Loading...

Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar nama Baruch Spinoza? Kita tahu dia adalah salah satu filsuf besar di era Renaissance Eropa: pemikir yang membuka jalan baru bagi metafisika, epistemologi, dan filsafat. Magnum opusnya, the Ethics, pun masih menjadi sumber inspirasi sampai hari ini. 

Kita tahu bahwa dia adalah salah satu pelopor mazhab rasionalis yang muncul pada abad ke-17. Namun terlepas dari semua itu, kebanyakan kita mungkin sudah tahu tentang pandangannya mengenai agama: Spinoza terkenal ateis.

Di masanya, Spinoza dicap sesat dan dituduh telah menyepelekan peran Tuhan dalam urusan manusia di dunia. Ketika dia diusir dari komunitas Yahudi di Belanda di usianya yang ke-23 tahun akibat gagasan-gagasannya, ia justru lebih memilih menjadi orang asing yang "tidak beragama" dengan menolak masuk Kristen. Dia menolak mukjizat dan kehidupan setelah mati. Bahkan dia menantang Alkitab. Tidak mengherankan jika Theologico-Political Treatise-nya kemudian dimasukkan ke dalam daftar buku-buku terlarang Gereja Katolik.

Bahkan setelah beberapa abad, gagasannya tetap menuai banyak kecaman. Namun mereka yang berusaha menumbangkan doktrin agama menjadikan Spinoza sebagai sumber inspirasi. Bahkan Percy Shelley merujuk pada Spinoza dalam esainya "The Necessity of Atheism." Albert Einstein juga pernah berkata bahwa dia beriman pada "Tuhannya Spinoza". Ini adalah bukti bahwa saintis terbesar pun tidak punya waktu untuk mendengarkan takhayul.

Dalam buku terbarunya, Clare Carlisle berusaha menyelamatkan Spinoza dari mereka yang salah paham pada gagasannya. Profesor filsafat di King's College London dan penulis biografi terbaru Søren Kierkegaard ini juga mengedit terjemahan Ethics George Eliot. Carlisle berpendapat bahwa Spinoza adalah penulis radikal yang lembut pada agama; menganggapnya sebagai "ateis" atau "panteis" itu terlalu menyederhanakan pemikirannya. 

Dalam usaha untuk melukiskan gambaran yang lebih meyakinkan tentang Spinoza, Carlisle mencoba menjelaskan salah satu filsafat agama yang paling menggugah pikiran ini—yang mungkin menawarkan jalan bagi mereka yang memiliki kecenderungan "spiritual" yang tinggi namun tidak ingin terikat pada agama-agama formal.

Spinoza, yang lahir di Amsterdam pada tahun 1632, menolak untuk beriman secara fanatik pada dogma agama yang kaku pada zamannya, dengan alasan bahwa setiap orang harus mengambil jalannya sendiri-sendiri dalam memutuskan apa yang harus mereka percayai.

Dia membenci pemikiran agama yang terorganisir (terutama agama-agama Abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Islam), karena ia menilai bahwa agama hanya akan memicu delusi dan sektarianisme. Selain itu, Spinoza juga menganggap bahwa otoritas agama telah salah memahami apa sebenarnya Tuhan itu. Bagi Spinoza, otoritas agama telah memutarbalikkan kebenaran dan merusak pikiran umatnya; Mereka jatuh pada ilusi tentang Tuhan yang antroposentris: makhluk luar yang ikut terlibat dalam urusan-urusan manusia di dunia.

Di sini peran Tuhan mirip dengan seorang raja, keluh Spinoza, Dia memberikan hadiah untuk pengabdian dan hukuman bagi pendosa. Akibatnya, orang-orang yang percaya pada Tuhan semacam itu cenderung dimotivasi oleh rasa takutnya daripada kebajikan. Bagi Spinoza, mengkhotbahkan ancaman atau murka Tuhan dalam beribadah bukanlah pondasi yang kokoh untuk membangun agama; janji-janji keselamatan dan azab Tuhan menyebabkan ketidakstabilan emosional manusia, dan ini tidak sesuai dengan jalan hidup yang bijak. 

Dalam sepucuk suratnya kepada Albert Burgh, yang baru saja memeluk agama Katolik (dan kemudian menjadi walikota Amsterdam), Spinoza menulis: “Setelah menjadi budak gereja, kau cenderung dibimbing oleh ketakutanmu akan neraka, alih-alih dibimbing oleh kasih-karunia Tuhan.”

