Beberapa libertarian tidak menyadari perbedaan antara feminisme libertarian dan feminisme lainnya. Mereka bahkan mengkritik feminis libertarian tanpa mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan feminisme libertarian atau bahkan feminisme itu sendiri. Esai ini adalah salah satu upaya untuk memperjelas kebingungan tersebut.
Feminis libertarian percaya, sebagaimana kelompok feminisme lainnya, bahwa perempuan dan laki-laki musti memiliki kebebasan yang sama. “Feminisme pada intinya menuntut agar perempuan diperlakukan sebagai manusia yang merdeka,” tulis ilmuwan politik feminis Drucilla Cornell—keyakinan yang sangat disetujui oleh feminis libertarian.
Keyakinan kami pada kebebasan, seperti libertarian lainnya, didasarkan pada gagasan mengenai hak individu dan kebebasan bagi setiap orang. Seperti feminisme lain, kami menolak stereotip peran gender yang membatasi otonomi perempuan dan laki-laki untuk menjadi apa yang mereka mau sebagai individu yang merdeka. Seperti feminisme lain, kami juga setuju bahwa baik perempuan maupun laki-laki telah dirugikan oleh stereotip ini. Keyakinan kami pada individualisme lah yang membuat kami menolak gagasan stereotip peran gender atau stereotip lain yang membatasi pilihan individu; Ini termasuk stereotip ras, etnis, dan seksualitas serta stereotip lain yang dibuat oleh kelompok masyarakat.
Bagi kami, kefanatikan adalah pelanggaran terhadap individualisme. Pada tingkat individu dan psikologis, pun kami percaya pada otonomi individu dan hak setiap individu untuk membuat pilihan atas hidupnya sesuai dengan keinginan mereka. Seperti yang telah saya uraikan dalam esai saya yang lain, tentang masalah ini, kami mengikuti jejak filsafat feminisme individualis yang telah datang sebelumnya.
Namun ada banyak hal yang membedakan feminisme libertarian dengan feminisme lain. Misalnya, filsuf feminis, Nancy Hirschman, menegaskan bahwa "kebebasan negatif" dan "kebebasan positif" diperlukan bagi perkembangan otonomi dalam sebuah masyarakat feminis. Dari sudut pandang feminis libertarian, dengan mengklaim bahwa setiap individu memiliki “hak” atas makanan dan tempat tinggal, itu berarti orang lain harus menyediakan dan memenuhi hak tersebut. Mungkin tidak jadi masalah jika itu dilakukan secara sukarela oleh semua orang, namun jika orang-orang yang memberikannya tidak melakukan itu dengan sukarela (terpaksa), itu artinya kebebasan mereka telah dilanggar.
Memaksa satu orang untuk menafkahi orang lain adalah pelanggaran "kebebasan negatif." Dari sudut pandang feminisme libertarian, "kebebasan negatif" adalah kebebasan yang paling konsisten, sesuai dengan teori kami tentang hak. Terlalu menitikberatkan pada "kebebasan positif" sampai mengabaikan "kebebasan negatif" dalam pandangan kami merupakan ciri-ciri tirani.
Banyak feminis, seperti Hirschmann, berpendapat bahwa tanpa kebebasan positif yang diberikan oleh negara, perempuan miskin dan kurang beruntung tidak akan dapat mencapai kebebasannya. Sulit untuk bebas, kata mereka, ketika pilihan seseorang terbatas akibat kemiskinan dan kurangnya pendidikan. Kami, sebagai feminis libertarian, tidak setuju dengan pernyataan Hirschmann yang terakhir. Para feminis ini tidak mampu memikirkan cara lain selain bergantung pada negara untuk bagaimana menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang memungkinkan terciptanya kehidupan yang mandiri. Kami sangat mengerti kekhawatiran mereka. Namun, bagi kami, ada cara lain yang lebih baik untuk membantu setiap orang memenuhi haknya—melalui, misalnya, masyarakat; Di mana masyarakat dapat saling membantu satu sama lain, atau bisa juga melalui beberapa jenis kelompok swasta atau organisasi nirlaba.
Feminis libertarian setuju dengan feminis lain tentang sifat dan bahaya patriarki. Masyarakat patriarki adalah masyarakat di mana struktur kekuasaan didominasi oleh laki-laki, baik dalam kelompok masyarakat yang terorganisir maupun dalam hubungan antar individu. Alih-alih mengatakan bahwa laki-laki secara individu menindas perempuan, sebagian besar feminis menegaskan bahwa penindasan perempuan berasal dari bias pemikiran yang mendasari masyarakat patriarki. Artinya, struktur sosial masyarakat patriarki secara implisit, dan kadang-kadang eksplisit, mendefinisikan perempuan sebagai makhluk kelas dua (sekunder), dan olehnya mereka memiliki kewajiban untuk tunduk pada laki-laki.
