas dari fakta bahwa Anda punya hubungan dengan mereka. Sebab hubungan tanpa perawatan, dukungan, dan cinta adalah omong kosong. Sama halnya dengan hubungan pemerintah dan warga negaranya. Jika pemerintah merampas hak kita dan merugikan kita, maka kita tidak punya kewajiban kepada pemerintah semacam itu. Singkatnya, hubungan tidak bisa jadi sumber independen yang dapat memunculkan kewajiban moral. Ia selalu dibungkus dengan persetujuan dan 'timbal balik'.

Kita mungkin bertanya-tanya, apakah 'kewajiban' ini perlu? Para filsuf membedakan antara tindakan moral wajib (Anda harus melakukannya agar disebut baik) dan tindakan moral supererogator (tidak perlu dilakukan namun tetap baik jika dilakukan). Mungkinkah membalas orang tua atau pemerintah hanya sekadar tindakan supererogator saja, dan bukan tindakan moral wajib? Atau apakah kita kehilangan sesuatu jika kita berpikir bahwa kita 'tidak berutang' apapun kepada orang tua atau pemerintah kita?

***

Jika Anda ingin mendalami lebih lanjut gagasan-gagaaan semacam ini, bacalah artikel dan buku di bawah ini:

  • What Do Grown Children Owe Their Parents? oleh Jane English
  • Anarchy, State, and Utopia oleh Robert Nozick
  • Better to Have Never Been: The Harm of Coming to Existence oleh David Benatar


Tulisan ini telah dialih-bahasakan oleh Redaksi Sophia Institute dari artikel asli yang berjudul "A Question of... Consent".

Steven Campbell-HarrisSpesialis Senior di The Philosophy Foundation
Lebih baru Lebih lama