Salah satu teman saya, akunnya baru-baru ini diblokir permanen di TikTok. Mengapa? Itu karena dia mengunggah satu video di mana dia menari tanpa memakai bra sehingga orang-orang bisa melihat bentuk puting di balik kaosnya yang kebesaran itu. Saya ulangi: kaos yang kebesaran!
Iya, aku tahu, janggal. Tetapi menurut platform itu, apa yang dilakukan teman saya melanggar pedoman komunitas karena dianggap menggambarkan 'aktivitas seksual.'
Saya juga punya akun TikTok, dan meskipun saya masih aktif di sana, beberapa video saya pernah dihapus karena alasan yang sama. Hampir semua konten kreator perempuan yang pernah saya ajak bicara beberapa bulan terakhir ini juga mengalami hal serupa.
Sayangnya, apa yang terjadi di media sosial tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di kehidupan nyata: Tidak mengenakan bra, memperlihatkan belahan dada, atau hanya sekadar punya payudara besar masih sering dianggap 'tidak sopan', 'vulgar', atau 'cabul'. Dan parahnya lagi, bukannya dibela, kita justru dianggap 'pamer' sehingga kita dianggap pantas untuk dilecehkan.
Ya!
Apakah masalahnya memang hanya karena kita tidak mengenakan bra dan tidak sengaja memperlihatkan belahan dada, ataukah ini hanya 'kebetulan' di mana kita berada di dalam tubuh yang 'kebetulan' juga memiliki payudara? Kapan obsesi terhadap payudara ini dimulai? Dan mengapa itu masih berlanjut sampai hari ini?
Payudara dan Puting Wanita Tidak Setabu Itu
Bertentangan dengan apa yang masih dipikirkan sebagian orang, kami (perempuan) sebenarnya tidak seburuk itu di dunia Barat dan di banyak tempat lainnya hanya karena payudara dan puting yang kami miliki. Dan ini bukanlah statement yang mengada-ngada, sejarah seni sudah membuktikannya.
Misalnya, varian paling awal Venus Pudica—pose figural klasik dalam seni Barat yang menggambarkan wanita telanjang—seperti Aphrodite of Cnidus yang berasal dari sekitar abad ke-4 SM, yang mana menunjukkan dewi telanjang yang menutupi alat kelaminnya tetapi membiarkan payudaranya terbuka. Selain itu, sudah banyak patung-patung, ukiran, dan lukisan dari zaman kuno dan di berbagai peradaban—seperti Minoa atau Yunani—yang sering menampilkan wanita tanpa busana dan menunjukkan payudaranya, baik pada saat upacara keagamaan maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Namun demikian, ada sesuatu yang aneh terjadi!
Beberapa abad berikutnya, patung Venus Pudica itu tiba-tiba saja mulai menutupi payudaranya yang mana menunjukkan bahwa orang dahulu merasa bahwa perempuan harus menutupi payudaranya demi menjaga apa yang mereka sebut sebagai 'kesopanan'. Menurut beberapa sejarawan, hal ini terjadi sekitar 3.000 tahun yang lalu sebagai akibat dari perubahan peran perempuan di masyarakat di mana perempuan mulai ditarik mundur ke rumah, melakukan kerja-kerja domestik, dan dijadikan mesin pengembangbiakan di bawah kekuasaan ayah atau suaminya. Tentu saja ini diperparah dengan munculnya agama-agama Ibrahim yang patriarkal. Dan payudara kita—yang dahulu pernah menjadi simbol kesuburan dan kecantikan itu—harus dijauhkan dari pandangan, seperti banyak bagian tubuh kita yang lain, dan hanya diperuntukkan khusus bagi majikan-majikan kita saja: para suami.
Meskipun payudara telanjang terus muncul dalam karya seni Barat selama beberapa abad berikutnya, namun itu jarang terjadi secara kebetulan dan maknanya tidak pernah sama lagi: Payudara kemudian melambangkan sifat keibuan (yang inferior), kebejatan moral, dan/atau erotisme.
Tapi mari kita ingat bahwa di sini kita hanya berbicara tentang pandangan laki-laki di bagian barat dunia saja. Karena dalam budaya lain—seperti di Afrika atau Pasifik Selatan—sekalipun di bawah intervensi misionaris Kristen dan Islam, perempuan tidak diharuskan menutupi payudaranya, dan bahkan di beberapa suku, mereka melepas kain bagian atas tubuhnya tanpa peduli apa yang dikatakan dunia dan juga pada cara pandang laki-laki terhadap mereka.