Standar yang digunakan untuk menilai semua individu dalam masyarakat patriarki adalah standar maskulin yang mendefinisikan bahwa apa yang dilakukan oleh laki-laki sebagai hal yang "wajar". Di sisi lain, perempuan dianggap sebagai bentuk “penyimpangan” atas norma. Budaya patriarki semacam ini, seperti budaya lain, sebagian besar tidak dapat dilihat oleh mereka yang berada di dalam budaya tersebut sehingga wajar jika sebagian besar anggotanya tidak melihat bahwa ada masalah dalam budaya mereka. Mereka menerima struktur kekuasaan yang maskulinis ini sebagai hal normal dan masuk akal; beberapa dari mereka bahkan melangkah lebih jauh untuk menyerang gagasan feminisme tentang "patriarki" tanpa benar-benar memahaminya.
Filsuf feminis Bell Hooks mendefinisikan feminisme sebagai gerakan yang bertujuan untuk mengakhiri penindasan patriarki dan segala bentuk penindasan lainnya. Feminis libertarian tentu setuju dengan agenda tersebut. Namun kami melihat ada masalah dalam narasinya. Jika feminisme lain bertujuan untuk mengakhiri “segala bentuk penindasan,” maka dari perspektif feminisme libertarian, bahwa mengakhiri patriarki dengan cara menggunakan kekuasaan yang koersif tidak sesuai dengan tujuan tersebut.
Kami melihat bentuk pemerintah yang koersif sebagai bentuk lain dari patriarki, apakah pemerintahan tersebut didominasi oleh laki-laki, seperti kita sekarang, ataupun pemerintahan yang dijalankan oleh perempuan dan laki-laki secara merata. Yang jelas, siapapun yang menjalankan atau mendominasi pemerintah yang koersif semacam itu, baik laki-laki maupun perempuan, itu tidak akan mengubah sifat memaksa dari pemerintahan tersebut.
Seperti yang dinyatakan dalam makalah Asosiasi Feminis Libertarian(Association of Libertarian Feminists) pada tahun 1975: “…beralih ke pemerintah hanya mengubah jenis penindasan yang dihadapi perempuan saja. Alih-alih terbebani sebagai ibu atau istri, kita justru terbebani sebagai pembayar pajak. Beralih ke pemerintahan untuk menyelesaikan masalah kita hanya menggantikan penindasan oleh patriarki yang kita kenal—ayah, suami, bos—ke penindasan oleh patriarki yang tidak kita kenal—gerombolan legislator dan birokrat yang terus mencongkel setiap sudut dan celah kehidupan kita!”
Kelompok liberal (defenisi yang berbeda dari libertarian) terbukti gagal dalam melihat arti dari kebebasan perempuan—atau laki-laki—sementara mereka sendiri didominasi oleh pemerintah koersif. Tuntutan kelompok feminis dengan menggunakan kekuatan negara yang koersif (memaksa) jelas masih menggunakan penindasan patriarki sebagai mekanismenya. Seperti yang dinyatakan dalam makalah diskusi Association of Libertarian Feminists: “Jika tujuan kita adalah otonomi pribadi dan kebebasan individu, seharusnya kita tidak boleh mengambil hak individu atau orang lain dalam memilih jalan kebebasan bagi diri mereka sendiri. Jika kita mengesahkan undang-undang dengan cara memaksakan nilai-nilai kita kepada orang lain, maka kita tidak ada bedanya dengan orang-orang yang memaksakan nilai-nilai mereka kepada kita melalui undang-undang.” Dalam hal ini, feminis Catherine MacKinnon yang mengajukan undang-undang anti-pornografi pada prinsipnya tidak lebih baik daripada kelompok Republik yang mengajukan undang-undang anti-aborsi.
