Kepercayaan adalah anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercayai itu benar atau nyata. Dalam agama sendiri kepercayaan lebih sering disebut dengan keimanan, yaitu meyakini akan adanya suatu kekuatan adikodrati atau transenden yang dapat menciptakan, mengatur, serta memusnakan seluruh kehidupan.
Namun seiring berkembangnya zaman, kepercayaan tersebut selalu mengalami perubahan dan pergantian. Dimana manusia berganti meyakini hal yang baru dan lalu menganggap bahwa kepercayaannya yang lama tak lebih dari sekadar mitos.
Di Yunani, jauh sebelum masehi, masyarakat sangat kental dengan kepercayaan-kepercayaan terhadap dewa-dewi. Segala sesuatu yang terjadi di dunia selalu dikaitkan dengan dewi-dewi tersebut. Misalnya, terjadinya petir di langit akan dianggap sebagai aktivitas Dewa Zeus, dan/atau tsunami yang dianggap sebagai hasil dari tindakan Poseidon. Hal ini sering terjadi mengingat pada masa itu kemajuan kognitif manusia masih belum mampu menjelaskan secara rasional tentang cara kerja alam tersebut.
Pada masa kekuasaan gereja di Eropa sekitar abad ke-17 dan 18, ilmu pengetahuan menjadi stagnan, sebab semuanya berada di bawah kaki geraja dan kebenaran dimonopoli oleh otoritas keagamaan. Saat itu, kebanyakan orang meyakini Geosentris (bumi sebagai pusat alam semesta) sebagai fakta dan kebenaran karena dianggap sesuai dengan dogma gereja.
Namun setelah kemunculan Copernicus dan Heliosentrisnya, dia menjungkirbalikkan kebenaran agama tersebut. Pengetahuan menyebabkan revolusi besar-besaran dalam sejarah ilmu pengetahuan umat manusia dan juga kenangan pahit bagi umat beragama. Inilah salah satu penyebab runtuhnya otoritas agama saat itu yang mana menginspirasi lahirnya corak berpikir ilmiah yang sampai hari ini masih dapat kita rasakan.
Di Indonesia sendiri, sebelum masuknya agama-agama 'import' terutama yang berasal dari Timteng (Timur Tengah), negeri ini memiliki ciri kepercayaannya tersendiri yaitu Animisme dan Dinamisme. Tak jarang, beragam ritual dilakukan guna mendapatkan perlindungan dari alam itu sendiri yang diyakini memiliki kekuatan transenden atau adikodrati. Seperti halnya di Yunani, masyarakat Indonesia pada zaman itu belum memiliki pengetahuan yang mumpuni jika dibandingkan dengan era sekarang ini.
Dengan pesatnya perkembangan pengetahuan dan teknologi manusia hingga hari ini, berbagai macam kepercayaan di atas pun perlahan memudar dan mulai dianggap sebagai mitos yang tidak perlu lagi untuk dipercayai. Mengingat segala persoalan yang ada pada zaman itu telah mampu dijelaskan oleh fakta-fakta ilmiah yang tak terbantahkan, seperti petir dan tsunami yang dapat dijelaskan proses terjadinya melalui bukti-bukti empiris dan membantah bahwa fenomena alam tersebut terjadi tanpa campur tangan Zeus ataupun Poseidon. Begitupula dengan kepercayaan animisme yang dapat di bantahkan oleh sains modern bahwa benda-benda sama sekali tidak memiliki jiwa atau kekuatan transenden yang dapat memberikan perlindungan apalagi mengabulkan permohonan.
Namun demikian, hilangnya kepercayaan-kepercayaan lama tersebut karena sains tidak serta merta menghilangkan kepercayaan-kepercayaan sejenis lainnya. Agama-agama atau kepercayaan-kepercayaan baru selalu hadir untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh kepercayaan-kepercayaan lama yang dianggap gagal bersaing. Dan kepercayaan semacam inilah yang hari ini kita pegang dan imani.
Namun begitu perlu digaris bawahi bahwa perkembangan pengetahuan manusia tidak pernah sampai pada titik finalnya. Ia akan terus berubah dan berusaha mendapatkan jawab-jawaban ilmiah lainnya demi membawa ke pemahaman yang lebih baik tentang dunia dan fenomena-fenomena di sekitar kita tanpa melibatkan kekuatan-kekuatan adikodrati tertentu.
Dengan perkembangan pengetahuan inilah yang nantinya mengisi segala kekosongan pencarian kita atas jawaban-jawaban dalam hidup yang sebelumnya masih disandarkan pada kepercayaan agama. Karena mengingat bahwa pengetahuan selalu mengalami perkembangan terus-menerus, sedangkan keimanan hanya bertahan pada pengetahuan yang tetap tanpa ada perkembangan apapun.
Apakah kepercayaan kita saat ini juga akan menjadi mitos di masa depan?
Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah 'iya'. Manusia di masa depan mungkin akan menganggap kita sebagai masyarakat primitif dengan kepercayaan atau mitos-mitos yang melekat pada diri kita. Hal ini sama seperti ketika kita melihat masyarakat primitif sebagai masyarakat terbelakang dengan mitos dan kepercayaan mereka. Atau ketika kita melihat sejarah kehidupan nenek moyang bangsa kita dan meremehkan apa yang mereka percayai.
Maka dari itu, sebagai manusia yang mempunyai akal budi, patutlah kita hidup membiasakan diri dengan kebenaran rasional. Bukan membenarkan segala kebiasaan/tradisi yang sudah dilakukan sejak turun-temurun sekalipun tradisi itu tidak rasional sama sekali. Karena jika kita tidak mampu beradaptasi dengan kebenaran baru, maka kita tidak akan bisa bertahan lama dalam menghadapi tantangan perkembangan zaman. Inilah yang desebut Darwin sebagai Natural Selection: hanya spesies yang mampu ber-adaptasi-lah yang akan mampu bertahan.
Mengingat era industri sedang memasuki tahap 5.0 pada tahun 2040-2050, jelas pembiasaan diri dan terbukanya pikiran terhadap kebenaran baru sangat dibutuhkan dalam hidup.
Jangan mau menjadi seperti bangsa Mesir yang menutup diri dari kebenaran baru milik Musa. Jangan mau menjadi seperti bangsa Romawi yang menutup diri dari kebenaran baru milik Isa. Dan jangan mau menjadi suku Quraish yang menutup diri dari kebenaran baru milik Muhammad. Begitu pula di era sekarang, janganlah menutup diri dari kebenaran baru yang nantinya akan datang. Sebab setiap masa selalu memiliki kebenarannya masing-masing.
Penulis