Loading...

"Dasar India hitam yang kotor". Aku masih berusia 14 tahun saat seorang pria kulit putih meneriaki kata-kata itu kepadaku ketika aku sedang bermain tenis di lapangan. Wajahku seketika merah pada saat itu karena menahan malu, tubuhku juga dipenuhi amarah, bahkan mataku pun berkaca-kaca. Apakah ucapannya itu benar? Apakah aku terlihat kotor karena kulit coklatku?

Itu bukan lah kali pertama dan terakhir aku mendengar hinaan tentang warna kulit dan etnisku. Kata-kata itu sangat berbekas di pikiranku, memperkuat asumsi sosial bahwa kulit gelap memang tidak menarik, jelek, dan memalukan. Karena terus mendengar "teguran" tentang kulitku yang gelap, tanpa disadari kata-kata itu akhirnya memberikan dampak padaku ketika aku menyusuri dunia kosmetik yang menjajaki banyak produk pemutih (skin-whitening) dan produk pencerah kulit.

Pemutihan kulit, atau yang juga dikenal sebagai pencerah kulit, adalah proses di mana sebuah produk dioleskan kepermukaan kulit untuk mencerahkan warna kulit sehingga menghambat produksi melanin, pigmen yang berfungsi memberikan warna pada kulit. 

Bahasa yang digunakan untuk mempromosikan produk ini bervariasi dari pemutih dan pencerah hingga "memperbaiki warna kulit" (colour-correcting). Proses ini juga sering dianggap sebagai proses "peningkatan kecantikan" (beauty-enhancing), menjanjikan pemerataan kulit yang bebas dari bintik-bintik, flek hitam, pigmentasi, dan noda. Namun terlepas dari bahasa yang digunakan, pesannya tetap sama: kulit gelap tidak sesuai dengan standar kecantikan ideal.

Penelitian menunjukkan bahwa aktivitas pencerahan kulit ini sudah dipraktikkan selama berabad-abad dalam berbagai bentuk; namun Dr. Yaba Amgborale Blay, seorang aktivis dan akademisi, mengatakan bahwa penggunaan bedak dan cat demi mendapatkan kulit seperti porselen pucat berawal dari zaman Elizabeth. Pada saat itu, keinginan untuk mencapai standar putih ini begitu kuat sampai membuat perempuan-perempuan Eropa rela mengoleskan timah putih ke kulit mereka dan/atau memakan wafer arsenik demi mendapatkan warna kulit pucat yang tidak bernoda. 

Memiliki kulit cerah juga berarti memiliki keuntungan ekonomi dan status sosial yang tinggi: semakin terang kulitmu, kesempatanmu menjadi kaya juga semakin besar. Ini dikarenakan, menurut sejarah, pekerjaan seperti pertanian banyak diperuntukkan bagi mereka yang status sosialnya rendah. Mengapa? Karena membajak, menanam, dan memanen adalah pekerjaan yang mengharuskan setiap orang bekerja di bawah sinar matahari, sehingga membuat kulit mereka gelap dan menunjukkan rendahnya kelas sosial mereka. 

Akibatnya, kulit gelap dikaitkan dengan kemiskinan, kotor, dan bodoh, sedangkan kulit putih dipandang sebagai bersih, baik, beradab dan superior. Hanya orang kaya yang tidak bekerja dipekerjaan semacam itu (bertani).  Pembagian kerja ini membuktikan bahwa kulit putih akan memberikanmu hak istimewa dan akses yang hanya diperuntukkan bagi orang kulit putih yang kaya.

Kolonialisasi dan perbudakan memperkenalkan standar kecantikan ini ke Amerika, Asia dan Afrika, yang kemudian menjadikan ide bahwa kulit putih adalah simbol kesucian dan kebersihan. Ide ini mengakar sangat kuat di masyarakat sebagai upaya penegakkan ideologi supremasi kulit putih (sebuah ideologi yang menganggap bahwa kulit putih lebih superior daripada kulit berwarna). 

