Dulu, dulu sekali. Berkaca pada pengalaman saya sendiri, saya pernah mempunyai “keyakinan” kalau umat beragama lain (di luar agama saya) itu adalah orang-orang yang ber-IQ jongkok karena menyembah dan menuhankan benda-benda seperti patung.
Apakah nalar sehat mereka itu di-hack
permanen oleh setan, atau apakah Tuhan memang sebegitu lucunya sehingga membuat
dagelan dengan menciptakan orang-orang bodoh di luar keyakinan agama saya itu?
Bahkan mereka tidak menyembah satu patung atau satu batu berhala yang dijadikan
kiblat tunggal, melainkan menyembah dan menghormat pada banyak patung.
Jadi begitulah pikiran saya saat itu,
bahwa kebodohan umat agama lain memang berlapis-lapis dan akut; Selain meyakini
jika Tuhan itu berwujud patung dengan seni indah yang mereka ciptakan sendiri,
mereka juga meyakini bahwa Tuhan itu sangat banyak, bukan Tunggal, bukan Esa
seperti dalam Pancasila yang merupakan falsafah negeri ini.
Namun, apakah faktanya memang seperti
itu? Apakah benar umat beragama lain itu adalah orang-orang dengan nalar
primitif yang menyembah dan menuhankan patung, sehingga perlu dicerahkan
kejahiliyahannya? Apakah benar ajaran agama-agama lain itu tidak sesuai dengan
sila pertama Pancasila dan maka dari itu patut diusir dari negeri ini?
Ternyata oh ternyata! Semua itu
hanya iman jahat dan kegoblokan radikal saya sendiri; Sebuah kebodohan polos
yang sangat memalukan.
Setelah mempelajari pemikiran Psikologi
Perkembangan Jean Jacques Rousseau (yang selanjutnya - mempengaruhi ajaran
spiritual Jiddu Krishnamurti dan Osho), akhirnya saya tahu kalau semua
keyakinan jahat nan bodoh itu sesungguhnya tidak berakar dari kesadaran
primordial atau kesadaran alamiah saya, melainkan berawal dari “pengondisian”
racun pemikiran ngawur yang dijejalkan oleh masyarakat dan lingkungan sosial di
mana saya berada.
Maka wajar jika dulu saya merasa begitu pede
dan jumawa dengan kebodohan saya dalam memandang umat agama lain. Sehingga
tanpa mempelajari ajaran dasar agama mereka, pun saya sudah merasa paling
mengerti dan paling tahu ajaran dan seluk-beluk kesesatan mereka. Bahkan saya
pikir dulu saya tidak hanya terjangkiti iman yang bodoh saja namun juga
terjangkiti iman yang penuh kedurhakaan.
Bagaimana tidak, dulu saya bukan hanya
“menyakini” jika agama-agama produk impor lain penuh kebodohan, bahkan saya
juga “menyakini” jika spiritual asli yang lahir di negeri ini juga penuh
kebodohan, di mana para leluhur saya anggap begitu bodoh karena tidak tahu
mengenai hal sepele tentang keesaan Tuhan, sehingga perlu diberitahu oleh
bangsa dari negeri lain.
Saya juga sempat berpikir, begitu
bodohnya leluhur kita memuja dengan penuh sembah pada pohon-pohon, punden,
gunung, laut, dan bahkan orangtua sendiri dengan tradisi sungkem. Jadi apakah
leluhur kita nalarnya juga “pingsan” sebagaimana penganut agama-agama impor
lain di luar agama saya?
Begitulah saya, terus bertanya dan
bertanya, berpikir dan berpikir, menelisik dan menelisik, dan tentu tidak
ketinggalan terus membaca dan membaca dari beragam sudut pandang yang lain.
Dari situlah akhirnya saya banyak mendapatkan kejanggalan demi kejanggalan yang
menghantam kepala saya.
Jika memang umat-umat agama lain itu
benar-benar ber-IQ jongkok, namun mengapa kok malah umat mereka yang banyak
menemukan temuan-temuan saintifik yang berguna bagi kemanusiaan secara
universal? Jika memang leluhur bangsa ini dulu adalah orang-orang bodoh tak
bernalar yang menyembah berhala, lalu mengapa bangsa ini bisa menghasilkan
banyak candi megah seperti Borobudur dan Prambanan, bukankah pembuatan candi
semegah itu memerlukan hitungan matematis dari nalar yang logis? Juga bahkan
pembuatan Keris, Batik, ilmu seni tari dan pencak silat, mustahil semua itu
bisa diciptakan oleh orang yang ber-IQ jongkok. Jika leluhur kita ber-IQ
jongkok, mungkin mereka hanya bisa membuat kain selubung wajah dan daster
kedodoran yang tidak punya nilai estetis sama sekali!
