Loading...

Pembaca di blog ini mungkin sudah melihat bahwa mereka yang menulis komentar di tulisan saya sering kali menunjukkan dua sikap yang menarik: ketidakpercayaan terhadap filsafat (jika tidak benar-benar menghina), dan pemujaan berlebihan terhadap sains. 

Ambil, misalnya, argumen yang sering saya ulang-ulang bahwa beberapa (tidak semua!) "ateis baru" mengambil sikap ilmiah dengan cara melebih-lebihkan kekuatan epistemologi sains namun menolak fakta bahwa sains juga bergantung pada gagasan non-empiris (filsafat) sebelum ia memulai penyelidikannya. 

Sepanjang karir saya, pertama sebagai seorang ilmuwan yang bergelut di bidang ini selama 27 tahun dan sekarang sebagai seorang filsuf, ditambah lagi oleh pengalaman saya di kedua bidang tersebut, saya percaya bahwa kedua disiplin tersebut (filsafat dan sains) pada dasarnya saling melengkapi dan sama sekali tidak saling bertentangan. Olehnya saya merasa bahwa mungkin inilah waktunya untuk membuat komentar panjang tentang kesalahpahaman ini.

Mungkin adalah tepat jika saya mengatasi masalah ini dengan kembali ke akhir tahun 2009, tahun yang tidak hanya menandai 150 tahun Origin of Species karya Charles Darwin (dan 150 tahun penerbitan On Liberty yang bisa dibilang lebih penting oleh John Stuart Mill), tetapi juga peringatan 50 tahun esai terkenal CP Snow "On The Two Cultures", yang membahas tentang kesenjangan intelektual antara sains dan humaniora.

Dalam esainya, Snow (dengan tegas) mengecam apa yang dia lihat sebagai sikap superioritas intelektual yang tidak dapat dibenarkan:“Berkali-kali saya hadir di pertemuan orang-orang yang, menurut budaya tradisional, dianggap berpendidikan tinggi, sekali atau dua kali saya terprovokasi dan bertanya berapa banyak dari mereka yang bisa menjelaskan Hukum Kedua Termodinamika. Tanggapannya dingin: juga negatif. Namun saya menanyakan sesuatu yang boleh dikata setara dengan apa yang mereka sebut ilmiah: Apakah kalian sudah membaca Shakespeare?"

Memang, orang bisa saja dianggap bodoh hanya karena belum pernah membaca Shakespeare, namun dalam kasus yang sama orang tidak bisa dianggap bodoh hanya karena tidak memahami prinsip kedua termodinamika. 

Namun masalahnya sama-sama berhenti di persoalan lain, seperti kutipan dari fisikawan Steven Weinberg ini (dalam bukunya Dreams of a Final Theory): “Gagasan para filsuf terkadang menguntungkan fisikawan, tetapi umumnya dalam cara yang negatif—melindungi mereka dari prasangka filsuf lain... Filsafat sains menurut saya merupakan penjelasan yang menyenangkan tentang sejarah dan penemuan sains.”

Di sini Weinberg membuat kesalahan dengan menganggap bahwa nilai filsafat hanya diukur dari kegunaannya dalam memecahkan masalah-masalah ilmiah. Kenapa harus begitu? Kita sudah punya sains untuk membantu kita memecahkan masalah ilmiah, sementara filsafat melakukan sesuatu yang lain meskipun dengan alat yang berbeda. Jadi mengapa kita harus membanding-bandingkan antara apel dan jeruk? Dengan cara yang sama, mengapa tidak sekalian saja Anda bertanya: Mengapa kritikus seni tidak melukis, misalnya, atau mengapa editor buku tidak menulis buku?

Untuk tujuan diskusi ini, saya mungkin boleh berasumsi bahwa kebanyakan kita pasti memiliki, setidaknya, beberapa pandangan tentang apa itu sains, jika bukan tentang seluk-beluk masalah epistemologis dan metafisik yang melekat di dalam sains. Sains, secara umum, berkaitan dengan penelitian dan pemahaman tentang fenomena-fenomena alam yang berkaitan dengan metode empiris (baik observasional atau eksperimental).

Sementara filsafat, di sisi lain, jauh lebih sulit untuk didefinisikan. Namun secara garis besar, filsafat dapat diartikan sebagai suatu aktivitas yang menggunakan akal untuk menggali persoalan-persoalan yang meliputi hakikat realitas (metafisika), struktur pemikiran rasional (logika), batas-batas pemahaman (epistemologi), makna yang tersirat oleh pikiran (filsafat bahasa), sifat kebaikan (etika), sifat keindahan (estetika), dan cara kerja disiplin-disiplin lain (filsafat ilmu, filsafat sejarah, dan berbagai “filsafat” lainnya). Filsafat melakukan semua ini dengan metode analisis dan pertanyaan yang mencakup dialektika dan argumentasi logis.

Nah sampai di sini saya kira sudah jelas bagi saya bahwa: a) filsafat dan sains adalah dua aktivitas yang berbeda (setidaknya saat ini, meskipun sains awalnya adalah cabang filsafat yang dikenal sebagai filsafat alam); b) filsafat dan sains bekerja dengan metode yang berbeda (pengujian hipotesis berbasis empiris vs analisis logis berbasis argumen); dan c) mereka saling bergantung satu sama lain (sains bergantung pada asumsi filosofis yang berada di luar lingkup metode empiris, di sisi lain penyelidikan filsafat juga harus merujuk pada sains yang menyediakan hasil penelitian di berbagai situasi).