Kulit putih menjadi hal yang sangat diinginkan bagi mereka yang tidak memiliki apapun demi mendapatkan prospek kerja yang lebih baik, pernikahan, dan kebahagiaan. Industri pakaian dan produk kecantikan sebagian besar mengiklankan model Kaukasia dengan mata cerah, kulit putih dan rambut lurus sebagai standar ideal kecantikan yang harus dicontohi oleh banyak perempuan, sehingga produk kecantikan seperti pemutih kulit menjadi jalan pintas menuju komodifikasi pemutihan kulit. 

Begitu kuatnya komodifikasi pemutihan kulit ini sehingga iklan sabun Pears yang beredar pada 1875 memperlihatkan seorang anak laki-laki kulit hitam sedang duduk di bak mandi dan ditawari sabun oleh anak laki-laki kulit putih. Pada gambar promosi Pears itu diperlihatkan bagaimana anak laki-laki kulit hitam itu tampak gembira ketika dia melihat bayangan dirinya dengan kulit yang sudah berubah putih. 

Iklan tersebut didasarkan pada dongeng Aesop "Washing the Blackamoor White", atau yang juga dikenal sebagai "Washing the Ethiopian White". Dongeng tersebut menceritakan tentang seorang budak yang mencoba untuk membersihkan kulit hitamnya tetapi tidak bisa. Moral dari cerita ini adalah kita tidak dapat menghilangkan budaya dan warisan kita. Ketika moral dari dongeng mempromosikan rasa penerimaan diri, ada makna berbahaya tentang warna hitam yang tidak dapat dihapus, seakan memperkuat persepsi bahwa mereka yang berkulit gelap akan selalu lebih rendah dibanding mereka yang berkulit putih, dan ini tidak akan pernah berubah.

Fakta bahwa sabun batangan, produk yang biasa digunakan untuk membersihkan kotoran, diiklankan menggunakan gambar anak-anak kulit hitam untuk menjual produk mereka jelas merupakan bentuk rasisme. Iklan seperti ini semakin memperkuat gagasan bahwa kulit gelap itu tidak alami dan hal yang memalukan.

Saat ini narasi pemutihan kulit sudah menjadi industri multi-miliar dolar sekaligus juga menjadi masalah kesehatan yang terus berkembang di masyarakat karena prevalensi produk-produk ini di komunitas Asia dan Afrika terus meningkat. 

Para peneliti menunjukkan bahwa beberapa produk pemutih atau pencerah kulit ini ternyata mengandung bahan-bahan yang beracun seperti merkuri, hidrokuinon, dan hidrogen peroksida. Beberapa produk pencerah dengan bahan-bahan berbahaya ini sudah dilarang di beberapa negara, namun di tempat lain, peraturan mengenai pelabelan atau petunjuk penggunaannya hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Terlepas dari dampak fisik dan psikologisnya, produk pencerah atau pemutih kulit merupakan salah satu area dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di industri kecantikan global.

Produk pencerah kulit yang mengandung bahan kimia ini tidak hanya merusak permukaan kulit — dengan kemungkinan efek samping seperti pembengkakan, penipisan kulit, jaringan parut, dan peradangan — tetapi juga mendorong terciptanya pasar gelap.

Meskipun begitu, pengaruh standar kecantikan ini sangat kuat sampai membuat perempuan kulit berwarna menolak kulit yang selama ini melindungi hidup mereka. Aku sebagai pribadi bisa membuktikan bagaimana bahaya produk pencerah ini sebab sebagai seorang perempuan muda aku pernah tenggelam dalam ketidakpuasan diri terhadap warna kulitku sendiri. Selain itu demi mendapatkan pengakuan masyarakat, aku terus menggunakan berbagai usaha untuk bagaimana memutihkan kulit gelapku mulai dari melakukan diet pencerah, menggunakan produk pencerah, produk pemutih, perbaikan warna kulit, dan sabun pembersih. 

Ketika hasilnya tidak sesuai dengan yang aku inginkan, alih-alih menerima warna kulit apa adanya, aku terus didorong untuk menggunakan jus lemon yang dikombinasikan dengan ramuan staples dapur untuk pencerahan kulit. Aku jarang melihat perempuan Asia Selatan di media popular yang berpengaruh dan berkuasa. Oleh karena itu Fair & Lovely lebih dari sekedar krim wajah; ini adalah jalan menuju penerimaan dan penyadaran diri bahwa menganggap warna kulit sebagai tolak ukur harga diri adalah kesalahan besar dan sama sekali tidak sehat.

