Namaku Moris. Aku siswa kelas 12. Hari ini salah satu murid terbaik di sekolahku akan datang ke rumahku.
Hal ini berawal karena aku mengalami kesulitan dalam memahami pelajaran meskipun aku sudah mengikuti banyak kelas tambahan yang sengaja dibuat oleh beberapa guru untukku.
Namun sayang jerih payah mereka sia-sia saja. Bukannya jadi lebih baik, seluruh nilaiku malah semakin berantakan. Guru-guru pun semakin khawatir; bukan karena masa depanku, namum karena mereka takut aku akan mencoreng nama baik sekolah jika tidak lulus nanti. Mengingat aku bersekolah di SMA terbaik di kotaku.
Pak Aman selaku wali kelasku pun kehabisan ide untuk bagaimana membantuku, namun dia tidak menyerah begitu saja karena kepala sekolah sendiri lah yang memerintahkannya secara langsung. Karena sudah tidak punya pilihan lain, ia pun meminta bantuan wakil ketua OSIS kami, Saga, yang merupakan siswa dengan nilai tertinggi di sekolah kami.
*
“Selamat sore,” Moris tersadar dari khayalannya ketika mendengar suara khas orang itu.
“Silakan masuk.” Ia membukakan pintu. Tanpa menatap mata Saga, Moris segera masuk kembali ke dalam rumah yang kemudian diikuti Saga.
Saga duduk di sebelah Moris lalu mengeluarkan buku dan beberapa alat tulisnya.
“Langsung saja. Kita mulai pelajaran pertama kita dari matematika. Silakan buka halaman 57.” Moris pun segera membalikkan halaman bukunya mengikuti arahan Saga.
Tidak ada basa-basi di antara keduanya. Ekspresi yang selalu tegang serta pembicaraan yang selalu serius membuat suasana di sekitar mereka terasa canggung. Anehnya, entah mengapa, mereka nampak nyaman dengan kecanggungan itu.
40 menit telah berlalu, Moris akhirnya dapat memahami beberapa rumus matematika dengan baik. Dia nampak begitu bahagia dengan pencapaian kecilnya itu; senyum lebar terukir jelas di bibirnya begitupun dengan Saga. Setidaknya kerja kerasnya tidak sia-sia.
Saga pun menghentikan kelas pertama mereka dan pamit pulang. Tidak lupa dia mengingatkan Moris untuk mengulang-ngulang kembali apa yang telah ia ajarkan hari ini. Moris hanya membalasnya dengan anggukan. Bahkan setelah melewati 40 menit bersama, kecanggungan diantara keduanya tak kunjung lenyap.
Setelah memastikan Saga pergi, Moris segera mengunci pintu dan berjalan ke kamarnya. Sesampainya di kamar dia segera merebahkan tubuhnya di atas kasur; menenggelamkan wajahnya di bantal sembari berteriak kencang. Wajahnya memerah, senyumnya merekah, dan matanya berkaca-kaca, seakan baru saja terjadi sesuatu yang sangat membahagiakan dalam hidupnya.
“Suaranya keren, wajahnya juga tampan dan dia mahir menjelaskan rumus matematika dengan lebih sederhana. Bagaimana bisa ada manusia sesempurna itu? Aku mungkin akan mensyukuri kebodohan ini suatu hari nanti, hehehehe....”
Moris merasa sangat bahagia namun tiba-tiba tawanya berhenti. Ia menatap kosong ke sudut kamarnya. Meskipun dia bahagia, namun di lain sisi dia juga merasa sedih dan takut. Selama ini dia hanya melihat Saga dari kejauhan saja, namun sekarang, entah mengapa, dia ingin memiliki hubungan yang lebih. Namun begitu, dia takut jika keinginan gilanya ini suatu hari akan membuatnya bertindak bodoh.
Hari demi hari berlalu, Moris sudah terbiasa dengan rutinitas barunya bersama Saga setiap pulang sekolah. Tidak terasa 3 bulan sudah berlalu, dan membuat keduanya menjadi cukup akrab.
