Loading...
Transformasi Perguruan Tinggi di Indonesia: Antara Inisiasi, Reputasi, dan Kesenjangan

Tahun ini dunia perguran tinggi dikejutkan dengan rilis kembali daftar terbaru beberapa ilmuwan paling berpengaruh di dunia yang masuk ke dalam daftar Top 2% World Ranking Scientists.   

Tiga peneliti asal Stanford University, yakni Prof. John Ioannidis, Jeroen Baas, dan Kevin Boyack memublikasikan hasil penulusuran mereka dalam Data for Updated Science-Wide Author Databases of Standardized Citation Indicators berisi rangking Top 2% World Ranking Scientists. Daftar ini setiap tahun dirilis dan terus mengalami perberubahan. 

Paling tidak, ada 159.648 ilmuwan dari seluruh dunia yang namanya masuk ke dalam daftar Top 2% World Ranking Scientists tahun ini; 58 peneliti Indonesia atau yang berafiliasi dengan Indonesia berhasil masuk dalam daftar ilmuwan paling berpengaruh di dunia - dirilis oleh Elsevir BV dan Standford University. Ini berarti bahwa jumlah ilmuwan Indonesia yang masuk dalam daftar ini - telah bertambah. 

Tentu kita patut berbangga. Meskipun prestasi ini tidak dapat dibandingkan dengan Malaysia dan Jepang yang, untuk tahun ini, jumlah ilmuwannya jauh lebih banyak daripada jumlah ilmuwan kita yang masuk dalam daftar rangking. Misalnya Malaysia. Mereka memiliki lebih dari 300 ilmuwan, sementara Jepang sendiri punya lebih dari 600 ilmuwan yang masuk dalam daftar Top 2% World Ranking tersebut. Mereka masuk dalam daftar ilmuwan yang paling berpengaruh di dunia karena tulisan-tulisan mereka paling banyak dikutip dalam jurnal-jurnal ilmiah di seluruh dunia. 

Adapun kriteria penilaian peringkat Top 2% World Ranking Scientist ini didasarkan pada c-score yang merupakan jumlah sitasi publikasi dan tentu di luar sitasi diri sendiri (nonself-citation). Selanjutnya informasi terstandarisasi atas kutipan (sitasi), capaian indeks tertinggi (H-Index), sitasi artikel dalam kelompok pada posisi penulis yang berbeda, dan penulisan bersama sesuai HM Indeks juga menjadi kriteria-kriteria lain yang musti terpenuhi.

Dari 58 ilmuwan yang masuk dalam daftar, banyak dari mereka yang memiliki home base dari perguruan tinggi yang telah berstatus Berbadan Hukum (PT-BH). Misalnya ITB. Ia tercatat penyumbang terbesar karena ada 10 orang dosen peneliti yang masuk dalam daftar ranking, disusul oleh UI dengan 7 orang dosen peneliti mereka. 

Kemudian, rata-rata ada tiga atau dua peneliti dari perguruan tinggi ternama yang masuk dalam daftar. Bahkan ada juga yang berasal dari lembaga riset di luar peguruan tinggi, serta beberapa peguruan tinggi swasta, baik yang memiliki reputasi maupun yang tidak; Bahkan ada PTS yang biasa-biasa saja, pun beberapa tenaga pengajarnya berhasil lolos - masuk dalam daftar ranking Top 2% World Ranking.

Transformasi Perguruan Tinggi di Indonesia

Dari perspektif sejarah, sejak tahun 1902 ketika pemerintah kolonial masih berkuasa, pendidikan tinggi di nusantara tepatnya di Pulau Jawa telah berdiri. Perguruan tinggi tersebut kemudian secara perlahan terus mengalami perkembangan dan transformasi yang kemudian menjadi cikal-bakal perguruan tinggi perintis di Indonesia sejak masa kemerdekaan. 

Seiring dengan berubahnya iklim politik di Indonesia dan masuknya era reformasi, kemudian pada tahun 2000, ada empat perguruan tinggi perintis di Indonesia yang diberi kesempatan untuk bertransformasi menjadi perguruan tinggi berstatus PT-BHMN dan kemudian berubah menjadi BHP (Badan Hukum Perguruan Tinggi). PT-BHMN tahun 2009 digantikan dengan PTN-BHP sesuai dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. 

Namun, kemudian UU tersebut dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 tanggal 31 Maret 2010, yang membuat pemerintah harus mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 yang mengembalikan status perguruan tinggi BHMN menjadi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah. 

Sayangnya status tersebut tidak bertahan lama. Karena begitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi diterbitkan dan berlaku, seluruh perguruan tinggi eks BHMN, termasuk yang telah berubah menjadi perguruan tinggi yang diselenggarakan pemerintah, ditetapkan sebagai Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH). PTN-BH menurut pasal 25 butir 4 PP Nomor 4 tahun 2014, berwenang menetapkan, mengangkat, membina dan memberhentikan tenaga tetap Non-PNS. 

Lika-liku perjalanan perguruan tinggi menjadi PTN-BH cukup panjang dan berliku serta mengalami resistensi dari berbagai stakeholder. Bahkan mulanya, perubahan status PTN-BH oleh sejumlah pihak dicurigai sebagai bagian dari kebijakan pemerintah untuk komersialisasi dan privatisasi Perguruan Tinggi Negeri sehingga secara sporadis terus mengalami resistensi dan gugatan. 

Status Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PT-BH) kini memiliki wewenang otonomi penuh dalam hal tata kelolanya (university governance) termasuk swa-kelola keuangan dan manajemen pendidikan tinggi (self-funded and self-managed). Wewenang PTN-BH hampir mirip dengan perguruan tinggi di negara-negara maju yang juga memiliki wewenang dan otonomi penuh, termasuk diberi wewenang untuk melakukan buka tutup program studi sesuai kebutuhan.

