Loading...
Filsuf Nathan Nobis membongkar busur logis dan tidak logis dari perdebatan tentang hak aborsi
Saya Profesor Filsafat: Argumentasi yang Melarang Aborsi Itu Tidak Logis

Sebagai profesor filsafat yang mengajarkan logika dan pemikiran kritis—studi tentang argumen yang baik dan bentuk penalaran—saya sudah mengamati bagaimana argumentasi mereka yang menganggap aborsi itu ilegal atau mereka yang membatasi aborsi. 

Jelas, hal ini sangat penting dalam sejarah: Mahkamah Agung diharapkan mengeluarkan keputusannya di musim panas nanti, keputusan yang dapat membatasi atau bahkan melarang aborsi di Amerika.

Posisi kedua belah pihak, baik yang menerima maupun yang menentang aborsi ini, cukup terkenal: di satu sisi, mereka yang menentang bersikeras menganggap bahwa aborsi adalah pembunuhan; sementara yang lain menyangkal hal tersebut dan berpendapat bahwa aborsi diperlukan demi kesetaraan perempuan.

Sayangnya, kedua belah pihak memiliki argumentasi yang buruk. Untuk melihat mengapa argumen tersebut buruk, saya pikir kita perlu kembali ke sekolah lagi untuk mengetahui dasar-dasar suatu argumen. Contoh buku teks logika—kesimpulan yang didukung oleh premis—biasanya dituliskan seperti ini:

P1= Socrates adalah manusia.
P2= Karena itu, Socrates fana.

Hubungan antara premis dan kesimpulan dalam struktur logika di atas mungkin nampak jelas. Ini karena kita mengasumsikannya tanpa menyebutkan premis lain yang lebih penting untuk argumen tersebut:

C1= Semua manusia adalah fana.

Dengan menambahkan premis yang tidak disebutkan tersebut (C1), kita dapat membuat argumen di atas menjadi "valid secara logika": Artinya, premis tersebut hadir untuk melengkapi penalaran atau sebuah argumen. 

Nah, dengan cara yang sama seperti argumentasi mereka yang mengilegalkan aborsi, menambahkan premis-premis sebagaimana contoh penalaran di atas, sehingga seluruh struktur argumen dapat ternyatakan, adalah kunci penting untuk melihat mengapa banyak argumentasi tentang aborsi itu lemah dan buruk. 

Pertama, masalah aborsi sering dibingkai dengan terminologi "kehidupan". Misalnya, kapan "kehidupan" itu dimulai? Karena aktivitas utama dari berpikir kritis melibatkan tata cara bagaimana kita mendefinisikan suatu istilah, maka adalah adil jika kita mempertanyakan terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan "kehidupan?"

Satu jawaban yang jelas: kehidupan adalah kehidupan biologis. Yang berarti terlibat dalam proses biologis.  

Meskipun ada banyak kontroversi teknis tentang kapan kehidupan biologis itu dimulai, namun sejujurnya, perselisihan ini bukanlah masalah. Kita dapat menjawab, demi argumentasi, bahwa kehidupan biologis dimulai saat pembuahan atau setelahnya. Namun, tetap saja, argumen tersebut tidak tepat. Itu karena premisnya, secara argumentasi, keliru:

C1: Semua kehidupan biologis adalah salah untuk dibunuh.

Jamur, tanaman, bakteri, sel kanker, dan banyak lagi semuanya adalah "kehidupan"—dan semuanya hidup secara biologis—namun membunuhnya tetap tidak masalah. 

Di sini para advokat  pro-life cenderung mengatakan bahwa apa yang mereka maksud dengan kehidupan bukan hanya "kehidupan" dalam pengertian yang umum dan abstrak, namun secara khusus: manusia. 

Baiklah kita terima. Namun, sekali lagi, apa itu "manusia"? 

Sel atau jaringan manusia—katakanlah, seperti dalam cawan Petri—atau, kita juga bisa mengatakan bahwa sel sperma pada pria secara biologis adalah manusia. Namun faktanya, sel sperma tidak salah untuk dibunuh (laki-laki sering melakukannya). Jadi hanya karena sesuatu itu, secara biologis, manusia, itu tidak membuatnya salah untuk dibunuh. Jadi argumen seperti ini tidak masuk akal:

P1= Janin, secara biologis, adalah manusia.
P2= Apa pun yang secara biologis manusia salah untuk dibunuh.
C1= Oleh karena itu, aborsi adalah salah.

Dari struktur argumentasi di atas, kita dapat melihat bahwa premis pertama pasti benar. Namun jelas, yang kedua pasti salah. Karena tidak semua yang, secara biologis, manusia itu salah untuk dibunuh.

Nah, sekarang seorang pendukung pro-life akan bersikeras mengatakan bahwa janin, sebagaimana kita, adalah organisme biologis manusia atau manusia atau pribadi manusia. Maka dari itu mereka sama seperti manusia. Karena secara umum salah untuk membunuh manusia, maka itu membunuh janin juga salah—"karena tidak ada perbedaan penting antara kita dan janin manusia," kata mereka. 