“Maaf Moris, hari ini aku tidak bisa membantumu belajar. Hari ini kebetulan ada rapat OSIS untuk persiapan acara festival ulang tahun sekolah. Sebagai wakil ketua OSIS, mau tak mau aku harus hadir.” Saga merasa bersalah.
“Tidak masalah, sejujurnya aku juga merasa bersyukur. Sudah lama aku tidak kumpul bersama teman-temanku.”
Saga menghela napas lega dan berlalu meninggalkan Moris yang masih terpaku memandangi punggungnya dari kejauhan.
“Padahal setiap hari kau bersamaku. Kita juga sudah seperti teman dekat, namun mengapa rasanya kau begitu jauh?” Gumam Moris.
Tidak ingin berlama-lama terjebak dalam pikiran negatifnya, Moris pun pergi ke tempat nongkrong teman-temannya.
**
“Kami pikir karena sudah berteman dengan siswa elit itu kau jadi lupa dengan kami,” ucap Hazel.
“Apa maksudmu? Mana mungkin aku lebih memilih belajar daripada membaca majalah dewasa bersama kalian.” Celetuk Moris sembari membakar rokoknya.
“Hahahaha... Kau tidak berubah,” ucap. mereka tertawa.
Di saat teman-temannya merasa saling mengenal satu sama lain, mereka tidak sadar jika salah satu dari mereka adalah seorang gay. Moris berpura-pura menyukai majalah dewasa untuk mengelabui teman-temannya dan agar supaya memiliki teman.
***
Dua minggu telah berlalu dan Saga belum juga punya waktu senggang untuk melanjutkan les mereka yang sempat tertunda.
Namun itu masuk akal karena besok adalah puncak festival. Itu berarti lusa mereka bisa melanjutkan kembali rutinitas mereka seperti biasanya. Moris kembali bersemangat. Lagipula sembari menunggu kelas privatnya bersama Saga, dia bisa menghabiskan waktu luang bersenang-senang bersama teman-temannya.
“Lalu kapan kau punya waktu untukku?”
Moris terkejut dengan suara seorang perempuan ketika sedang berjalan menuju kantin belakang kelas.
“Risa, ini juga bukan keinganku, aku juga ingin menghabiskan waktu bersamamu. I love you, kumohon mengertilah. Aku harus mengikuti kegiatan ini untuk mempertahankan beasiswaku. Kau tahu sendiri aku tidak punya uang untuk membayar SPP.”
Saga lalu memeluk perempuan itu untuk menenangkannya.
Moris melihat adegan itu dengan ekspresi datar. Dia tahu hari ini pasti akan terjadi. Cepat atau lambat. Namun itu bukan berarti dia dapat mengontrol rasa sakit yang ia rasakan.
“Lalu bagaimana dengan kesibukanmu mengajar senior bodoh itu? Kapan gangguan itu hilang? Aku capek. Sampai kapan kita harus seperti ini? Kita seperti bukan pacaran saja. Karena dia, kau bahkan tidak punya waktu untukku!” Risa kembali meninggikan suaranya. Namun kali ini sambil meneteskan air mata.
“Tunggulah sedikit lagi. Aku akan segera mengatasi segala gangguan di hubungan kita, lalu kita akan memiliki banyak waktu bersama—”
“SAGA!”
Semua orang di tempat itu terkejut dengan teriakan seseorang yang memanggil Saga
Lalu mereka pun langsung memalingkan wajah ke sumber suara itu.
Orang yang memotong pembicaraan Saga adalah Mira, si ketua OSIS.
“Cepat kemari! Ada sesuatu yang penting. Ini bukan waktunya pacaran!” Saga menurut dan segera berlari mendekati Mira. Moris pun segera pergi dari tempat itu.
****
Lusa pun tiba.
“Maaf sudah menunda kegiatan belajar kita selama 2 minggu ini. Aku benar-benar sibuk. Semoga kau masih mengulang-ulang pelajaran sebelumnya.”
Moris tidak menanggapi ucapan Saga.
"Baik, kita lanjutkan pelajaran bahasa inggris kita. Buka halaman 256.”