Ketika aku belajar tentang bahaya dari produk-produk ini, aku malu pada diriku sendiri karena menggunakannya, tetapi setelah merenung, aku sadar bahwa rasa malu itu bukanlah beban yang harus ditanggung konsumen. Rasa malu yang sebenarnya ada pada industri, organisasi, dan sistem yang melanggengkan penyimpangan makna kecantikan. 

Alih-alih menghakimi dan bertanya mengapa orang-orang terus menggunakan produk pemutih, kita seharusnya bertanya mengapa perusahaan terus membuat produk ini. Namun, kita sudah tahu jawabannya. Eksploitasi perempuan kulit berwarna punya keuntungan sangat besar yang bisa memenuhi kantong mereka. Dengan begitu mereka ingin terus melestarikan standar kecantikan rasis ini.

Pada Juni 2020, raksasa konsumsi multinasional, Unilever dan anak perusahaannya Hindustan Unilever Limited mengubah nama salah satu produk terlaris mereka Fair & Lovely menjadi Glow & Lovely. Banyak orang yang melihat bahwa langkah ini sebagai langkah yang baik. Namun faktanya ini tidak lebih dari sekedar mengubah nama saja. Produk, pesan, dan ideologi yang dibangun tetap sama. Merek lain seperti Johnson & Johnson telah melangkah lebih jauh dengan mulai menghapus sebagian produk pencerah mereka.

Namun terlepas dari itu, ini juga banyak menimbulkan kritik dari para konsumen. Beberapa konsumen mengklaim bahwa menggunakan produk pemutih atau tidak itu adalah hak mereka untuk memilih. Terlepas dari bahaya yang menanti dan ketidakpastian jaminan bahwa produk akan memberikan hasil seperti yang diiklankan, tampaknya popularitas dari produk ini tidak kunjung berkurang dan terus menghasilkan banyak keuntungan. 

Sangat mudah menyarankan apabila tidak ada lagi yang meminati produk itu, sebab tanpa peminat, produk itu juga akan menghilang dengan sendirinya. Tetapi sayangnya, memiliki kulit putih membuka akses ke banyak peluang yang hanya diperuntukan untuk mereka yang memiliki kulit putih, dan tentu saja banyak orang yang ingin mendapatkan peluang itu juga. 

Keinginan untuk memiliki kulit putih yang cantik sudah mengakar kuat di dalam diri kita, karena itu menggunakan produk pemutih atau pencerah bukan lagi tentang menggunakan produknya saja, tapi juga tentang mewujudkan identitas kita berdasarkan cita-cita yang telah kita terima sejak lahir. 

Aku pernah mendengar sebuah kutipan bahwa tidak ada orang yang terlahir rasis. Aku sangat setuju. Yang membuat kita rasis adalah karena kita dilahirkan di dalam masyarakat yang rasis. Kita secara alami tidak rasis. Namun fakta bahwa perempuan dengan kulit berwarna diharuskan menjadi cantik untuk mendapat pengakuan masyarakat, membuat mereka mudah merasa cemas dan tidak puas terhadap diri mereka sendiri. Ini jelas adalah penyakit sistemik (penyakit yang diakibatkan oleh sistem sosial), dan ini bukanlah masalah tentang kepercayaan diri saja. Jika kita salah memahami masalah ini, kita akan membiarkan sebuah sistem mengambil keuntungan dari kurangnya rasa tanggung jawab kita. Perubahan nama, produk yang dihentikan dan model yang beragam dapat memberikan ilusi seolah kemajuan sedang terjadi, olehnya kita harus tetap menuntut institusi atau organisasi bersangkutan yang menjunjung tinggi ideologi supremasi kulit putih ini.

Dampak dari adanya produk pencerah kulit juga berperan dalam colorism, melanggengkan perpecahan dalam komunitas kulit berwarna. Aktris Kenya Lupita Nyong'o menggambarkan colorism — sebagai proses mengutamakan warna kulit yang lebih terang dalam komunitas BIPOC — sebagai anak dari rasisme karena colorism menguatkan pesan bahwa kulit gelap lebih rendah dibanding kulit terang. 