Beranjak dari pertanyaan-pertanyaan
tersebutlah kemudian saya secara intensif mempelajari keimanan agama-agama lain,
juga tidak ketinggalan ajaran spiritual asli yang lahir di negeri ini. Semua
itu saya lakukan semata-mata demi mendapatkan jawaban, apakah agama lain yang
ada di negeri ini dan spiritualitas asli leluhur itu merupakan ajaran yang
bodoh atau bukan.
Ajaran Leluhur dan Buddha dalam Martabat
Tujuh
Sejauh pemahaman saya selama ini, yang
paling tinggi dalam ajaran Islam itu adalah Tasawuf, dan yang paling tinggi
(yang seringkali menjadi pengetahuan yang dirahasiakan) dalam ajaran Tasawuf
itu adalah ajaran Wahdatul Wujud (Manunggaling Kawulo Gusti) yang
salah satunya terekam dalam konsep ajaran Martabat Tujuh.
Jika dalam Tasawuf kita masih berbicara
soal isi kitab Ihya karangan Al-Ghazali atau kitab Al-Hikam dari
Ibn Atha’illah yang berisi terapi psikologis dan renungan-renungan syar’i, maka
ya ‘nuwun sewu’, harus saya katakan, jika ajaran semacam itu belum
termasuk wejangan Tasawuf tingkat tinggi sebagaimana yang diajarkan oleh Ibn
Arabi, Syekh Siti Jenar, dan Sunan Kalijaga yang mana menjadi basis spiritual
keraton-keraton Jawa pasca Majapahit.
Ajaran Martabat Tujuh yang merupakan
kristalisasi Tasawuf Ibn Arabi tersebut adalah wejangan ketuhanan yang
menjelaskan bagaimana asal-muasal kejadian makhluk. Martabat Tujuh itu
meliputi:
- Martabat Ahadiyah: Tuhan
dalam Dzat mutlak-Nya yang tak bisa digambarkan, tak bernama, dan tak bersifat.
- Martabat Wahdah:
Tuhan dalam kemilau Cahaya Kemuliaan (Nur Muhammad) yang telah turun kelas dari
Dzat mutlak-Nya.
- Martabat Wahidiyah: Tuhan
dalam kemilau Cahaya Kemuliaan yang turun kelas sehingga mempunyai Asma
(Nama), Sifat, dan Af’al (Perbuatan).
- Alam Arwah:
Tuhan yang turun kelas lagi dengan bermanifestasi menjadi arwah atau ruh-ruh
manusia.
- Alam Mitsal:
Nafs atau badan halus manusia yang merupakan turunan dari ruh.
- Alam Ajsam:
Kristalisasi budi atau kesadaran yang merupakan unsur terpenting dari Nafs.
- Alam Insan Kamil:
Manusia yang telah terhijab atau terlingkupi sempurna dengan tubuh fisik atau
raga.
Beranjak dari ajaran Tasawuf Martabat
Tujuh di atas lah, akhirnya saya melihat agama-agama lain dan spiritualitas
asli leluhur dengan lebih objektif dan bijak.
Pertama,
mengenai spiritualitas ajaran leluhur: Apakah mereka benar-benar menyembah dan
menuhankan unsur-unsur alam sebagaimana yang dituduhkan selama ini?
Kenyataannya tidak!
Mereka malah bertuhan pada Tuhan yang
berada pada martabatnya yang tertinggi yaitu Martabat Ahadiyah yang tak bisa
digambarkan dan diungkapkan lewat kata-kata. Itulah mengapa di ajaran spiritual
Jawa asli tidak pernah ada ritual penyembahan terhadap Tuhan. Lha wong
Tuhan kan bukan Makhluk. Bagaimana bisa ada ritual sembah sujud kepada sesuatu
yang di luar Wujud?
Nah, untuk itulah sembahyangnya
spiritual Jawa asli adalah dengan sedekap tapa hening, karena toh Sang
Suwung atau Tuhan dalam Martabat Ahadiyah hanya bisa dijumpai dengan kejernihan
batin, bukan dengan ritual gerakan tubuh atau serangkaian puja-puji.
Kalau seperti itu, lantas mengapa
spiritual asli Jawa juga memberi sembah hormat terhadap sungai, pohon, gunung,
laut, dan bahkan orang tua?