Saga nampak bersemangat hari ini dan hal itu membuat Moris semakin tidak bersemangat.
“Kita hentikan saja les ini,” ucap Moris tiba-tiba, lalu menutup bukunya.
“Kau ingin menunda les lagi? Tapi—”
“Bukan menunda, tapi hentikan saja. Aku sudah paham dasar matematika, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, selebihnya aku bisa meminta bantuan guru saja. Terimakasih atas waktumu selama ini, silakan pulang.”
“Apa maksudmu? Kenapa kau menghentikan ini sesuka hati? Kalau kau tidak paham dengan penjelasanku, katakan!"
“Ini bukan masalah paham atau tidak, tapi aku tidak membutuhkan bantuanmu lagi. Jadi pulanglah!”
“Dasar tidak tahu terimakasih!”
Saga tiba-tiba menarik kerah Moris dan menatapnya dengan penuh kemarahan, “Seharusnya sejak awal aku tidak membantumu.”
“Seharusnya kau berterimakasih padaku! Aku mengurangi gangguan di hubunganmu, jadi sekarang kau punya banyak waktu bersama kekasihmu.” Moris meninggikan suaranya sembari menuduk. Tidak berani menatap mata Saga.
“Kau mendengar pembicaraanku dan Risa? Moris.. Aku tidak bermaksud seperti itu.” Nada suara Saga seketika melembut, begitupun dengan tatapan bersalahnya.
Namun Moris tidak ingin lagi mendengarkan penjelasan apapun dari Saga. Ia berjalan ke kamarnya dengan terus menduduk, takut Saga akan menyadari air matanya.
“Kumohon pulanglah.”
Saga pun menurut. Ia lalu pergi dari rumah Moris.
*****
Hari demi hari telah berlalu. Moris kini menjadi siswa terpintar di kelas 12. Guru-guru kagum dengan cara bagaimana Saga mengajar. Mereka lalu meminta Saga untuk menjadi guru les bagi siswa kelas 12 lainnya. Namun Saga menolak dengan alasan ingin lebih fokus di OSIS.
Keduanya kini tidak lagi bertegur sapa. Mereka seperti orang asing. Namun ada satu kejanggalan yang dirasakan Moris; dia merasa selalu bertemu dengan Saga. Jika dua atau tiga kali mungkin itu bisa dikatakan kebetulan, namun jika selalu bertemu di mana saja bukankah itu sedikit menakutkan? Bahkan tak jarang Moris menangkap basah Saga sedang melihat kearahnya.
“Apa kau tidak tahu? Saga dan Risa sudah putus sebulan yang lalu. Kabar itu sempat heboh di sekolah." Ujar Hazel laiknya tukang gosip.
“Tidak tahu.”
“Masa sih kau tidak tahu? Ah! Kau tidak masuk sekolah pada hari itu! Pantas saja kau tidak tahu.”
"Mungkin. Memang mereka putus kenapa?" Tanya Moris sedikit penasaran.
"Ada yang bilang, penyebabnya adalah orang ketiga."
"Orang ketiga?"
"Iya. Banyak yang mencurigai Mira.” Jelas Hazel dengan sedikit berbisik.
“Sebulan yang lalu ya. Bukannya itu sekitar waktu di mana aku mengusir Saga? Semoga ini tidak ada hubungannya denganku. Atau jangan-jangan dia sengaja mengikutiku selama ini untuk balas dendam?” Gumam Moris dengan ekspresi takut.
“Apa kau mengatakan sesuatu? Atau kau tahu sesuatu? Suaramu terlalu pelan.” Hazel memasang mencoba mendekatkan telinganya ke wajah Moris.
“Bukan apa-apa, ayo balik ke kelas.”
Moris pun pergi berjalan lebih dulu keluar kantin. Seperti biasa dia kembali melihat Saga tengah mencuri padang ke arahnya dari jauh. Tak ingin memperparah masalah, Moris memilih untuk menghiraukan perilaku Saga yang aneh itu, toh diperhatikan Saga juga tidak seburuk itu.
Penulis