Loading...

Selama satu generasi atau lebih, kita telah mendengar tentang beberapa keburukan dan teror yang mengatasnamakan Islam. Ada narasi-narasi penindasan di sekitar Islam, terutama ketika feminisme dan hak-hak seksual dan reproduksi, entah bagaimana, dituduh sebagai bagian dari agenda asing yang anti-Muslim. Taliban, misalnya, mengaku 'melindungi' perempuan Afghanistan dari apa yang mereka anggap sebagai gangguan yang dilakukan oleh nilai-nilai imperialis Barat kepada mereka. Ya, tentu saja, apa yang mereka sebut 'perlindungan' itu justru membawa kemunduran pada semua upaya pemberdayaan atau pendidikan perempuan.

Contoh lain dari gagasan Islam yang masih dianggap menghalangi perempuan Muslim untuk memperoleh otonomi atau hak yang layak mereka dapatkan adalah bahwa perempuan tidak mendapatkan warisan yang setara dengan saudara laki-laki mereka; undang-undang yang bertujuan untuk memperbaiki hal ini sedang dibahas di parlemen Mesir. Di sisi lain, di negara seperti Arab Saudi dan Qatar, serta beberapa desa Mesir, dan bahkan di beberapa komunitas Muslim di Eropa dan Amerika, perempuan tidak diperbolehkan bepergian dengan bebas, melanjutkan pendidikan tingginya atau, dalam beberapa kasus ekstrem, mendapatkan hak medis tanpa persetujuan dari wali laki-lakinya.

Perempuan Muslim masih berjuang demi hak mereka untuk turut berasimilasi dan berekspresi sepenuhnya di ruang publik tanpa terganggu oleh mereka yang menyuruh mereka untuk tetap di rumah. Mungkin kita harus menarik kembali landasan sejarah kita untuk memvalidasi lagi bagaimana eksistensi perempuan di ranah publik sekaligus memberi bukti ke seluruh dunia bahwa Islam seharusnya tidak boleh didefinisikan dengan cara sempit seperti itu. Karena suatu saat, Islam pasti akan membutuhkan semangat keterbukaan dan kebebasan yang sekarang sayangnya masih padam.

Feminisme telah menjadi kata yang kotor di banyak kalangan, terutama Muslim. Karena sebuah konsep yang disebarkan oleh Barat akan selalu dipandang dengan tatapan ketidakpercayaan, buruk, dan akhirnya, mau tidak mau, ditolak sebagai bid'ah. 

Di AS, diskusi untuk melarang aborsi masih sedang berlangsung; Ini tentu saja akan mengancam hak otonomi atas tubuh dan hak reproduksi perempuan. Sementara itu, secara historis, Islam telah memberikan hak kepada perempuan untuk melakukan aborsi dengan syarat-syarat tertentu – namun sekarang, jika ada seorang Muslim yang berani berbicara tentang hal ini, mereka secara otomatis akan dituduh kebarat-baratan dan tak beradab. 

Faktanya setiap upaya untuk mencapai kemajuan Islam harus merupakan kelanjutan dari upaya umat Islam; dari mereka yang telah mendahului kita. Di antara mereka yang membawa kemajuan dalam khazanah pemikiran Islam adalah filsuf yang dimabuk cinta ilahi, Muhyi al-Din Ibn al-Arabi. Ibn Arabi melihat manifestasi Tuhan tercermin di dalam hubungan setiap manusia: laki-laki dan perempuan. Meskipun dia seorang Muslim, tulisan-tulisannya telah menginspirasi banyak tokoh di seluruh dunia. Ibn Arabi percaya bahwa seksualitas adalah jalan metafisik, par excellence, menuju yang ilahi.

Seksualitas (gender) antara laki-laki dan perempuan selalu menjadi isu sentral bahkan dalam Islam ortodoks. Seperti yang pernah dikatakan oleh seorang pria non-Muslim kepada saya: "tentu saja pria mau masuk Islam – mereka bisa punya empat istri!" Tak perlu diragukan lagi bahwa poligami memang salah satu karakteristik agama kita yang paling populer di Barat dan dipublikasikan secara luas di mana-mana. Laki-laki, yang tidak bisa mengendalikan hawa nafsunya dibolehkan (bahkan konon disunnahkan) tidak hanya menikahi hingga empat istri secara bersamaan saja, tetapi juga dapat memiliki selir sebanyak yang mereka mau, 'pada masa itu'. Kepositifan seksual seperti ini dinormalisasi, dibukukan ke dalam undang-undang, dan dipersembahkan kepada laki-laki - namun tidak dengan perempuan, atau setidaknya tidak dengan cara yang sama. 