Ross Douthat berpendapat dalam artikelnya di New York Times baru-baru ini, "The Case Against Abortion." Dia mengamati bahwa perbedaan dalam "kapasitas penalaran atau kesadaran diri" dan "kemampuan untuk bertahan hidup dan mengarahkan diri" bukanlah perbedaan yang tepat antara kita dan janin, karena banyak manusia yang lahir tidak memilikinya, namun masih dianggap manusia dengan hak-hak dasarnya. 

Pemikiran kritis, bagaimanapun, harus mempertimbangkan semua penjelasan yang relevan. Olehnya saya berpikir bahwa Ross Douthat telah mengabaikan hal penting bahwa manusia yang lahir—baik yang dewasa, anak-anak, bayi, dan orang-orang yang secara kognitif maju—tidak sama dengan embrio atau janin di masa-masa awal. Karena mereka yang lahir semuanya sadar sebagai makhluk hidup dengan perspektifnya tentang dunia. Inilah sebabnya mengapa kita adalah orang-orang yang pantas mendapatkan perlindungan atas hak yang kita miliki. Sebab mempersonifikasikan (atau memanusiakan) sesuatu berarti mengaitkan kehidupan mental dengannya, dan fakta-fakta tentang pikiran kita ini adalah dasar mengapa kita memiliki hak asasi manusia. 

Dengan merefleksikan apa yang membuat kita memiliki hak dasar dapat membantu kita melihat bahwa memang ada perbedaan yang mendasar antara manusia yang lahir dan janin, sehingga masuk akal untuk berpikir bahwa kita adalah makhluk yang memiliki hak moral—sementara embrio, dan setidaknya janin trimester pertama, bukan. 

Namun demikian, saya bersepakat bahwa janin memiliki potensi manusia dan juga potensi hak. Tetapi apakah kita selalu memiliki kewajiban moral—apakah perempuan berkewajiban—untuk membantu apa saja dan siapa saja untuk mencapai potensi yang mereka punya? Tentu saja tidak. 

Pendukung pro-choice sering berfokus pada kebutuhan aborsi agar perempuan dapat memiliki kesempatan yang sama untuk mengejar tujuan dan cita-cita mereka. Sementara pendukung pro-life menanggapi bahwa perempuan yang tega membunuh anak-anaknya demi mengejar impian mereka adalah salah.

Itu benar, namun para pendukung anti-aborsi tidak memiliki argumentasi yang kuat apakah embrio dan janin sudah termasuk anak-anak atau bukan—sebagai kategori pertama bagi sesuatu yang sah disebut manusia dengan hak hidup. 

Saya setuju bahwa janin itu hidup dan secara biologis manusia—tak seorang pun yang akan menyangkal hal tersebut (walaupun beberapa nampak menyangkalnya)—namun demikian, terlepas dari kesamaan antara janin dengan kita, mereka tetap bukan makhluk yang memiliki hak untuk hidup. Jadi aborsi, setidaknya aborsi dini, bukanlah pembunuhan. 

Pendukung pro-choice sering menilai bahwa tidak ada yang memiliki hak atas tubuh orang lain, dan dengan demikian menyimpulkan bahwa janin tidak memiliki hak untuk menerima bantuan perempuan dan olehnya aborsi dibenarkan. Pendapat ini menyangkal fakta bahwa kita, secara moral, juga dapat diminta untuk membantu orang lain, bahkan jika itu harus menggunakan tubuh kita, dan sekalipun seseorang itu tidak pantas menerima bantuan kita. 

Meskipun terkadang kita memang harus menjadi Orang Samari yang Baik (kelompok Yahudi yang taat pada masa Yesus), banyak pendukung pro-life nampaknya menyangkal hal ini ketika mereka menolak upaya membantu orang lain bahkan dengan cara mengurangi jumlah aborsi. Namun Orang Samari yang Baik pasti selalu membantu seseorang, sekali lagi, membantu "seseorang." Dan karenanya tidak relevan bagi kita dan juga tidak ada kewajiban bagi kita untuk membantu sesuatu yang bukan orang, dan bahkan belum seperti orang. Olehnya negara, tentu saja, tidak boleh mengkriminalisasi siapa pun yang tidak mau membantu sesuatu yang bukan orang.

Kita belum meninjau semua argumentasi tentang aborsi di sini, namun yang jelas, argumen yang paling umum dan sering didengar demi mengilegalkan aborsi dengan alasan bahwa aborsi sama dengan pembunuhan terbukti lemah secara logika. Aborsi harus dan tetap dilegalkan, seperti yang sudah terjadi selama hampir 50 tahun. Itu kira-kira tanggapan logisnya.


Tulisan ini telah dialih-bahasakan oleh Redaksi Sophia Institute dari artikel asli yang berjudul "I’m a philosophy professor. The argument for making abortion illegal is illogical" atas izin penulisnya.

Nathan Nobis, Ph.D, Pimpinan redaksi  1000-Word Philosophy: An Introductory Anthology dan co-Author Thinking Critically About Abortion.
Lebih baru Lebih lama