Semua itu tidak lain dimaksudkan untuk
menciptakan tata kehidupan yang harmonis yang saling berendah hati untuk
menghormati sesama saudara semesta. Dan tentu mereka sadar sepenuhnya, jika
Sang Suwung takkan pernah salah paham dan mempersalahkan mereka, toh
bagi spiritual asli Jawa yang semestinya diberi sembah hormat itu adalah
manusia (terutama Ibu dan Guru) dan saudara se-semesta yang lain (unsur-unsur
alam). Sementara Tuhan, Dia bukan untuk diberi “sembah hormat” melainkan
“dijumpai” secara intensif dalam keheningan.
Jadi jika masih ada yang bilang orang
Jawa dulu sebelum Islam itu tidak mengenal Tauhid, maka akan kuteriaki di
kuping mereka: "Orang Jawa pra-Islam tidak kenal Tauhid matamu!"
Bahkan tauhid mereka itu jauh lebih murni karena langsung mengimani Tuhan dalam
Dzat Mutlak-Nya atau dalam Martabat Ahadiyah.
Sama halnya dengan ajaran Buddha yang
juga masuk ke negeri ini. Jangan dikira mereka menyembah berhala sebagaimana
persangkaan dogmatis kebanyakan orang. Umat Buddha sebagaimana spiritual asli
Jawa, Tauhid mereka juga langsung berkiblat pada Martabat Ahadiyah atau Sang
Suwung yang tak terpikirkan dan tak terucapakan.
Olehnya mengapa, ibadah utama mereka
juga adalah meditasi/tapa bukan ritual fisik dan puja-puji. Bahkan menurut saya,
umat Buddha ini lebih ekstrim Tauhidnya, sebab mereka tidak pernah membicarakan
Tuhan yang sesungguhnya, karena memang seharusnya Tuhan tak dapat dibicarakan
lewat kata-kata.
Mungkin ada yang masih bertanya: Tapi
kok umat Buddha juga bersujud pada patung Buddha sebagaimana sujudnya orang
Muslim ketika sholat?
Itu hanya bentuk tradisi sungkem untuk
menghormati guru yang berasal dari kebudayaan India. Bagi umat Buddha, Sang
Buddha tidak lain dan tidak bukan hanyalah Guru. Dia bukan dewa pencipta atau
Tuhan. Dan dalam tradisi India, menghormati guru, kakak, dan orang tua adalah
keharusan, dan penghormatan itu dapat dilakukan dengan tiga macam cara:
Menyentuh kaki, berjalan memutari orangnya, atau bersujud.
Nah, jadi jika melihat umat Buddha yang
sedang bersujud pada patung Buddha, itu tidak lain adalah bagian dari tradisi
ketakziman pada guru agung yang sudah meninggal. Tidak lebih. Hal ini bisa
disamakan dengan para santri NU yang memiliki tradisi berjalan jongkok dan cium
tangan kepada para kyai, dan bahkan di rumah mereka juga banyak terpampang
foto/gambar dari kyai-kyai yang menjadi guru mereka.
Hindu
Mengenai Hindu, mungkin ada yang
bertanya, apakah umat Hindu itu penyembah berhala dan tidak tahu tentang
keesaan Tuhan atau Tauhid?
Perlu digaris bawahi bahwa Hindu itu
cabangnya sangat beragam, namun secara garis besar bisa dibagi dua yaitu:
Mereka yang bertuhan pada Saguna Brahman dan mereka yang bertuhan pada Nirguna
Brahman.
Dalam perspektif ajaran Tasawuf Martabat
Tujuh, mereka yang mengimani Saguna Brahman (Tuhan Yang Bersifat) itu
bisa dikatakan mengimani Tuhan dalam Martabat Wahidiyah (Tuhan yang mempunyai Asmaul
Husna, Sifat, dan Af’al). Nah, sementara mereka yang mengimani Nirguna
Brahman (Tuhan Yang Tidak Bersifat dan Tidak Bisa Digambarkan) itu sama
persis dengan mengimani Tuhan Dzat Mutlak dalam Martabat Ahadiyah.
Umat Hindu yang mengimani Saguna
Brahman biasanya mempunyai devosi atau ibadah pemujaan terhadap dewa-dewi
dengan segenap ritual dan mantra, hal ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan umat
Islam yang suka bersholawat dan mewiridkan bacaan asmaul husna tertentu.
Sedangkan umat Hindu yang mengimani Nirguna Brahman, biasanya juga tidak
berdevosi pada dewa-dewi tertentu, mereka lebih suka berkiblat/bersamadhi
langsung kepada Sanghyang Acintya, Tuhan Mutlak Tak tergambarkan.
Dalam konteks Tasawuf, hal ini juga
tidak jauh berbeda dengan penekun suluk yang menjalani meditasi dzikir nafas
untuk bisa memakrifati (mengenali) Tuhan dalam martabat mutlak-Nya (Ahadiyah).