Sebaliknya, isu gender dalam Islam ortodoks dimanifestasikan dengan cara membungkus perempuan dengan pakaian yang menyembunyikan simbol-simbol feminitas mereka yang konon dapat membangkitkan nafsu di hati laki-laki yang lemah. Dalam pandangan ini, perempuan dikutuk karena seksualitas atau gender mereka, dan terkadang simbol seksualitas ini dihilangkan – baik secara metaforis, dengan menganggap bahwa perempuan tidak memiliki hak atas perasaan seksualnya, ataupun secara fisik, yang dalam beberapa kasus ekstrim menyebabkan mutilasi alat kelamin perempuan (sunat perempuan). Meskipun praktik ini sudah dilarang di Mesir dan ditolak sebagai praktik yang tidak Islami oleh al-Azhar dan Dar al-Iftaa, bentuk pemikiran atau tradisi kotor nan picik semacam ini masih memengaruhi kehidupan banyak Muslim.

Saya melihat bahwa konsepsi kolot semacam itu menunjukkan bahwa spiritualitas dan seksualitas, setidaknya bagi perempuan, adalah dua hal terpisah yang jika bertemu akan saling bertabrakan satu sama lain. Bahkan jika rumah tangga saya – sebagian besar terdiri dari perempuan, kecuali ayah saya – tidak selalu memberlakukan pembatasan interaksi dengan lawan jenis atau memaksakan jenis pakaian tertentu, tetap saja masih ada bayangan ketakutan bahwa perempuan Muslim yang baik harus benar-benar mematuhi ajaran agama yang keras. Saya bingung dengan perasaan tenang di rumah saya yang sangat bertentangan dengan apa yang diperintahkan kepada saya di luar rumah. Inilah sebabnya mengapa saya tertarik pada ajaran Ibn Arabi, di mana agama cinta mengalahkan agama yang menakutkan.

Ibn Arabi menyajikan gagasan filosofis tentang perempuan dan relasi gender antara laki-laki dan perempuan yang bertolak belakang dengan banyak doktrin ortodoksi Muslim saat ini. Bagi Ibn Arabi, kesatuan seksual atau gender adalah jalan multifaset menuju kehadiran ilahi. Ini adalah jalan yang memungkinkan manusia untuk mengetahui, menjadi, dan menyaksikan kehadiran Tuhan dalam keragaman keberadaan-Nya. Ibn Arabi melihat bahwa unsur-unsur feminin dan maskulin meliputi semua keberadaan, dan bahwa kesetaraan antara perempuan dan laki-laki sangat bersesuaian dengan kualitas yang terkandung di alam semesta ini. Dia berkata:

"Seorang perempuan dalam hubungannya dengan seorang laki-laki adalah seperti Alam Semesta dalam hubungannya dengan Perintah Ilahi, karena perempuan adalah tempat keberadaan anak-anak manusia (rahim), seperti halnya Alam dalam hubungannya dengan Perintah Tuhan adalah tempat manifestasi dari entitas-entitas tubuh jasmani."

Harmoni antara kualitas-kualitas feminin dan maskulin dalam kosmologis atau ontologis ini menciptakan lingkaran kehidupan yang tak tertembus. Di sini, gagasan Ibn Arabi berakar pada filsafat Yunani kuno, terutama Plato yang oleh Ibn Arabi sebut sebagai "orang bijak". Menurut Ibn Arabi, relasi antara sifat maskulin dan feminin bukanlah hanya tentang utilitasnya - melainkan keduanya juga saling melengkapi dan menyeimbangkan gerak kosmik di mana masing-masing saling tarik-menarik satu sama lain. Kisah-kisah kuno tentang penciptaan pun juga menawarkan ide serupa tentang hasrat dan harmonisasi antara feminin dan maskulin.

