Sejarah panjang mencatat di negeri kita bagaimana stigma Komunisme melekat di dalam pikiran masyarakat. Pasca meletusnya tragedi 65-66, dan Soeharto berhasil memenangkan jabatan presiden RI, propaganda kebencian terhadap komunis mulai masif disebarkan ke seluruh Indonesia. Di antara propaganda yang mutakhir adalah dengan melalui film G30S/PKI. 32 tahun kejayaan Orde Lama, tentulah merupakan waktu yang sangat efisien untuk menancapkan suatu stigma kepada masyarakat.
Berlanjut ke masa Reformasi. Meskipun propaganda tersebut tidak semasif di masa Orde Lama, pelarangan buku-buku kiri membuat masyarakat sulit mengakses kebenaran di balik stigma tersebut. Salah satu stigma yang paling melekat terhadap Komunisme adalah bahwa orang-orang komunis itu anti agama.
Di Indonesia sendiri, yang mayoritas Islam, bukanlah hal yang mengherankan jika Komunisme kerap dibenturkan dengan ajaran-ajaran Islam. Saya sengaja menulis ini untuk menjawab kebenaran hal tersebut, karena beberapa buku kiri yang berhasil saya dapatkan dan artikel-artikel yang saya telusuri terkait hubungan antara Komunisme dan Islam.
Komunisme adalah idelogi yang diusung oleh salah seorang filsuf Materialisme, Karl Marx. Jadi untuk membahas ideologi komunis, kita harus mengenal terlebih dahulu bagaimana corak pemikiran pencetusnya.
Meskipun Karl Marx seorang materialis, namun di dalam Materialisme sendiri masih terdapat beberapa cabang-cabangnya. Salah satu cabang materialisme yang dengan keras menolak sesuatu yang abstrak seperti Tuhan adalah Materialisme Mekanik. Materialisme Mekanik memusatkan hakikat kebenaran pada materi yang berwujud seperti atom-atom. Namun, Karl Marx, sebagai penggagas Komunisme, bukan bagian dari Materialisme Mekanik ini. Dia menganggap bahwa Materialisme Mekanik terlalu konservatif karena menolak hal-hal esensial/abstrak. Itulah mengapa Marx membuat aliran Materialismenya sendiri: Materialisme Dilektik.
Materialisme Dialektik merupakan pandangan yang menganggap segala sesuatu bertentangan namun saling berkaitan. Dalam Materialisme Dialektis bukan hanya benda yang berwujud dan berbentuk saja yang dianggap sebagai materi, namun juga pola-pola yang notabene abstrak itu pun juga materi; Contoh sosial. Kita tidak bisa melihat bentuk atau wujud sosial itu seperti apa, namun kita bisa mengetahui bahwa sosial itu ada melalui suatu pola masyarakat yang dapat kita saksikan.
Di samping itu, saya kira perlu untuk di garis bawahi bahwa Marx masih seorang yang beragama. Sejak kecil ia beragama Yahudi dan di usia remajanya ia mengikuti jejak orang tuanya yang berpindah agama dari Yahudi menjadi Katolik. Tidak ada satu literatur pun dari Marx yang secara eksplisit mengatakan bahwa dirinya seorang ateis, sebagaimana banyak orang percaya saat ini.
Karl Marx secara khusus sebenarnya tidak mengkritik agama. Apa yang ia kritik adalah para otoritas yang menjalankan agama yang menurutnya telah menyulitkan hidup masyarakat. Karena bagi Marx, agama bukanlah faktor utama dalam kesengsaraan masyarakat. Di sisi lain, ia juga menganggap bahwa agama pada dasarnya merupakan bentuk protes terhadap penderitaan nyata. Namun pada masa itu sampai hari ini, agama cenderung diperalat dan dikontrol oleh segelintir orang dan membuat mereka yang protes terhadap penderitaan nyata diubah menjadi bentuk kesenangan khayalan yang oleh Marx sendiri ia sebut sebagai Opium atau candu masyarakat. Inilah yang melatarbelakangi ucapan fenomenalnya: "Agama adalah candu masyarakat."
Belum lagi tidak jarang orang-orang ini (para agamawan) menjual agama demi keuntungan diri mereka sendiri. Berapa orang menyebut tindakan mereka (orang yang mencari keuntungan pribadi dari agamanya) sebagai "orang-orang yang sibuk menjual tuhan."
Maka dari itu, jika kita melihat kritikan Karl Marx tentang agama, kita seharusnya sadar bahwa kritikan tersebut bukanlah ditujukan kepada keimanan terhadap agama, namun kepada praktik-praktik keagamaan yang dikontrol oleh para pemuka-pemuka agama yang membuat agama menjadi melenceng jauh dari makna sebenarnya, yaitu memberikan kedamaian, baik secara jasmani maupun ruhani.
Melawan Kapitalisme
Ajaran inti Karl Marx yang dituangakan dalam Komunisme adalah sikap anti terhadap Kapitalisme dan anti kelas-kelas sosial dalam ekonomi yang berlaku di masyarakat. Maka dari itu, salah satu impian Karl Marx bagaimana menciptakan kehidupan tanpa kelas, atau singkatnya: Keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.