Jadi sampai di sini, jika masih ada yang
beranggapan sebelum kedatangan Wali Songo peradaban Majapahit adalah peradaban
yang tidak mengenal Tauhid atau keesaan Tuhan, maka satu hal yang perlu sampean
tahu, bahwa lakon wayang Dewa Ruci yang penuh wejangan Tauhid yang dianggit
Sunan Kalijaga itu tidak lain hanyalah modifikasi dari lakon Nawaruci yang
dianggit oleh Mpu Siwa Murti pada masa Jawa pra-Islam. Bahkan muatan isinya pun
juga sama persis. Sunan Kalijaga hanya menerjemahkannya sesuai terminologi
Islam.
Jadi jangan kira, sebelum kedatangan
Wali Songo orang-orang Nusantara dahulu tidak mengenal Tauhid, tidak mengenal
makrifat, atau tidak mengenal Sangkan Paraning Dumadi. Orang Jawa
dahulu, tanpa Islam pun, sungguh sudah sangat fasih dan tahu benar tentang
semua pemahaman semacam itu, termasuk Tauhid.
Kristen
Ini yang terakhir dan mungkin agak
sensitif: Apakah saudara kita, umat Kristen, menyembah berhala atau Tiga Tuhan?
Sekali lagi saya ingin menggunakan
perspektif dari ajaran Martabat Tujuh. Bahwa sesungguhnya anggapan umat Kristen
menyembah Tiga Tuhan dan maka dari itu tidak patut dimasukkan dalam konteks
agama monoteisme itu sesungguhnya adalah kesimpulan gegabah yang tidak memahami
pengajaran ketuhanan dan jalan rohani dari Kristen.
Sesunggunhya Trinitas Kristen itu tidak
lain hanyalah penempatan posisi ketuhanan dalam Martabat Ahadiyah (Allah Bapa
Yang Mutlak Tak tergambarkan), Martabat Wahdah/Nur Muhammad (Allah Putra),
Martabat Alam Arwah/Rasulullah/Utusan Allah (Roh Kudus).
Jadi Allah Bapa, Allah Putra, dan Roh
Kudus itu bukan Tiga Tuhan melainkan sama seperti pemahaman Tasawuf mengenai
“tiga kesatuan tunggal” antara Allah, Muhammad, dan Rasulullah atau Allah,
Muhammad, dan Adam sebagaimana dalam wejangan simbolik iwak telu sirah
sanunggal dari Tarekat Syattariyah.
Jadi jika hari ini masih ada yang
beranggapan bahwa umat Kristen itu menyembah Tiga Tuhan, jika nalar culun
seperti itu dipakai, maka para penghayat ajaran Tasawuf Martabat Tujuh itu pun
juga bisa dikatakan menyembah Tujuh Tuhan. Sebab dalam ajaran Martabat Tujuh, Tuhan
itu bertajalli atau bermanifestasi dalam Tujuh lapis martabat. Sedangkan
dalam pemahaman teologi Kristen juga sama seperti itu: Tuhan berinkarnasi atau
bermanifestasi dalam tiga derajat atau tiga martabat.
Jadi saya kira jelas bahwa Kristen itu
juga mengenal Tauhid sebagaimana Hindu, Buddha, dan Spiritual Jawa. Selain itu,
sebagaimana Hindu, Buddha, dan Spiritual Jawa yang memberi hormat pada
ikon-ikon bendawi bukan dalam rangka menyembahnya sebagai Dzat Tuhan Yang
Mutlak (Ahadiyah), umat Kristen (Katolik) memberi puja hormat pada patung
Yesus, Bunda Maria, Santo-Santa juga hanya sebagai kiblat washilah atau
perantara spiritual semata, tidak jauh berbeda dengan para santri NU yang hobi
ziarah kubur para wali, melakukan doa barzanji, manaqib, dan tawassul.
Sebab sesungguhnya semua agama itu tidak
terlepas dari pemberian hormat dan sakralitas akan sesuatu hal yang bisa memicu
munculnya semangat spiritual. Imaji pendukung ikonoklasme (kaum puritan
perusak patung, makam, relik, lukisan, dan citra-citra religius) sebagaimana
yang dianut Wahabisme (dalam konteks Islam) pada akhirnya akan menemui
kebuntuan dan utopia. Sebab sesungguhnya yang lebih berbahaya itu bukan
kultus-kultus bendawi, namun kultus pemberhalaan terhadap pemikiran, ide, dan
ajaran yang merasa dirinya paling benar.
Sekian.
Salam Rahayu dan Salam Perdamaiaan untuk
saudaraku dari segala iman keagamaan.
Penulis