India memiliki konsumen pasar yang sangat besar dalam mengonsumsi produk pemutih dan pencerah kulit. Iklan dan media memainkan peran yang sangat penting dalam mempromosikan hal ini dengan aktris Bollywood yang ikut mempromosikan produk pencerah di negara yang sudah sangat dipengaruhi oleh sistem kasta yang memecah belah dan penuh dengan ketidaksetaraan ini. 

Sebab kulit gelap terus dikaitkan dengan kelompok kasta yang lebih rendah dan tentu saja berdampak pada pekerjaan dan akses ke peluang-peluang lainnya. Akibatnya, sistem kasta dalam masyarakat India memberikan dasar yang kuat bagi colorism untuk berkembang karena adanya prasangka yang sudah tertanam sejak awal terhadap ras seseorang dan mengakui bahwa standar kecantikan Eropa sebagai standar ideal yang sangat diinginkan.

Kampanye seperti 'Dark is Beautiful' bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan doktrin negatif yang dialami oleh banyak perempuan muda kulit berwarna. Kelompok advokasi ini menyediakan lokakarya di sekolah, bisnis, dan komunitas yang menyoroti sikap bermasalah terkait bias warna kulit dan mengampanyekan pesan bahwa “harga diri seseorang tidak bergantung pada warna kulit mereka semata.” Melalui karya para aktivis 'Dark is Beautiful', Dewan Standar Periklanan India (ASCI) akhirnya mengesahkan pedoman baru yang melarang iklan diskriminatif berdasarkan warna kulit:

Iklan tidak boleh menyiratkan pesan diskriminasi dalam bentuk apa pun sebagai akibat dari warna kulit. Iklan ini tidak boleh memperkuat stereotip sosial negatif yang dikaitkan dengan warna kulit. Secara khusus, iklan tidak boleh eksplisit maupun implisit menunjukkan orang dengan kulit gelap terlihat sebagai tidak menarik, tidak bahagia, tertekan atau memprihatinkan. Iklan-iklan ini tidak boleh menggambarkan orang-orang dengan kulit gelap sebagai pihak yang dirugikan, atau inferior, atau tidak berhasil dalam aspek kehidupan apa pun, terutama dalam kaitannya dengan menarik lawan jenis, perkawinan, pekerjaan, penempatan kerja, promosi, dan lainnya. (ASCI 2016)

Kegigihan untuk mengubah narasi kecantikan ini dibangun di atas gerakan anti-rasis yang telah diperjuangkan banyak orang selama beberapa dekade. Walaupun gerakan ini mungkin masih panjang dan jauh dari kata selesai, namun banyak harapan yang bergantung dalam perjuangan ini. Hampir 20 tahun berlalu, aku bukan lagi gadis muda yang merasa minder dan malu ketika aku mencoba membeli make-up, sebaliknya, aku menerima kulitku yang kaya melanin ini dengan segala kemuliaannya.

Namun harus diakui bahwa masalah pencerahan kulit bukan lah masalah yang bisa diselesaikan dengan mudah. Efek kolonisasi merajalela dalam komunitas kulit berwarna dan industri kecantikan hanyalah satu dari sekian banyak hal yang membutuhkan perubahan besar yang lama ditunggu-tunggu. Namun, setiap percakapan tentang penjajahan standar kecantikan adalah percakapan yang penting jika kita punya kesempatan untuk membongkar industri yang rasis ini. 

Kita sudah melihat bagaimana tekanan masyarakat terus bertambah. Aktivisme, memanggil perusahaan kecantikan sebagai rasis dan kampanye yang tidak hanya memprioritaskan dan merayakan perempuan dengan kulit berwarna namun juga menantang bias ketidaksadaran kita terhadap standar kecantikan Eropa sebagai pilihan, semuanya merupakan langkah menuju jalan panjang dalam mengubah persepsi kita tentang kecantikan.


Tulisan ini telah dialih-bahasakan dari artikel asli yang berjudul "The racist roots of skin-whitening and how we can overcome hundreds of years of cultural conditioning" oleh Soraya Alamri.

Soraya AlamriMahasiswi UIN Palu.
Lebih baru Lebih lama