Keadaan ini hanya bisa terwujud jika laki-laki tidak lagi melakukan seksualisasi berlebihan terhadap tubuh kami dan juga menjelek-jelekkan bagian tubuh tertentu.
Payudara Kita Bukan Milik Kita
Jika saya berjalan dengan pakaian atas yang terbuka di luar rumah saya di London—seperti yang dilakukan sebagian besar masyarakat di sini pada hari-hari yang hangat—kemungkinan besar saya akan dilecehkan atau mungkin lebih buruk lagi. Mengapa? Apakah karena itu cabul? Tidak pantas? Vulgar? Saya masih bertanya-tanya tentang itu.
Seperti kebanyakan perempuan lain, saya sangat memahami sejak awal—bahkan sebelum saya benar-benar memiliki payudara—bahwa payudara kami bisa sangat berbahaya bagi keselamatan kami jika itu kelihatan, bahkan jika hanya belahannya saja. Dan olehnya saya mengerti bahwa payudara perempuan bukanlah milik perempuan. Sebaliknya, payudara kami adalah milik laki-laki asing di jalanan yang, entah bagaimana, punya kepercayaan diri yang tinggi dan begitu berani meneriakkan apa yang mereka pikirkan tentang tubuh kami di depan wajah kami.
Ya, payudara kita adalah milik anak-anak kita yang masih bayi. Payudara kita juga milik tuan-tuan kapitalis yang senang mengkormesialisasi tubuh kita—memajangnya di papan reklame, poster film, majalah, dan video musik, dan lalu menggunakannya untuk menjual apapun, mulai dari bir, burger, hingga mobil. Jadi apa pun yang kita lakukan dengan payudara kita—karena memang benda terkutuk itu melekat di tubuh kita—tampaknya semua orang tetap memiliki pendapatnya sehingga mereka seenak dengkul mengomentarinya, dan kemudian kita dipermalukan atau dilecehkan secara seksual atau mungkin keduanya. Betapa menyenangkannya bukan menjadi laki-laki?
Coba pikirkan saja:
1. Ketika kita memilih untuk menutupi payudara, kita disebut sok suci atau munafik. Meskipun jika payudara itu cukup besar untuk dianggap 'vulgar' terlepas dari pakaiannya, bahkan ketika kita mengenakan turtleneck pun kita tetap dianggap sedang 'memamerkan' payudara.
2. Ketika kita memilih untuk mengenakan pakaian yang menampakkan belahan dada, kita dikata-katai bahwa kita sedang 'pamer payudara', 'mengganggu kenyamanan', atau bahwa kita 'melakukannya untuk menggoda laki-laki.'
3. Hal serupa juga terjadi ketika kita memilih untuk tidak memakai bra. Atau tidak memakai bra yang tebal sehingga puting kita terlihat.
4. Jika kita memilih untuk tidak menyusui anak-anak kita, kita akan dihakimi dan dipermalukan karena dianggap menjadi 'ibu yang buruk'.
5. Tetapi jika kita memilih untuk menyusui mereka, kita mungkin dituduh menggoda—apalagi jika payudara kita dianggap menarik menurut standar manusia modern.
6. Dan jika kita memilih untuk menyusui di depan umum, semuanya jadi lebih kacau lagi.
Maka dari itu, di dunia ini, jika itu tentang payudara, Anda akan terkutuk jika Anda menunjukkannya, dan Anda akan tetap terkutuk jika tidak menunjukkannya!
Tidak, Anda Secara Biologis Tidak 'Diprogram' Untuk Berburu Payudara
Jika saya punya satu dolar untuk diberikan kepada setiap orang yang mengatakan kepada saya agar tidak mengeluh tentang semua poin-poin di atas karena mereka menganggap bahwa 'payudara memang merupakan organ seksual' dan 'laki-laki dirancang untuk berburu payudara,' bagus, maka sekarang Anda tahu dari mana kata-kata tersebut muncul: pikiran cabul!
Tapi, nyatanya tidak. Apa yang mereka katakan itu bertentangan dengan sains; laki-laki tidak 'terprogram' atau ditakdirkan untuk melihat payudara sebagai objek birahi. Selain itu, payudara juga bukanlah organ seksual! Itu adalah karakteristik seks sekunder. Dan puting perempuan adalah zona yang sensitif—sama seperti puting laki-laki. Jadi, jika memang puting laki-laki dan perempuan sama-sama bisa melepaskan hormon oksitosin ketika dirangsang, lalu mengapa hanya puting perempuan saja yang 'diserang' dan dilarang di media sosial dan juga di banyak tempat lain di seluruh dunia?