Jadi, para komentator yang membela, misalnya, gaya Dawkins dan Coyne (ilmiah) dalam ateisme bahwa sains mampu menyerang semua agama sebenarnya terlalu memberikan begitu banyak ruang pemujaan untuk sains sembari menepikan filsafat. Oke, katakanlah sains mampu secara empiris menguji klaim agama tertentu (doa, janji dan ancaman, usia bumi, dll.), tetapi kritik terbaik terhadap, katakanlah, konsep tuhan yang mahabaik dan mahakuasa, bagaimana pun bersifat filosofis (terkhusus dalam diskursus teodisi), sebab sains tidak muluk mampu menyelidiki metafisika dan etika. Jadi, ketimbang mencoba menyombongkan diri pada kekuatan epistemologi sains semata, mengapa kita tidak mengakui bahwa cara yang paling efektif untuk menolak omong kosong agama adalah dengan menggabungkan sains dan filsafat?

Kesalahpahaman umum lainnya adalah bahwa filsafat, tidak seperti sains, tidak membuat kemajuan apapun. Klaim ini sama sekali tidak benar, kecuali seseorang mengukur defenisi kemajuan dengan standar-standar empiris (ilmiah). Itu seperti menuduh New York Yankees tidak pernah memenangkan gelar NBA. 

Yang mereka tidak pahami adalah bahwa filsafat membuat kemajuan melalui analisis dialektisnya. Analisis tersebut mampu menghasilkan kritik yang menyudutkan sistem atau gagasan tertentu, yang mengarah pada menguatnya atau melemahnya sistem atau gagasan tersebut, yang mana kemudian melahirkan analisis yang lebih kritis, baik dari sistem atau gagasan yang dikritisi atau pun yang baru, begitu seterusnya. 

Misalnya seperti teori etika (filsafat moral), atau teori tentang kesadaran (filsafat pikiran), atau tentang hakikat ilmu (filsafat ilmu), yang terus berkembang sehingga tidak ada filsuf kontemporer yang akan menganggap dirinya seorang utilitarian dalam arti asli seperti yang dimaksud oleh Jeremy Bentham, atau dualis Cartesian, atau Popperian—sama seperti tidak ada ilmuwan saat ini yang mau membela mekanika Newton, atau versi asli dari teori Darwin.

Menarik juga untuk dicatat bahwa proses filosofis yang baru saja saya jelaskan di atas mungkin tidak akan pernah mencapai hasil akhir, sama seperti sains! Sebagaimana filsafat, teori-teori ilmiah selalu tentatif (dapat berubah). Ia musti terus diperbaharui dan bahkan mungkin ditinggalkan demi teori-teori yang baru. Jadi mengapa kita rela hidup dengan ketidakpastian sains, namun di sisi lain terus menuntut filsafat untuk memberikan kita semacam kebenaran mutlak?

Sekarang mengapa begitu banyak orang yang lebih suka terlibat dalam perdebatan yang tidak masuk akal dan sia-sia, alih-alih bersukacita atas pencapaian pikiran manusia melalui upaya bersama dari dua tradisi intelektualnya yang paling terkenal ini? Saya kira jawabannya tidak berbeda dengan yang Snow katakan 50 tahun yang lalu bahwa orang-orang di bidang humaniora takut akan kolonisasi budaya (yang sebenarnya adalah agenda para saintis seperti EO Wilson, lihat karyanya Consilience: The Unity of Knowledge), sementara para ilmuwan menjadi begitu arogan karena pencapaian-pencapaian mereka dan uang yang mereka dapatkan.

Ini tentu adalah keadaan yang cukup menyedihkan, dan juga menjengkelkan. Meskipun ini sedang coba diatasi melalui beberapa kegiatan akademik (meskipun tidak selalu diprakarsai oleh para filsuf), seperti upaya "sci-phi" yang saya canangkan, dan/atau seperti Observatorium Permanen Human and Natural Sciences di Italia. 

Namun terlepas dari itu, mengatasi perdebatan atau kesalahpahaman ini adalah perjuangan yang berat, terutama di era di mana spesialisasi akademik yang semakin ketat, belum lagi dengan kemudahan di mana orang sekarang bisa menyesuaikan pengalaman intelektual mereka secara online hanya dengan membaca hal-hal yang sudah mereka minati atau penulis yang gagasannya mereka setujui. Yang sebenarnya adalah salah satu hal yang membuat forum khusus ini agak tidak biasa dan, setidaknya bagi saya, cukup merangsang. Jadi, singkirkan pendapat Anda, dan mari kita mulai diskusi sci-phi-nya (sains-filsafat)!


Tulisan ini telah dialih-bahasakan oleh Redaksi Sophia Institute dari artikel asli yang berjudul "On the Difference Between Science and Philosophy".

Massimo PigliucciProfessor Filsafat di City University di Lehman College, New York.
Lebih baru Lebih lama