Selain karena menentang ortodoksi—dan institusi agama, jenis Tuhan yang digaungkan Spinoza juga membuka pintu gerbang menuju ateisme. Itulah mengapa Spinoza disebut ateis. 

Spinoza berpendapat bahwa segala yang ada berada di dalam Tuhan. Tuhan bukanlah sesuatu yang jauh, namun Dia adalah sesuatu yang berada di sekitar kita. Tidak ada sesuatu pun di alam semesta ini yang terpisah dari-Nya: baik manusia, hewan, ataupun benda mati. Gagasan ini kemudian hari dikenal dengan sebutan “panteisme”, di mana Tuhan diidentikkan dengan alam. Akibatnya, Spinoza dituduh mengingkari perbedaan ontologis antara Tuhan dan ciptaan-Nya, sehingga ia dinilai telah meremehkan Sang Pencipta.

Lambert van Velthuysen, gubernur Utrecht yang semasa dengan Spinoza, menulis bahwa "agar tidak dikecam karena takhayul," Spinoza "menolak semua agama." “Saya tidak berpikir saya telah menyimpang jauh dari kebenaran, atau berlaku tidak adil pada penulis, jika saya mencela dia karena telah menggunakan argumen terselubung dan palsu untuk menyebarkan ateisme murni,” tulisnya tentang Theologico-Political Treatise.

Namun, karakterisasi atas pemikiran Spinoza di atas pada dasarnya keliru. Filsafat Spinoza sama sekali tidak meremehkan Tuhan, apalagi menolak Tuhan. Memang benar bahwa, dalam konsepsinya, Tuhan tidak terpisahkan dengan alam. Namun hanya karena Tuhan tidak terpisahkan dari dunia bukan berarti Dia identik dengan dunia itu. Bagi Spinoza, Tuhan itu berbeda, sebab ada hubungan ketergantungan yang hanya berjalan satu arah: kita secara konstitusional bergantung pada Tuhan, tetapi Tuhan tidak bergantung pada kita.

Bagi Spinoza, keberadaan kita dan segala sesuatu yang ada merupakan manifestasi dari kuasa Tuhan. Carlisle menggunakan istilah "menjadi-di dalam-Tuhan" untuk menggambarkan aspek pemikiran Spinoza ini. Dilihat dari perspektif ini, konsepsi Spinoza tentang iman nampaknya akan membawa banyak keuntungan: Dia berhasil menciptakan kedekatan metafisik dengan Tuhan tanpa menyangkal transendensi-Nya. Tuhan ada di sini di antara kita, namun dalam arti tertentu, Dia juga berada di luar kita. Carlisle melangkah lebih jauh lagi dengan mengklaim bahwa filsafat Spinoza, jika dipahami dengan baik, mungkin bisa menopang agama dalam melawan serangan ateisme. 

Sikap tegas dan penolakan Spinoza atas antropomorfik Tuhan dalam agama-agama formal ini kelak membuka jalan bagi Tuhan yang baru, yang duduk terpisah dari alam semesta dan, setelah menciptakan dunia, Dia membiarkannya begitu saja, bergerak sesuai dengan hukum mekanik yang ada. Tuhan Spinoza selalu mempertahankan kedekatan-Nya dengan alam semesta.

Spinoza dalam beberapa hal juga mengikuti tradisi Kristen dalam konsepsinya tentang yang ilahi. Biarawan abad ke-8 John dari Damaskus mengatakan bahwa "kepada Tuhan segala sesuatu ditujukan, dan di dalam Tuhan mereka berada." Pada abad ke-4 M, Agustinus juga menulis bahwa "segala sesuatu ada di dalam Tuhan," sebuah pandangan yang kemudian digaungkan oleh Aquinas. Spinoza pada gilirannya menggemakan semua gagasan tersebut dan menelusuri kembali cara berpikir Yesus: "Bahwa segala sesuatu ada di dalam Tuhan dan bergerak di dalam Tuhan, saya tegaskan, saya katakan, dengan Paulus."

Kesamaan yang paling mencolok juga ada pada Anselmus, teolog terkemuka abad ke-11, yang dalam doanya berkata kepada Tuhan: "Di dalam-Mu aku bergerak dan di dalam-Mu pula aku berada," lebih jauh: "Meskipun tidak ada yang bisa tanpa-Mu, tidak ada di tempat atau waktu kecuali semuanya berada di dalam-Mu. Karena tidak ada yang mengandung Engkau, namun Engkau lah mengandung segala sesuatu."