Dari sudut pandang feminisme libertarian, mengharapkan solusi pemerintah (yang koersif) untuk memecahkan masalah-masalah seperti diskriminasi dalam pekerjaan dan kurangnya kesetaraan upah gender, bukan hanya tidak konsisten secara filosofis, itu bahkan tidak akan berjalan dengan baik. Faktanya, hal itu justru memperburuk keadaan seperti yang telah ditunjukkan oleh banyak esai-esai libertarian. Sebagaimana yang dikatakan penyair dan aktivis feminis Audre Lourde, “Peralatan seorang tuan tidak akan pernah merusak rumah tuannya. ”
Pada awal abad ke-20, penulis feminis libertarian Suzanne LaFollette memperingatkan bahaya dari kebijakan pemerintah bagi kebebasan individu. “Kecenderungan undang-undang modern adalah untuk mengorbankan hak individu demi kepentingan orang lain; dan bagi individu 'yang kebetulan' mendapatkan manfaat dari pengorbanan individu lain tersebut, ingatlah bahwa ada orang lain yang menderita karenanya.” Kata-katanya memang bersifat kenabian, seperti yang banyak dilakukan oleh para penulis libertarian lain.
Meminta bantuan pemerintah itu rumit dan juga berbahaya. Selain itu, negara terus berubah. Kekuasaan terus berpindah tangan. Pandangan bahwa suatu hari pemerintah akan berada di tangan orang yang baik adalah naif dan jauh lebih buruk dari fantasi. Faktanya, saat ini ada bahaya nyata yang dihadapi perempuan akibat undang-undang di negara bagian yang memberlakukan banyak pembatasan baru pada kebebasan reproduksi perempuan, seperti yang telah dilakukan undang-undang sebelumnya.
Kekuasaan itu menggoda. Gunakan kekuatan negara untuk kebaikan, kata kebanyakan feminis. Namun mereka lupa, selama berabad-abad kekuasaan selalu digunakan untuk menindas perempuan. “Saya tahu tidak ada argumen yang lebih baik daripada filsafat anarkisme;” tulis LaFollette, "karena tidak ada bukti yang jelas mengenai ketidakmampuan manusia untuk menjadi penjaga bagi saudara-saudara mereka selain kegagalan laki-laki, selama ribuan tahun, dalam memimpin perempuan."
Sudah banyak libertarian dan anarkis memperingatkan kita tentang godaan kekuasaan, namun sayang, hanya sedikit saja yang menghiraukannya. “Kekuasaan selalu berbahaya,” tulis seorang anarko konservasionis dan novelis Edward Abbey. "Kekuasaan menarik yang terburuk dan merusak yang terbaik." Namun banyak feminis yang berasumsi bahwa dengan bimbingan mereka, semua akan baik-baik saja. Mereka percaya bahwa mereka tidak akan merusak. Namun sejarah justru menunjukkan sebaliknya.
Mungkin banyak feminis yang keberatan dan berkata “tapi yang kami lakukan berbeda. Kami membantu perempuan dan orang-orang tertindas. Kami memberikan suara kepada mereka yang sebelumnya tidak bersuara.”
Feminis libertarian sebenarnya tidak begitu mempersoalkan tujuan ataupun metode kelompok feminis lain. Apakah mereka, seperti filsuf John Rawls, memberikan hak penuh kepada semua orang—di mana mereka mendefenisikan apa yang mereka sebut "masuk akal"? Apakah hanya orang-orang yang setuju dengan mereka saja yang bebas dari paksaan? Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak sependapat? Bagaimana dengan mereka yang ingin membantu perempuan dan kaum tertindas dengan cara yang berbeda? Apakah mereka akan dipaksa juga? Apakah pemaksaan itu dibenarkan demi "kebaikan yang lebih besar"? Apakah mereka yang tidak percaya pada liberalisme, sosialisme/komunisme, dan Marxisme akan diabaikan? Jika ya, lalu apa bedanya dengan masyarakat patriarki?
Dari sudut pandang kami sebagai feminis libertarian, itu sama saja. Pemaksaan adalah pemaksaan, tidak peduli seberapa mulia tujuannya! Karena "kekuasaan yang merusak" bukan hanya berlaku di tangan laki-laki saja, namun juga perempuan. Mengapa kita ngotot bahwa tujuan yang mulia tetap mulia sementara sejarah dengan tegas justru mengatakan sebaliknya?
Jadi, sembari berbagi tujuan dengan feminisme lain (dan ya, ada banyak jenis feminisme,) feminis libertarian sangat memahami betapa berbahayanya kekuasaan itu. Dan ketika feminis libertarian mengatakan bahwa mereka menginginkan kebebasan bagi setiap orang, baik perempuan maupun laki-laki, mereka betul-betul serius.
Tulisan ini telah dialih-bahasakan oleh Redaksi Sophia Institute dari artikel asli yang berjudul "How is Libertarian Feminism Different From Other Feminism?" atas izin penulisnya.
Penulis