Spiritual,
memang bukan agama demikian juga sebaliknya, namun di antara keduanya memiliki
hubungan yang sangat erat, bahwa setiap manusia sadar akan adanya suatu entitas
super power yang melebihi dari segala yang ada. Entitas super power
inilah yang dianggap sebagai asal segala yang ada sampai akhirnya manusia
beragama (bertuhan) kepada yang dianggap berkuasa tersebut. Di sini hakikat
beragama adalah ketundukan, ikatan, kepasrahan, dan keterkaitan kepada yang absolute.
Agama
mengajarkan dan memberikan petunjuk bagi pemeluknya dalam menjalankan prosesi
atau ritual keagamaan, khususnya berkaitan dengan mengasah jiwa dan hati
manusia untuk mengenal Tuhannya dan proses tersebut sering kali dikaitkan
dengan spiritual.
Namun
begitu, beragama, betapapun melibatkan fisik dalam ritual-ritualnya, adalah
urusan “rumah”, urusan hati yang ada di dalam diri. Urusan rohani. Ritual
seperti sholat dan haji, seberapapun pentingnya dalam kehidupan keagamaan,
adalah simbol. Paling jauh adalah aktivitas yang membantu pelakunya
mengoperasikan kerohaniannya dengan lebih baik. Betapapun juga terkait etika,
hukum, politik, dan soal-soal profan lainnya, puncak keberagamaan selalu ada
dalam rohani/spiritualitas. Jadi agama dan spiritualitas adalah hal yang
terintegrasi dalam diri manusia dan tidak dapat terpisah diantara keduanya.
Ketimbang
ritual, spiritualitas adalah esensi penting agama. Spiritualitas adalah
hubungan antara yang Maha Kuasa dan hambanya, tergantung dengan kepercayaan
yang dianut oleh individu.
Mengapa
spiritualitas adalah esensi? Itu karena dengan adanya spiritualitas dalam diri
setiap orang, aspek sosial, sebagai aspek terpenting dalam hablumminannas,
akan berjalan dengan damai dan tentram; tidak akan ada perselisihan karena
sibuk mengurusi iman orang lain.
Menurut
Burkhardt (1993) spiritualitas meliputi beberapa aspek: Pertama, sesuatu
yang berhubungan dengan hal yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam
kehidupan; Kedua, sesuatu yang berguna untuk menemukan arti dan tujuan
hidup; Ketiga, yang membuat kita menyadari kemampuan kita untuk
menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri; Terakhir, dorongan
keterikatan batin dengan diri sendiri dan dengan Sang Pencipta.
Menilik
hal di atas, bukankah agama seharusnya tidak boleh terlepas dari kerohaniahan
(spiritualitas)? Karena agama tanpa spiritualitas bukanlah agama, melainkan
hanya simbol tanpa makna. Spiritualitas itu laiknya seorang ibu yang rela
bangun dini hari dan pergi menyapu di jalan raya demi upah agar anaknya bisa
makan dan bersekolah.
Cinta
kepada anak mendorong sang ibu untuk berbuat sesuatu meskipun itu harus
mengorbankan waktu tidurnya, menantang dinginnya pagi, dan mengalahkan letihnya
badan; Dalam hal ini, cinta kepada anak adalah dorongan utama untuk berbuat
sesuatu. Itulah yang secara sederhana disebut sebagai “spiritualitas”. Singkat
kata, spiritualitas adalah daya dorong yang muncul dari dalam diri manusia,
baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota kelompok sosial. Ia dapat membantu
manusia melihat siapa dirinya, di mana ia berada, dan ke mana ia akan
melangkah. Olehnya, dengan spiritualitas, umat beragama dimungkinkan untuk
lebih mengenal diri mereka sendiri dengan lebih baik.
Namun
sayang, spiritualitas inilah yang saat ini hilang. Banyak pihak yang mengaku
taat beragama dan rajin beribadah justru menjadi musuh agama itu sendiri.
Sehingga agama yang tadinya menganjurkan etika, cinta, dan kasih, malah menjadi
alat untuk menyerang mereka yang dianggap tidak sepandangan. Alhasil, ujaran
kebencian atas nama agama pun sudah menjadi hal yang lumrah.
Dari spiritualitas lahir moralitas dan
rahmat (cinta kasih) bagi alam semesta. - Dr. Haidar Bagir
Olehnya
saat ini agama perlu dikembalikan pada posisinya sebagai panduan hidup dan
pembersih rohani. Dengan begitu agama akan berada pada posisi yang
sebenar-benarnya sebagai jalan dan pedoman hidup, bukan sebagai penjara bagi
umatnya, alat politik, dan untuk memicu api permusuhan. Bukankah agama adalah
petunjuk hidup agar menjadi manusia yang beradab dan berempati pada sesama?
Maka
dari itu, harapan penulis pada semua penganut agama untuk kembali kepada inti
agama itu sendiri, yaitu spiritualitas. Bukan sekadar memahami agama secara
simbolik. Dengan begitu umat beragama akan mengembalikan kemuliaan dan marwah
agamanya masing-masing yaitu memberikan kentetraman di muka bumi dan
menciptakan kehidupan yang aman dan tentram tanpa kebencian dan saling
menindas.
Penulis