Kapitalis adalah mereka yang menguasai alat-alat produksi untuk kepentingan diri mereka sendiri dan menggunakan kuasa mereka atas alat-alat produksi tersebut untuk mengeksploitasi mereka yang tidak memilikinya (para buruh), hal inilah yang ditentang oleh Karl Marx dalam Komunismenya. Karena sistem Kapitalisme inilah mengapa sistem kelas dan tatanan sosial terbentuk, sehingga mereka yang memiliki alat-alat produksi (kaum kapitalis) berada di tataran kelas atas, dan mereka yang tidak memilikinya (kaum proletar/buruh) berada di tataran kelas bawah. Kaum proletar atau buruh inilah yang sering menjadi sasaran eksploitasi yang dilakukan oleh para kapitalis.
Tentu pandangan yang anti terhadap eksploitas manusia oleh manusia di atas sangat erat kaitannya dengan ajaran agama, wa bil khusus Islam. Dalam Islam, orang-orang yang tereksploitasi oleh kapitalisme disebut sebagai kaum Mustad'afin (kaum tertindas). Jika melihat lebih jauh, Islam juga sangat menetang keras sistem Kapitalisme ini. Jelas di dalam Al-Qur'an - terdapat banyak sekali ayat-ayat yang mengutuk orang-orang yang memperkaya dirinya sendiri dan mencari keuntungan dengan merugikan (baca: mengeksploitasi) orang lain.
Kehidupan Tanpa Kelas
Poin kedua yang terkandung dalam Komisme adalah bagaimana menciptakan kehidupan tanpa kelas. Beberapa teolog berpendapat bahwa makna tauhid adalah membuat semua umat manusia itu setara, tidak ada yang ditinggikan dan/atau menempatkan dirinya di atas orang lain, selain Allah SWT yang Maha Esa.
Ahmad Amin memberikan penafsirannya tentang kalimat Laa Ilaaha Illallah. Menurutnya, orang-orang yang berkeinginan memperbudak sesamanya berarti ingin menjadi Tuhan, padahal tidak ada Tuhan selain Allah; orang-orang yang berkeinginan menjadi tiran berarti ingin menjadi Tuhan, padahal tidak ada Tuhan selain Allah; penguasa yang berkeinginan merendahkan rakyatnya berarti ingin menjadi Tuhan, padahal tidak ada Tuhan selain Allah. Kita menghargai setiap manusia apa pun keadaannya dan dari manapun asalnya, yang penting bisa menjadi saudara bagi sesamanya.
Demokrasi, sosialisme, dan keadilan sosial dalam makna yang sesungguhnya akan dan semakin berjaya karena mengajarkan persaudaraan, dan ini merupakan salah satu konsekuensi dari kalimat syahadat, tiada Tuhan selan Allah.
Keadilan
Poin ketiga, jika kehidupan tanpa kelas tercipta maka keadilan pun datang. Beberapa teolog dan ahli fiqih berpendapat bahwa, keadilan ekonomi, politik, dan sosial merupakan masalah pokok dalam ajaran Islam. Ibnu Taimiyah, seorang ahli hukum Islam, berpendapat dalam buku "Zia-ul-Haq" bahwa keadilan itu ada pada posisi sentral dalam ajaran Islam. Lebih jauh ia berpendapat bahwa kehidupan manusia di muka bumi akan lebih tertata dengan sistem yang berkeadilan, meskipun disertai oleh perbuatan dosa, dari pada dengan tirani (kekuasaan yang tidak adil) dari seorang yang alim.
Asghar Ali Engineer dalam bukunya "Islam dan Teologi Pembebasan," mendukung pandangan Ibnu Taimiyah di atas dengan beperdapat bahwa Allah SWT membenarkan negara yang berkeadilan meskipun harus dipimpin oleh seorang yang kafir, dan menolak negara yang tidak menjamin akan memberikan nilai-nilai keadilan meskipun negara itu dipimpin oleh seorang muslim. Ia juga menambahkan bahwa dunia akan bertahan dengan keadilan dan kekafiran, namun tidak dengan ketidakadilan dan Islam.
Tentu masih banyak hal lain yang berkaitan antara ajaran Karl Marx dan Komunismenya dengan ajaran Rasulullah SAW dalam Islam yang belum sempat saya jelaskan satu per satu dalam tulisan ini. Namun terlepas dari itu, sebenarnya ada banyak sekali tokoh-tokoh pergerakan Islam yang mendukung ajaran Karl Marx ini, di antaranya: Soekarno (Presiden pertama RI), Tan Malaka (Pahlawan Indonesia), Haji Misbach (Tokoh pergerakan SI merah), Ali Syariati, Asghar Ali, Hasan Hanafi, dan banyak lagi lainnya yang belum sempat saya jelaskan satu-persatu pandangan mereka terkait pembahasan ini.
Namun, yang jelas, dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan bahwa ajaran Islam dan Komunisme Karl Marx sangat berkaitan erat, dan bagi Karl Marx sendiri, ia dan Komunismenya tidak pernah mendeklarasikan sistem yang anti terhadap agama. Narasi tentang "agama adalah candu" yang selalu dianggap sebagai akar dari pertentangan dua ajaran di atas haruslah menjadi pembacaan ulang bagi kita semua.
Ajaran agama terkhusus Islam dan Komunisme Karl Marx sama-sama menginstruksikan kita untuk melawan segala bentuk ketimpangan sosial berupa eksploitasi, akumulasi, dan eksploitasi, demi tercapainya kebahagiaan yang hakiki, yaitu masyarakat yang berkeadilan dan tanpa kelas, sehingga hanya satu saja yang memiliki kelas tertinggi yaitu Allah SWT, Tuhan semesta alam. Ini mengingatkan saya dengan salah satu slogan para penganut Marxisme: Sama rasa, sama rata. Persis seperti ketika kita sholat berjamaah: Berdiri sama tegak, duduk sama rata.
Penulis