Selain itu, jika Anda benar-benar memikirkannya, puting laki-laki sebenarnya jauh lebih seksual dan tidak pantas karena tidak memiliki tujuan lain selain dirangsang oleh perubahan suhu atau aktivitas seksual. Sementara puting perempuan berbeda, ia punya tujuan tambahan: memberi makan bayi manusia! Apakah Anda pernah memikirkannya?
Ditambah lagi tubuh manusia sebenarnya punya banyak zona sensitif seksual seperti ujung jari, telapak tangan, atau telinga, jadi bukan hanya puting saja. Namun anehnya, tak satu pun dari zona sensitif tersebut diseksualisasi, digambarkan sebagai objek erotis, atau ditutupi selama ratusan tahun sebagaimana payudara dan puting. Itulah mengapa payudara sekarang dianggap sebagai benda yang 'tidak senonoh' di sebagian besar konteks. Khususnya, jika mereka tidak dihidangkan di altar tatapan laki-laki.
Tapi masalahnya—bahkan jika saya berusaha untuk tidak memperlihatkannya dengan mengenakan kaos paling longgar dan bra paling tebal sekalipun, laki-laki tetap masih bisa mengatakan bahwa saya punya payudara di balik pakaian saya. Di mata laki-laki payudara itu akan tetap terlihat. Itu akan tetap di sana. Dan itulah nasib sebagian besar perempuan: menjadi objek seksualisasi imajinasi laki-laki. Jadi bagaimana saya, yang hanya ada di dalam tubuh saya sendiri yang 'kebetulan' memiliki payudara dan yang hanya sibuk menjalani hidup saya sebagai manusia, malah dianggap 'tidak pantas', 'vulgar', atau 'cabul?' Bagaimana itu bisa diklasifikasikan sebagai 'aktivitas seksual' oleh platform media sosial?
Saya tidak memakai bra ya karena saya tidak merasa nyaman, dan saya juga tidak harus mengenakannya kecuali ketika saya ingin berlari. Dan apapun pilihan saya itu tidak ada hubungannya dengan menggoda kawanan laki-laki. Selain itu, ketika saya tidak mengenakan bra, itu bukan bararti saya mengajak siapa pun untuk memperlakukan saya seperti objek seks!
***
Ini adalah fakta sejarah yang mungkin hanya sedikit orang saja yang tahu bahwa pada tahun 1900-an di Amerika, laki-laki dilarang menunjukkan dada mereka karena dianggap sebagai hal tabu. Tetapi kemudian orang-orang berduyun-duyun turun ke jalan dan memprotes konstruk sosial tersebut. Dan, pada tahun 1936, para laki-laki akhirnya bebas berkeliaran sesuka hati tanpa mengenakan baju dan tentu saja tanpa khawatir dihakimi.
Meskipun kita masih belum setara dengan laki-laki dalam hal gender, apakah naif jika kita bermimpi bahwa suatu hari perempuan juga bisa duduk di luar tanpa penutup dadanya menikmati hari di musim panas yang terik? Dan melakukannya tanpa merasa takut dilecehkan dan tanpa ada pria yang melongo terengah-engah seperti anjing yang mengharapkan hadiah? Saya kira itu tidak naif.
Itulah keindahan sifat kita sebagai manusia—ia tidak selamanya diatur dalam gen biologisnya. Jadi, ya—saya percaya bahwa mungkin suatu hari kita tidak lagi melihat payudara dan puting perempuan sebagai sesuatu yang mengejutkan dan cabul di masa depan. Tetapi untuk sampai di kondisi tersebut, laki-laki harus berhenti melihat dan memperlakukan perempuan sebagai sesuatu yang terpisah dari mereka, dikategorikan, diklasifikasikan, dan lalu diadili. Perempuan harus mulai dipandang sebagai manusia seutuhnya.
Tulisan ini telah dialih-bahasakan oleh Redaksi Sophia Institute dari artikel asli yang berjudul "Are We 'Proudly Flaunting Our Boobs,' or Do We Simply Have Boobs and Exist?" atas izin penulis.
Penulis