Bukan lah kebetulan jika standar kecantikan kerap menjadi momok yang mendegradasi jati diri dan mengurangi rasa percaya diri perempuan; Tidak sedikit perempuan yang menilai diri mereka tidak cantik karena berkulit gelap atau cokelat. Tidak sedikit perempuan menilai dirinya jelek karena memiliki rambut ikal dan keriting. Tidak sedikit perempuan merendahkan diri mereka sendiri hanya karena memiliki tubuh gemuk.
Memaknai cantik merupakan sesuatu yang sangat melekat dalam diri kaum hawa. Cantik itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang indah dan menarik. Meskipun banyak yang menyadari bahwa cantik itu relatif, namun hegemoni budaya pop dan media mainstream tentang standar kecantikan sering kali menganggu dan mengusik kepercayaan diri banyak perempuan.
Bagi saya cantik itu memang relatif; tergantung siapa yang melihat. Karena yang kita katakan cantik belum tentu cantik menurut orang lain.
Apakah saya cantik? Ya tentu saja saya akan menjawab bahwa saya cantik. Dan saya menyadari bahwa jawaban atas pertanyaan itu mungkin akan berbeda jika ditanyakan kepada orang lain. Namun itu bukan lah hal yang penting. Yang jelas, pertanyaan yang paling relevan yang dapat kita ajukan saat ini adalah mengapa standar kecantikan itu ada?
Standar kecantikan pada dasarnya merupakan konstruksi masyarakat. Olehnya jawaban tentang cantik-tidaknya seseorang selalu bergantung pada selera individu. Sangat subjektif.
Adanya standar kecantikan ini sering kali membuat perempuan mudah membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain yang ia anggap telah memenuhi standar kecantikan yang ada. Bukan hanya itu, standar kecantikan juga membuat seseorang rela melakukan apa saja demi mencapai konsepsi ideal terkait kecantikan, seperti di Jepang.
Sebagian masyarakat Jepang tertarik dengan seorang yang memiliki gigi gingsul dan menganggap gingsul sebagai standar kecantikan tersendiri bagi mereka, terutama perempuan. Ini membuat mereka terdorong untuk memenuhi standar tersebut dengan melakukan Yaeba, sebuah prosedur penambahan gigi di atas gigi untuk membuat gingsul.
Mengapa mereka menyiksa diri dengan melakukan itu semua? Padahal semua perempuan itu cantik terlepas daripada bentuk tubuh, warna kulit, maupun gaya rambutnya. Tidak ada standar atau patokan kecantikan yang dapat di generalisasi, sebab kecantikan bukan soal bentuk tubuh dan warna kulit, namun soal selera individu. Maka dari itu, tidak ada kecantikan yang objektif. Kecantikan bergantung pada persepsi setiap orang. Jadi jangan pernah merasa diri rendah jika tubuh dan wajah kita tidak seperti orang lain, karena kecantikan fisik bukan lah segala-galanya.
Oleh karena itu cantik tidak harus putih. Cantik tidak harus kurus. Cantik tidak harus langsing. Cantik tidak harus berambut lurus. Cantik tidak harus berhidung mancung. Semua perempuan cantik selama mereka nyaman dengan diri mereka sendiri. Kita, perempuan, masih punya pikiran dan hati untuk terus bertumbuh, olehnya mari belajar menghargai diri sendiri.
Penulis