Kebebasan berpendapat merupakan hak
setiap orang dalam negara yang menganut sistem demokrasi. Berpendapat
bisa dalam bentuk dan/atau bertujuan untuk menguraikan pandangan,
menggiring opini, maupun melayangkan sebuah kritikan. Dalam hal ini,
kritik yang dimaksud adalah kritik yang membangun; yaitu kritik yang
didasari atas pengetahuan yang obyektif, konstruktif, serta beradab
sehingga dapat dipertanggung jawabkan demi perubahan yang lebih baik.
Jika
kritik semata dibangun atas dasar fitnah, provokasi, dan caci-maki,
apalagi ditujukan untuk menyerang personal secara fisik - itu berarti
kritik tersebut tak lebih dari tuduhan tanpa bukti.
Provokasi
juga sama - digunakan hanya untuk menghasut dan menebar kebencian di
mana-mana, pun juga caci-maki yang digunakan hanya untuk menyerang
individu secara fisik, alih-alih berdasarkan pikiran yang jernih dan
sikap yang terpuji atas kebijakannya.
Secara
umum kritik dapat diartikan sebagai suatu bentuk pembenahan, analisis
yang didasari atas pengamatan yang mendalam, dengan maksud mengevaluasi
dan/atau membuat sebuah perubahan demi memperbaiki suatu pekerjaan.
Namun sayangnya, realitas sering berkata lain - bahwa mengkritik pun
tidak selesai sampai di situ saja, kerap kali perasaan subjektif juga
turut ambil bagian, sehingga konflik horizontal seringkali terjadi
karena ketidak hati-hatian kita dalam melayangkan kritik (menjaga
perasaan orang yang dikritiki).
Alih-alih
membangun dan mendorong perubahan, kritik dalam bentuk provokasi atau
sekadar mencaci dan merendahkan orang lain justru akan menambah masalah
baru. Padahal, sejatinya sistem demokrasi dibangun atas dasar musyawarah
juga rasa saling memiliki demi tercapainya tujuan yang lebih baik,
bukan hanya atas kepentingan kelompok tertentu saja. Olehnya, sudah
sepantasnya lah jika seluruh lapisan masyarakat mendapatkan ruang untuk
mengkritik demi membangun bangsa ini, tentu saja dengan memberikan
kritik yang santun.
Namun
demikian, kritik yang santun ini kerap kali disalahpahami. Sejatinya
istilah kritik ini tidak memiliki makna praktis tertentu, namun ia
berangkat dari kesadaran moral atau etika dalam diri setiap orang, yang
mustinya tetap melekat pada tingkah-laku tiap warga negara.
Olehnya,
demi untuk meluruskan apa yang dimaksud dengan kritik yang santun,
tulisan ini akan mencoba untuk menguraikan apa sebenarnya yang dimaksud
dengan kritik yang santun tersebut, dan bagaimana untuk mencapai bentuk
kritik ini guna mewujudkan masyarakat demokrasi yang lebih beradab.
Pada
dasarnya, kritik yang santun merupakan langkah yang digunakan untuk
menanggapi atau menyampaikan ketidak-sepahaman tentang suatu hal, atau
dalam hal ini kebijakan tertentu dengan memberikan solusi atau saran
yang membangun, alih-alih caci-maki, provokasi, dan ujaran kebencian
yang tidak mendasar. Singkatnya kritik santun adalah kritik yang
dibangun atas dasar kesadaran untuk memperbaiki suatu hal yang disertai
dengan solusi atau saran.
Kritik
santun paling tidak dibangun atas tiga hal: pertama, ketulusan dalam
menyampaikan pendapat, saran, dan arahan. Bukan berangkat dari
kepentingan tertentu, namun murni demi pembenahan dan demi kemaslahatan
bersama.
Kedua, didasarkan pada pengetahuan. Dalam hal ilmu pengetahuan yang
mengantarkan pada pemahaman dan pola berpikir yang kritis, sehingga
tidak mudah terprovokasi dan mudah mengafirmasi secara buta segala hal
tanpa pertimbangan dan verifikasi yang ketat terlebih dahulu.
Dengan
landasan kedua ini, kita akan lebih banyak mencari, bertanya, serta
mengkaji dengan sungguh-sungguh suatu kebenaran dari berita dan
informasi yang kita dapatkan. Filsuf klasik, Socrates mengatakan, “cobalah dulu, baru cerita. Pahami dulu, baru menjawab. Pikirlah dulu,
baru berkata. Dengarlah dulu, baru beri penilaian. Bekerjalah dulu, baru
berharap.”
Dalam
hal ini sejatinya, pengetahuan yang cukup akan menjadi kunci utama
untuk bagaimana masyarakat dapat membangun dan mengatur pola
kehidupannya dalam bernegara dan berpancasila.
Kemudian yang terakhir, adalah kritik yang didasarkan atas etika komunikasi.
Kita ketahui bersama bahwa sebagai masyarakat yang muktikultural yang
hidup di era digitalisasi ini sejatinya kita tidak dapat dipisahkan dari
yang namanya komunikasi, baik langsung maupun daring. Maka, untuk
menghadapi hal tersebut, etika dalam berkomunikasi adalah hal yang
sangat penting dan kiranya perlu diperhatikan- suatu keharusan yang akan
memunculkan sikap, akhlak yang beradab atau dalam istilah lain yaitu
“etitut”.
Etika
komunikasi di sini bukan hanya tentang menyampaikan kritik yang santun
dan beradab, lebih dari itu, etika komunikasi ini adalah tentang
bagaimana cara kita mengatur sikap dalam hidup bermasyarakat, dan sifat
saling ketergantungan satu dengan yang lainnya.
Kesadaran-kesadaran
demikian lah yang seringkali tidak teraplikasikan di tengah masyarakat
kita. Caci-maki, provokasi dan sarkasme seringkali banyak ter-publish di
media-media dan/atau portal-portal pemberitaan mainstream. Belum lagi
hoax di mana-mana, bahkan fitnah pun seakan sudah menjadi solusi dalam
menyelesaikan setiap perdebatan. Padahal sejatinya masih ada cara-cara
yang lebih beradab dalam menyampaikan aspirasi, kritikan, juga solusi
dan saran yaitu kritik yang santun.
Oleh
karena itu, mari kita sama-sama menyampaikan aspirasi dan kritik kita
dengan cara yang lebih baik, damai, santun dan berkeadaban. Mari kita
bersama-sama mengkritik para pemangku kebijakan dengan cara yang lebih
santun dan dengan keikhlasan. Dengan begitu, kita akan tetap dapat
menjaga citra demokrasi Pancasila dengan tetap mengedepankan etika, dan
sopan-santun dalam berucap, dan dalam mengambil suatu keputusan atau
tindakan; Membangun kesadaran untuk senantiasa menjunjung tinggi
nilai-nilai kebangsaan, gotong-royong, dan permusyawaratan atas dasar
kebaikan bersama.
Kirwan, Mahasiswa S1 Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga.
Penulis