Dalam The Bezels of Wisdom, Ibn al-'Arabi menulis:

"Kemudian Allah mengeluarkan darinya (laki-laki) makhluk menurut citranya sendiri, yang disebut perempuan, dan karena dia (perempuan) muncul dalam citranya (laki-laki) sendiri, laki-laki itu merasakan kerinduan yang mendalam padanya (perempuan) sebagai sesuatu yang merindukan dirinya sendiri, sementara dia (perempuan) merasa merindukannya (laki-laki) sebagai seseorang yang merindukan tempat miliknya (rumahnya)."

Laki-laki dan perempuan sama-sama mengingat bentuk asli dari keberadaan kosmologi mereka mula-mula. Perasaan yang dimiliki laki-laki terhadap perempuan adalah salah satu kelemahan di mana 'seluruh' merindukan bagiannya, sementara perasaan perempuan adalah perasaan yang terputus dari asalnya, rumahnya. Laki-laki yang menyimbolkan rumah bagi seorang perempuan dalam filsafat Ibn Arabi menjungkir balikkan konsepsi umum di mana perempuan selalu dikaitkan dengan 'rumah' sejak era Aristoteles yang memisahkan ranah publik dan privat dan menempatkan laki-laki di ruang publik, sementara perempuan di ruang privat, atau rumah. Ini bertentangan dengan filsafat Ibn Arabi di mana laki-laki diasosiasikan dengan rumah. 

Meskipun gagasan harmonisasi gender Ibn Arabi berasal dari kisah penciptaan 'kuno', dia menggambarkan feminin dan maskulin sebagai duo organik yang saling menginginkan dan saling melengkapi dengan intensitas yang sama; Perempuan dan laki-laki sama-sama mencari suatu kesatuan dari kualitas gender mereka dengan memenuhi teleologi aslinya yang berpuncak pada kesatuan seksual.

Bagi Ibn Arabi, hubungan seksual bukan semata-mata tentang penyatuan organik antara feminin dan maskulin yang nafsunya mendorong mereka untuk bersatu di alam fisik. Hubungan ini juga mengantar pada pencerahan menuju cakrawala metafisik dengan meniru tindakan awal penciptaan; Menggambarkan persatuan seksual sebagai sesuatu yang ilahi. Dia menulis:

"Persatuan terbesar antara laki-laki dan perempuan sama seperti berbaliknya Allah pada apa yang telah Dia ciptakan menurut citra-Nya sendiri, untuk menjadikannya (ciptaan-Nya) khalifah-Nya, sehingga Dia dapat melihat diri-Nya di dalam dia (ciptaan-Nya)."

Dalam persatuan feminin dan maskulin ini ruang yang lebih intim akan terbuka: ruang yang kreatif dan interpretatif. Selain itu, relasi antara kualitas feminin dan maskulin lebih bersifat dialogis, sebab tidak ada dominasi antara satu kualitas atas kualitas lain - keduanya menyatu dalam kesenangan orgasme yang sekilas akan mendorong pertanyaan 'Siapa aku?' dalam kebingungan ekstasi seksual. Ibn Arabi menekankan bahwa kesenangan yang dialami seseorang dalam proses ekstasi tersebut adalah kesenangan bertemu dengan yang ilahi.

Dengan demikian, wajah Tuhan yang tertutupi dari mata manusialah yang memanggil kita untuk bersatu di alam fisik - mendekati-Nya melalui orgasme keindahan dan kekaguman yang bisa dialami di hadirat Tuhan. Olehnya, melalui cinta, kebahagiaan, dan puncak ekstasi yang memabukkan, kita dimaksudkan untuk mengalami manisnya iman.


Tulisan ini telah dialih-bahasakan oleh Redaksi Sophia Institute dari artikel asli yang berjudul "From sexual union to the divine – the teachings of Ibn al-‘Arabi" atas izin penulis.

Heba Yosry Mengajar psikologi dan filsafat di Kairo
The Lovers (1039 AH/1630 CE), by Riza-yi ‘Abbasi. Courtesy of The Met Museum, New York
Lebih baru Lebih lama