Status Perguruan Tinggi Berbadan Hukum di Indonesia ini jumlahnya masih terbatas. Itu pun jumlahnya masih 16 PTN, dan kebanyakan di antaranya masih berada di pulau Jawa. Sementara di luar pulau Jawa sendiri baru ada dua PTN-BH saja, yaitu Universitas Andalas Padang dan Universitas Hasanuddin Makassar. 

Tentu syarat untuk menjadi PTN-BH sangat ketat bagi setiap perguruan tinggi negeri, misalnya: harus masuk 9 (sembilan) peringkat nasional dalam publikasi internasional dan paten, telah terakreditasi institusi "A" oleh BAN-PT, opini keuangan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) selama 2 tahun berturut-turut, serta punya prestasi kegiatan kemahasiswaan di tingkat internasional. Selain itu, untuk terus berkembang dan agar tetap eksis, PTN-BH harus memiliki aset yang bisa menghasilkan income atau revenue generating dalam bentuk profit centers seperti perkebunan, hotel, mall, dan juga berbagai lembaga kursus sebagaimana yang terlihat pada sejumlah PTN-BH yang eksis sekarang. Profit centers inilah yang nantinya bisa menopang biaya operasional PTN-BH tersebut, sebab konsekuensi biaya subsidi PTN-BH dari pemerintah terus berkurang secara drastis jika dibandingkan PTN-BLU dan SATKER. 

Namun, tentu saja, masing-masing memiliki plus-minusnya. Misalnya, PTN-BH dengan surplus penghasilan dari profit centers yang ada bisa berkontribusi pada besarnya pemberian tunjangan remunerasi dosen dan tendik (tenaga pendidik). Sebaliknya, PTN-SATKER dan BLU yang masih mengandalkan subsidi pemerintah dan sumber dana masyarakat yang berasal dari PNBK (Penghasilan Negara Bukan Pajak) seperti dari UKT mahasiswa tentu berdampak pada kesejahteraan dosen dan tendik. Itulah sebab mengapa tingkat kesejahteraan PTN-BH dan PTN-SATKER dan PTN-BLU cukup jomblang sehingga seringkali menimbulkan kecemburuan sosial. 

Transformasi IKIP, STAIN, dan IAIN Menjadi Universitas

Runtuhnya ORBA, tidak hanya diwarnai dengan transformasi politik nasional dan pemerintahan daerah, namun juga transformasi dan reformasi pada rana pendidikan, terutama pendidikan tinggi. Sejumlah perguruan tinggi direformasi dan ditransformasikan sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan ambisi politik. 

Terdapat perguruan tinggi yang dulu berstatus IKIP dan IAIN mengalami perubahan status menjadi universitas dengan tujuan agar dapat mengikuti perkembangan dan kemajuan pendidikan tinggi dunia, teknologi, industri, serta untuk memenuhi tuntutan pasar dan lapangan kerja. Juga tidak kalah pentingnya adalah untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas sumber daya dan kelembagaan perguruan tinggi masing-masing. 

Perubahan bentuk perguruan tinggi di bawah naungan Kementrian Agama ini berpedoman pada Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 20 tahun 2020 sebagai pengganti PMA Nomor 15 tahun 2014. Walhasil, perjalanan panjang -  transformasi kelembagaan PTKIN IAIN menjadi UIN akhirnya tercapai. Pada mulanya terdapat 6 IAIN yang diusulkan untuk menjadi UIN dan diteken perpresnya oleh Presiden RI pada 11 Mei 2021. 

IKIP pun juga sama. Rektor IKIP Jakarta Periode 1997 – 2005, Prof. Dr. Sutjipto yang ikut membidani transformasi IKIP menjadi Universitas pernah mengungkapkan optimismenya terhadap interaksi calon guru dan mahasiswa ilmu murni di universitas hasil konversi yang ia anggap akan saling memperkaya ilmu pengetahuan. 

Dalam tahapan proses perubahan IKIP menjadi universitas ini, beberapa Rektor IKIP pun dikirim ke beberapa universitas di sejumlah negara maju seperti Monash University di Melbourne Australia, Brockport di New York Amerika, dan beberapa lainnya juga dikirim ke Jepang dan Italia. Sejumlah Rektor IKIP dan pejabat di Dikti juga merumuskan perubahan yang tujuannya untuk memperkuat pendidikan yang ada di IKIP. 

"Semula kesepakatannya tidak akan mentransformasi IKIP menjadi universitas tetapi memperluas mandat IKIP untuk meluluskan lulusan yang kualifikasinya sama dengan lulusan universitas," kata Prof. Sutjipto, mantan Rektor IKIP Jakarta. 

Meskipun upaya untuk melakukan reformasi dan transformasi perguruan tinggi di Indonesia dalam kurun waktu kurang lebih empat dekade terakhir ini dianggap cukup masif dan intens, namun hal ini nampaknya belum membuahkan hasil yang maksimal - sesuai dengan harapan. Karena faktanya, sejumlah perguruan tinggi di Indonesia masih mengalami kemajuan yang lamban. Diduga ada berbagai faktor yang menyebabkan perguruan tinggi di Indonesia tertinggal, bahkan jika dibandingkan dengan mantan muridnya dulu, seperti perguruan tinggi di negeri Jiran. Kontaminasi dan intervensi politik terkait leadership dan manejemen pendidikan tinggi diduga menjadi salah satu faktor pemicu yang mempengaruhi perkembangan dan kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia.

Prof. Mochtar Marhum, Ph.D Akademisi Universitas Tadulako.
Lebih baru Lebih lama