Berada di dalam Tuhan bukan hanya tentang realitas ontologis, namun juga sebuah keharusan bagi penempuh jalan spiritual. Anselmus berkata: "Aku berdoa, ya Tuhan, agar aku mengenal-Mu dan mencintai-Mu, sehingga aku dapat bergembira di dalam-Mu." Spinoza sampai pada kesimpulan serupa dalam sistem filsafatnya. Segala sesuatu ada di dalam Tuhan, tetapi kita dapat berpartisipasi secara penuh dalam kodrat ilahi melalui akal dan pemahaman intuitif kita tentang ke-Mahahadiran Tuhan. Semakin kita berhasil melakukan ini, semakin tinggi pula tingkat kebahagiaan yang akan kita capai; semakin tinggi kebahagiaan yang kita capai, maka semakin dekat lah kita untuk saling berbagi di dalam kesempurnaan.

Iman Spinoza memiliki dimensi praktis yang mampu membimbing tindakan orang beriman. Dia menulis: “Kebaikan yang diinginkan setiap orang yang mencari kebajikan untuk dirinya sendiri, dia juga menginginkan orang lain; dan keinginan ini akan lebih besar sebab pengetahuannya tentang Tuhan juga lebih besar.” Agama yang benar adalah agama yang di bangun atas cinta kasih.

Tentu saja, Spinoza dan pendahulunya berbeda pendapat dalam beberapa pertanyaan, seperti keberadaan malaikat, kehidupan setelah kematian, dan apa yang dianggap sebagai "Zat" fundamental. Selain itu, Spinoza juga menolak teleologi Abad Pertengahan, karena jelas sebagian besar filsafatnya sangat modern, baik tema maupun konsepnya. Dia sangat tertarik dengan penemuan-penemuan ilmiah. Karena bagaimanapun juga, dia bekerja di bidang ilmu optik, bahkan lensa teleskopik buatannya banyak digunakan oleh para astronom terkemuka. Namun begitu, tidak dapat dinafikkan, bahwa dia juga mendapatkan banyak inspirasi dari sumber-sumber yang, pada masanya, sangat ortodoks.

Spinoza mengatakan bahwa pertanyaan terbesar dari semuanya adalah pertanyaan tentang: Apa itu Tuhan? Apa hubungan kita dengan Dia? Bagaimana saya harus bertindak berdasarkan pengetahuan tersebut? Spinoza menjadi contoh bagi mereka yang tertarik untuk mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan radikal semacam ini dengan cara mereka sendiri, dipandu oleh apa yang mereka anggap benar tanpa dipengaruhi oleh dogma-dogma agama yang telah diajarkan kepada mereka sejak kecil. Jadi, siapa pun yang tertarik dengan filsafat agama tetapi tidak nyaman dengan ajaran-ajaran yang ortodoksi harus membaca Spinoza.

Iman memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Spinoza menjawab tuduhan Van Velthuysen, salah satu dari banyak orang yang menuduhnya telah menolak semua agama: “Apakah seseorang yang menyatakan bahwa Tuhan harus dipandang sebagai kebaikan tertinggi, dan bahwa Dia harus dicintai dengan bebas, telah membuang semua agama? Apakah seorang yang berpendapat bahwa kebahagiaan dan kebebasan tertinggi terdiri atas cinta Tuhan ini tidak beragama? Atau bahwa pahala kebajikan adalah kebajikan itu sendiri, sedangkan hukuman kebodohan dan kelemahan adalah kebodohan itu sendiri? Dan akhirnya, bahwa setiap orang harus mencintai sesamanya dan mematuhi perintah dari kekuasaan tertinggi?” Di sini kita dapat melihat keseriusan Spinoza dalam memandang Tuhan.

Spinoza meninggal di usia yang masih muda, kemungkinan karena penyakit pernapasannya yang semakin parah karena menghirup debu kaca. Hari ini dia diabadikan sebagai salah satu filsuf paling menarik. Carlisle telah memberikan kita sajian yang luar biasa dengan menawarkan penggambaran yang meyakinkan dan baru—sekaligus mengingatkan kita bahwa kita tidak akan pernah bisa menghabiskan keagungan dari tulisan-tulisan Spinoza.


Tulisan ini telah dialih-bahasakan oleh Redaksi Sophia Institute dari artikel asli yang berjudul "Spinoza’s God: Einstein believed in it, but what was it?" atas izin penulisnya.

Alex Dean, editor senior di Prospect Magazine.
Lebih baru Lebih lama